Thursday, February 27, 2014

INGIN






 MENANTIMU ADALAH INGINKU



Tak ada badai, angin pun jadi. Itulah gambaran kehidupan kita sebagai keluarga di wadah ini, mencoba mengakali semua dengan slogan baik-baik saja. Namun demikian luka pun akan terasa perih oleh waktu, dan terjawab dengan realita bahwa kita sedang terserang nan akut yakni eksistensi. Miris bukan?
                  Dan penulis pun mengangkat tulisan singkat nan tak berarti ini (jika nalar kita tak lagi berbanding lurus dengan hati)  ke permukaan sekedar mengetok hati kita semua sembari bertanya sudahkah eksistensi diri kita membawa perubahan di wadah yang kemudian penulis sebut sebagai Ibunda?
Waktu mengiyakan kalau pertemuan adalah awalnya, dan kemudian waktu pulalah yang mengajarkan kita tuk bersama namun waktu pulalah yang kemudian mengambil separuh diri kalian dari diriku. Iya...sang waktu telah membiarkan lukisan kebersamaan kita terpatri di sini, dengan semua cerita gembira dan tangis ini. Makan sepiring nasi setengah masak berpadu dengan air panas yang di isi setengah gelas, dan digarami sepersekian guratan jari membuat kita semua seolah terjun bebas tanpa melihat sekat perbedaan di antara kita, tak ada lagi batas wilayah administrasi, tak ada lagi perbedaan suku, semuanya seolah menjadi tembok tangguh yang melindungi setiap mereka yang berada dalam naungannya. Kisah ini pun bak oase yang menyegarkan para musafir di padang pasir, membuat kita semua menjadi yakin dengan sumpah yang telah kita ikrarkan bersama namun sekali lagi waktu telah membuat kita tak bergeming, dan tak berdaya. Semua menjadi hilang dalam sekejap, satu per satu menjadi nyaman di luar sana meninggalkan Ibunda tertunduk lesu, tangisan Lewotanah membuncah melihat kita tak lagi sama dan kita pun kemudian dilabeli “Pencuri” di akhir.
Hmhm….tengorokanku tak mampu menelan, menelan kesempurnaan yang disemukan, berjalan di atas onak duri hidup ber
sama lantas terpental. Militansi kita tak menjadi utuh dan motivasi hilang serupa bintang yang muncul di saat cerah dan menghilang lagi di saat hujan. Dan tulisan ini pun sekedar keluhan hati seorang manusia yang berdiri tanpa kesempurnaan, yang punya cacat diri namun mencoba bangkit dan bukan juga sedang menggurui pembaca hanya mencoba mengingatkan hati kecilmu bahwa kita tak akan sempurna tanpa orang dan kini tinggal Ibunda menapaki hari dengan kerinduan akan kita. Dan kembali waktu ini pun selalu menjadi momok buat kita tuk mnjawabi pertanyaan akan eksistensi diri kita akan militansi yang diikrarkan itu. Tak ada gunanya kita lari, bersembunyi di balik hiruk pikuk kehidupan ini karena semakin kita berlari, kita tetap menjadi bagian dari keluarga ini. Kami tak pernah berpikir untuk melupakanmu, kami seperti Ibunda menjadi rindu bersama, bercengrama mematahkan malam yang penuh tanya, dan berjuang dikeesokan harinya untuk Lewotanah Solor. Dan masihkah kita untuk kembali di rumah ini???




Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...