Saturday, September 5, 2015

Wu’u Nuran, Ritual Adat Masyarakat Balawelin

Solor Watan Lema, begitulah ia disapa. Pulau seberang Larantuka dengan aneka cerita sejarah kekatolikkan zamannya membuatnya ia dikenal hampir seantero dunia, dengan kepulauan Solor tentunya (pulau Solor, Adonara dan Lembata) yang tidak lagi dipakai di peta zaman ini, dan meninggalkan reruntuhan benteng Lohayong sebagai saksi bisu bahwa Solor yang dulu punya nama dan yang tertinggal hanyalah budaya turunan yang hingga saat ini masih bertahan di atas tanah gersang milik Nenek moyang, salah satunya ritual adat wu’u nuran atau perayaan syukur atas panen pada masyarakat suku bangsa Balawelin di Solor Barat yang diadakan selama tiga hari secara beurutan.
Masyarakat Balawelin sebagai sebuah suku bangsa yang terdiri dari satu Lewo dan tujuh Duli (Kampung Filial) dibelahan barat Solor yang gersang, sarat dengan kekurangan di hampir semua aspek kehidupan hampir dilupakan, dan dipinggirkan hingga adium “Solor Nara Take” pun sempat membuat cerita mereka terkikis oleh aura zaman yang kejam. Dan Wu’u Nuran menjadi sebuah langkah menuju proses belajar bagi mereka diluar bahwa kegersangan tanah yang dimiliki orang Solor umumnya, dan di wilayah Balawelin disyukuri sebagai bentuk penghormatan kepada Bapa Kelake Lera Wulan, Ema Kewae Tana Ekan, dan leluhur lewotana yang telah memberikan mereka hidup. Dan Setelah lima tahun berlalu, Ritual Adat Wu’u Nuran kembali digelar dengan nuansa yang berbeda dari sebelumnya yang dimulai dengan seminar sehari Peta Eta Poa Oa atau pembukaan kebun baru dengan menghadirkan pembicara.. untuk bersama bersinergi membangun Balawelin bersama.
Uma Lamak Buka Ritus Wu'u Nuran
Pengataran Uma Lamak dari Lewo Bala Lama Harun Tana Harun Lama Dike

Siang itu ( 04/07/2015) ditemani teriknya mentari, mengantar masyarakat Balawelin yang bermayoritas petani dan beragama Katolik ini pun berbondong-bondong menuju rumah adat suku-suku besar atau Semata Pa (Niron-Maran, Niron-Hurit, Keban-Koten, dan Keban-Kelen) guna menggelar Ritus U’ma Lamak atau ritus pengantaran bagian ke Rumah Adat Suku Balawelin (Lango Belen) tempat dimana Bapa Lewo Ema Tana atau Tuan Tana berdiam dan dipercayakan sebagai kepala suku Masyarakat Balawelin. Dalam Ritus U’ma Lamak tersebut, menurut penuturan kepala suku Keban Koten, Yohanes Olamudi Keban, biasanya diawali dengan proses pemanggilan dari utusan Niron yang biasa dikenal dengan Niron Alan Jati ke masing-masing duli dan Lewo sembari mengantar mereka mengantar U’ma Lamak ke Lango Belen yang diiringi dengan tarian We’de yang dimaknai sebagai tarian kegemeriahan dan kegembiraan. Sejatinya dalam ritus ini, U’ma Lamak yang disiapkan antara lain beras, hewan dan lain sebagainya dan Lewo yakni Lewo Bala Lama Harun Tana Harun Lama Dike (Lamalewo) diberi kesempatan untuk memasukkan bagiannya terlebih dahulu sebagai kampung induk suku Bangsa Balawelin, setelahnya barulah diikuti oleh tujuh duli lainnya yakni, Duli Weruin Ulu Lau Pali Keneli Lima Wana/ Duli Taliha Laman Mayan Pali Mayan Lama Tali (Lamateliha), Duli Muda Lama Tulun Pali Bao Lama Banga (Lamariang), Duli Week Lama Rebon Pali Kenila Lolon Gire (Kenila), Duli Laka Lama Mayan Pali Mayan Lama Tali (Lamalaka), Duli Rita Lolon Eban Palin Bao Lolon Owa (Ritaebang), Duli Lupan Lolon Kuman Pali Au Gatan Matan (Auglaran), Duli Sunge Hara Wewan Pali Kadila Duru Basa (Riangsunge). Setelah ritus U’ma Lamak, masyarakat setempat ataupun pengujung dapat kembali ke rumah masing-masing beristirahat sejenak, ataupun menghisap rokok sebatang melepas lelah seharian, sembari menunggu ritus keesokkan harinya.
Renha Balawelin: Bukti Kesetiaan Masyarakat
Renha Balawelin 

Mentari pagi pun mulai menunjukkan kuasanya ditemani sang Jago yang tak mau kalah dengan kokokannya, sekedar membangunkan istrirahat para penghuni tanah Leluhur ini, serta menginggatkan bahwa hari ini masih ada ritus yang harus dilalui, yang penting bagi hidup sebagai pembuktian bahwa ada sisi lain dari budaya dan agama yang bisa saling melengkapi dalam Misa Inkulturasi di Kapela Maria Renha Balawelin di Kampung lama. Perjalanan sejauh 2 kilo bukan halangan, bagi mereka yang melangkah dengan semangatnya melewati hutan dan bebatuan di atas tanah gersang yang ditumbuhi puluhan pohon yang selama ini menjadi penunjang hidup masyarakat Balawelin. Tergopoh-gopoh dengan nafas tersengal menjadi buah dari perjalanan ini, namun di titik tertentu kekaguman pun melanda benak mereka yang hadir karena kapela mini yang tadinya menjadi tujuan, berdiri kokoh sosok Ibu nan cantik dibalut sarung adat ditemani sebuah tongkat yang bagi Masyarakat setempat diakui sebagai pelindungnya yang berdiam di kapel kecil dikelilingi lukisan-lukisan kecil suku-suku Dan ini pun menjadi jawaban atas serpihan sejarah yang tertinggal di Bumi Lamaholot bahwa bukan hanya satu Bunda Maria Renha yang ada di tana Larantukan tapi juga masih ada di pelosok Negeri yang kering tersebut yakni Bunda Maria Renha Balawelin yang menurut sejarahnya diserahkan oleh mendiang raja Larantuka kepada masyarakat setempat 55 tahun silam sebagai simbol kekeluargaan dan keakraban antara kerajaan Larantuka dengan masyarakat setempat. Nuansa budaya kental pun mengiringi kegembiraan rohani kita, saat melihat empat buah rumah kecil dengan atap alang-alang yang dipakai Semata Pa atau fungsionaris adat masyarakat Balawelin untuk melakukan ritual adat di kampung lama tersebut atau pun sekedar memberi makan Leluhur lewotana yang mendiami kampung tersebut. Nyanyian dan tarian adat menyemarakkan Misa Inkulturasi yang dipimpin oleh Pater Alfons Hayon, SVD, bersama belasan imam yang turut ambil bagian dalam perayaan syukur tersebut sembari sekali-kali tersenyum dan takjub akan sebuah realitas akan hidup bersama masyarakat Balawelin yang masih menjaga budayanya di tengah himpitan kegaulan dunia modernisasi ini.  Nuansa kental, budaya pun mengemuka kembali saat sang protokoler Ambros Niron, mengundang Bapa Lewo, Ema Tana melakukan ritual tutup kampung yang diakhiri dengan pemotongan hewan kurban di bawah Nuba dan selanjutnya kepala hewan tersebut dijadikan persembahan dalam ekaristi tersebut. Menarik, penuh cerita, dan membuat alam sadar kita berdecak kagum tentunya dan membuat kaki-kaki para peziarah atau umat yang hadir berani melangkah kembali menuju pelataran Lango Bele Suku Balawelin mengikuti ritus Belo Wuli atau pemotongan leher hewan yang menjadi persembahan Lewo dan masing-masing Duli. Keheningan membuncah, ditengah semarak ritus tersebut, dibarengi dengan lampu cahaya kamera segala jenis meliputi tenda yang menutup wajah letih para empunya pemilik sah ritual Wu’u Nuran dari sengatan mentari yang kian menjauh di ufuk barat, ditambah lagi dengan pekikan hewan kurban yang akan dieksekusi sebagai persembahan kepada sang pemilik kehidupan bersama para leluhur yang senantiasa menjaga Lewo ini.
Bau Baku: Caca Jiwa Yang Terjaga
Bau Baku di Rumah Suku Keban-Kelen

Dan cerita lima tahunan ini, tidak akan berhenti sebelum ritus puncak Bau Baku atau meletakkan nasi ke dalam bakul besar sesuai dengan hitungan anak laki-laki terwujud pada keesokkan harinya, di rumah suku masing-masing. Perempuan yang sedari kemarin tidak terlampau sibuk, kini menjadi figur yang amat sibuk dalam ritus ini dan diuji kemapanannya mengelola suasana ketika semua orang mulai letih kaki dan tangannya. Iya..perempuan memasak dengan peluh keringat di dapur sederhana, melawan asap kayu bakar di tunggu beralaskan batu seadanya, berharap masakan nasinya cukup bagi laki-laki di suku masing-masing. Sedang laki-laki suku bekerja di luar rumah menyiapkan Maga atau wadah besar tempat menaruh bakul-bakul yang sudah disiapkan, sembari meneguk arak atau tuak dan ditemani sebatang rokok membuat suasana terlampau indah apalagi wu’u nuran dijadikan ajang bertemu, saling sapa, dan tentunya kembali mengakrabkan diri antar anak suku setelah sekian lama terpisah akibat kesibukkan masing-masing.
Proses Pengantaraan Bau Baku

Dan diseberang sana, sesosok laki-laki dengan sebilah kayu jati atau dikenal Niron Alan Jati atau utusan Bapa Lewo Ema Tana, berjalan mendatangi rumah adat suku satu ke rumah adat suku lainnya, memberi isyarat kalau-kalau Bau Baku yang sudah dipersiapkan suku masing-masing siap diantar memasuki Lango Bele. Dan kemeriahan tak bisa ditolak, dengan selendang ataupun dedauan pengganti selendang menjadi warna tersendiri saat pengantaran Bau Baku tersebut sembari terus menari, tanpa mengenal dia anak-anak, remaja dan orang tua, semuanya tak habis-habisnya bersorak menyatakan syukur dan kemeriahan atas hasil panen tahun ini. Sedang, di pelataran Lango Bele berjubel manusia menunggu kedatangan masing-masing suku mengantar Bau Bakunya sembari bersama bersorak menyambut keluarga mereka dalam suku Balawelin. Kemeriahan ini sendiri ditutup dengan ritus makan bersama (reka lamak) pada malam harinya sebagai ujud kebersamaan tanpa melihat batasan tertentu, karena semuanya makan di atas tikar seadanya menutupi tanah pelataran Lango Bele dan itulah akhir cerita wu’u nuran di tahun ini, masih banyak cerita yang tersisa di tanah mereka yang gersang itu, banyak kisah dari tanah seberang yang terlupakan, namun masih punya rasa hormat buat pencipta dan penjaganya. Nuansa keagungannya belum habis terkikis, masih ada yang tersisa dan mereka terus menjaga diantara cerita sukses manusia modern. Itulah Mereka Bangsa Balawelin dengan Cerita Wu’u Nurannya.

 Penulis              : Frengky Keban (Koordinator Wisata Menulis-Flotim)
Tinggal               : Larantuka
Alamat Email     : engkykeban@gmail.com
Blog                    : arjunkeban@blogspot.com
No Hp                 : 082359259635
Tulisan ini pernah dimuat di website Dinas Pariwisata Prov. NTT



Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...