Saturday, October 3, 2015

BUDAYA: DILUPAKAN ATAU TERSISIH




(Refleksi Atas Festival Seni Budaya Flotim)
*Frengky Keban
(Koordinator Komunitas Wisata Menulis-Flotim)


“Tanpa Manusia, budaya tidak ada, namun lebih penting dari itu, tanpa budaya, manusia tidak akan ada”
Demikian kata Cliford Geetz, Antropolog asal Amerika Serikat mengenai eksistensi budaya dan manusia. Sederhana, dan penuh makna. Iya manusia dan budaya tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya, walaupun bisa dibedakan bak mata uang yang memiliki dua sisi saling bersinggungan namun masih mampu untuk melengkapi. Dengan kata lain, budaya selalu mengiringi langkah hidup manusia, dan mampu menunjukkan eksistensi manusia itu sendiri. Betapa tidak, sejak manusia mengecap indahnya dunia diawal hidupnya, hingga ia kembali menutup mata mempertanggungjawabkan kinerja hidup kepada Sang Khalik, ia (manusia) sudah akrab dengan produk budaya seperti; tutur bahasa, nilai, norma, adat istiadat dll  yang berimbas pada perbedaan kepribadian yang dimilikinya tersebut.
Budaya sendiri secara etimologis, berasal dari bahasa sanskerta yakni Buddhi yang diartikan sebagai budi atau akal dan daya yang dapat dimaknai sebagai sebuah kekuatan, ataupun dorongan. Sehingga budaya secara sederhana dapatlah diartikan sebagai sebuah kekuatan, dorongan akal, budi manusia untuk menciptakan sesuatu. Dan jelas terlihat disini, bahwa untuk membuat atau menciptakan sesuatu seperti budaya tersebut, sudah barang tentu membutuhkan manusia karena seyogianya manusia adalah makhluk hidup yang dilengkapi dengan akal dan budi. Lebih dari itu, selain menciptakan, manusia pun mampu menjaga dan mewariskan apa yang diciptakan tersebut dengan komunikasi sebagai medianya. Manusia sedapat mungkin bisa menjadi penganut, pembawa, manipulator dan pencipta budaya itu. Dan tulisan ini hadir bukan untuk mengecam, ataupun membuat kita surut akan realitas pelik ini, namun mau membuat kita sadar kalau kita masih punya budaya yang layak untuk dibanggakan, dijaga dan dipertahankan.

Ada Apa Dengan Festival Budaya Flotim?
            Masyarakat Flores Timur sebagai sebagai sub kultur budaya Indonesia, yang dikenal dengan budaya lamaholot pun tidak pernah terlepas dari budaya itu sendiri, hal ini dapat terlihat dengan banyaknya produk seni budaya yang membuat Flotim kaya akan budaya hingga menyeret para pencinta seni budaya beramai-ramai hijrah sesaat di tana Flotim. Namun demikian, tidaklah disangsikan, acapkali banyak budaya lokal yang memuat kearifan lokal Flotim-Lamaholot mulai tergerus arus zaman. Gemohin misalnya, tidak lagi menjadi budaya turunan yang ‘mengasyikkan’di telinga kita lagi padahal gemohin adalah sebuah budaya turunan yang amat sangat identik dengan Lamaholot Flotim dan memberi nuansa indah diakhirnya. Hal ini pun berlaku juga ketika kita berbicara tentang seni budaya lain seperti tarian, karena terbukti banyak tarian di Flotim mulai kehilangan gairah kealamiannya akibat terisolir, dan terkontaminasi budaya modern yang mulai mewabah, sehingga banyak gerakannya tidak seiindah dulu. Mungkin inilah salah satu dari sekian banyak alasan yang mendorong Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Flotim di bawah kendali Andreas Ratu Kedang mengambil langkah berani menggelar Festival Seni Budaya Kabupaten Flotim ke-2 kalinya yang telah digelar Kamis (27/08) hingga Jumad (28/08) silam di Taman Kota.
            Festival yang diikuti 17 Kecamatan Minus Kecamatan Wotan Ulumado dan Kecamatan Wulanggitang adalah sebuah langkah untuk kembali memperkenalkan budaya Flotim yang kian hari kian didamprat oleh budaya kontemporer, dan memunculkan kembali yang dilupakan serta membuat khalayak yang hadir menginggat apa yang pernah mereka lihat, rasakan dengan berbagai seni budaya yang ditampilkan malam itu. Bukan hanya sekedar menentukan yang terbaik dari yang baik saja, dari semua penampilan yang rada spektakuler tersebut, ataupun sekedar menunjukkan bahwa Pemerintah melalui DISBUDPAR peduli tapi sekali lagi nilai seni budaya Lamaholot itu jauh melampaui batas siapa yang menang ataupun siapa yang pantas. Nilai seni budaya tidak ternilai maknanya.

Catatan Kritis Dibalik Festival Seni Budaya Flotim
Keberanian DISBUDPAR Flotim menggelar Festival Seni Budaya tentunya banyak diapresiasi banyak pencinta seni baik yang menonton langsung ataupun hanya sekedar membacanya di media surat kabar, namun demikian ada beberapa catatan penting yang menurut penulis wajib untuk diperhatikan, walaupun penulis sendiri tidak terlalu banyak memahami seni budaya itu sendiri karena penulis percaya tidak semua hal didunia ini baik adanya.
1.      Festival Seni Budaya Flotim: Pesta Orang Tua VS Kaum Muda
Sebagai Manusia yang berbudaya sudah barang tentu hukumnya untuk dapat mewariskan budaya leluhur kepada generasinya baik secara langsung maupun tidak langsung selain menciptakan budaya itu sendiri. Hematnya, Festival yang telah dan sudah digelar tersebut memiliki makna/pesan tersirat yang tidak tersampaikan bagi kaum tua untuk mulai berani berpikir untuk segera mewariskan seni budaya tersebut kepada mereka (kaum muda) yang sedang mulai kehilangan sendi nilai budaya Lamaholot. Rendahnya animo kaum muda dalam menyaksikan festival adalah indikator nyata kalau mereka terlampau apatis dengan seni budaya Lamaholot yang memiliki nilai tinggi tersebut, walaupun di sisi lain banyak sanggar yang pentas malam itu telah mulai memberi ruang khusus bagi kaum muda mengambil bagian di dalamnya. Tapi ingat, hanya dengan memberi ruang saja tidaklah cukup, karena banyak aspek kehidupan yang kemudian membuat mereka perlahan lupa akan budaya tersebut. Efeknya terlihat jelas, masih ada kecamatan-kecamatan di wilayah Flotim yang masih mempercayakan kaum tua untuk beraksi di atas panggung, memberikan yang mereka dapat dan yang dicintainya kepada para pencinta seni budaya Flotim. Apakah ini indikasi bahwa belum semua orang tua bisa menyalurkan ilmu seni budaya buat kaum muda ataukah kaum mudanya sendiri yang mulai emoh untuk siap mempelajari budaya leluhurnya. Mungkin.
2.      Festival Budaya Flotim: Pentas Rakyat, Wakil Rakyat atau Pemerintah.
Festival Budaya Flotim menyisahkan sedikit cerita yang mungkin membuat kita (rakyat) sedikit menggelengkan kepala dan menganggap ini adalah sebuah catatan yang sedikit ngawur, tapi festival malam itu bagi penulis tidaklah lengkap tanpa dihadiri para elit Pemerintahan dan wakil rakyat tentunya sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Hematnya, budaya menembus perbedaan baik yang kaya miskin, tua muda, kota  desa, pejabat ataupun bukan, dan menembus sekat politik yang ada.  
Bukan persoalan siapa yang melaksanakan, bukan juga instansi apa tetapi bagaimana pelaksanaan festival yang pada akhirnya mendekatkan yang jauh, membuat negeri kita yang terlampau sibuk dengan urusan pelik politik yang tak berkesudahan guna mengatasi setiap persoalan yang terjadi selama ini menjadi sedikit adem ayem melalui lentikkan jemari, dan hentakkan kaki di atas panggung rakyat tersebut dengan tari dan cerita rakyat yang dikemas begitu indah. Festival ini akan terasa indah diakhirnya jika semua elemen rakyat Flotim mulai dari eksekutif, legislatif  melebur menjadi rakyat biasa, merasakan betapa nilai seni budaya itu bukanlah barang antik yang hanya punya orang tertentu (rakyat) tetapi juga punya semua orang termasuk kaum elit sendiri.
            Catatan-catatan tersebut, adalah sejumput cerita budaya kita, budaya hasil refleksi nenek moyang yang diwariskan buat kita hingga kini, membuat Flotim begitu dikenal seantero dunia sebagai pemilik sah budaya Lamaholot. Dan catatan ini, adalah sekedar refleksi humanis seorang anak tanah, yang tak terlalu paham apa itu seni budaya tetapi begitu mencintai Tanah ini, yang memberikan banyak dari ketidasempurnaannya yang dimiliki karena menjadi bangga ketika berada dalam lingkaran budaya yang membesarkannya. Sudah begitu, masihkah kita malu, untuk mengakui bahwa Budaya Lamaholot adalah budaya kita bersama? Karena tanpa budaya manusia akan kehilangan idealismenya.
*Biodata Penulis :
Tinggal               : Larantuka
Alamat Email     : engkykeban@gmail.com
Blog                    : arjunkeban@blogspot.com
No Hp                 : 082359259635


BUDAYA VANDALISME, BUDAYA TREND YANG MEWABAH



BUDAYA VANDALISME, BUDAYA TREND YANG MEWABAH

*Frengky Keban
(Pemerhati Sosial dan Budaya)

Budaya vandalisme kini begitu akrab dengan kaum muda mulai dengan anak sekolah hingga anak yang putus sekolah. Budaya ini begitu trend di zaman ini, zaman yang kata Iwan Fals merupakan zaman edan, betapa tidak kaum muda yang katanya memiliki pendidikan tidak lagi paham akan eksistensi dirinya sebagai agent of change dan agent of devolopment Negara tetapi menjadi bagian dari perusak tatanan kehidupan sosial yang ada. Vandalisme sendiri secara morfologis dibangun dari dua kata Vandal dan –isme, dimana vandal adalah perbuatan merusak hasil karya seni dan barang berharga lainnya dan jika di tambah dengan akhiran –isme maka jelas terlihat bahwa vandalisme merupakan paham yang merusak hasil karya seni dan barang berharga lainnya.
Vandalisme pun kini mulai mewabah menjadi sebuah budaya baru yang katanya pantas untuk ditiru oleh kawula muda bukan diluar Negeri saja tetapi di Negeri kita sendiri, bukan di Kota saja tetapi juga kampung-kampung hingga Kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur yang dikenal dengan Kota Renha pun tersulut dengan aksi serupa. Beberapa Sarana fasilitas umum Kabupaten seperti pasar, halte, tempat beribadatan, terminal contohnya, kini penuh dengan coretan anak-anak “Ema Bunda”, mulai dengan tulisan grafiti hingga tulisan ala kadarnya yang intinya menyimbolkan pribadi tertentu. Aksi yang demikian pun disemarakkan dengan aksi foto-foto setelahnya, alih-alih diunggah di media sosial sebagai bukti bahwa dirinya adalah anak gaul. Budaya ini pun seolah terorganisir secara baik, dituturkan ataupun diwariskan oleh mereka (kakak) kepada adiknya yang sedang berjuang menemukan jati diri diantara himpitan dunia yang semakin edan tentunya.
Keluarga sebagai pewaris nilai budaya pertama dan terutama pun mulai dipertanyakan perannya, begitu juga sekolah tempat anak menuntut ilmu, apalagi pihak Pemerintah dan pihak keamanan. Dan tulisan ini muncul bukan untuk dijadikan bahan rujukan untuk kemudian membuat mereka yang disebutkan diatas menjadi salah, namun menjadi sebuah tulisan reflektif humanis kita untuk dapat memberikan kotrol sosial buat mereka (para pelajar, maupun non pelajar) agar tidak terjebak ke dalam ruang yang serba edan tersebut.

Ada apa dengan Kaum Muda Kita?
Pertanyaan ini adalah awal bagi kita untuk untuk dapat melihat seperti apa dan bagaimana kaum muda kita dewasa ini hingga terjebak pada krisis identitas. Kaum muda seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang belum cukup umur. Namun demikian pengertian ini pun menjadi sedikit rancu ketika tidak ada batasan umur untuk membedakan kaum muda dengan kaum lainnya maka penulis pun kemudian secara gamblang menentukan batasan sendiri yang lazim digunakan oleh kebanyakan orang untuk menyebut kaum muda yakni dari umur 18-23 tahun. Kisaran umur yang demikianlah yang kadang membuat kita kerap menyebut kaum muda sebagai kaum transisi yang bergerak dari periode pertumbuhan pubertas dan kematangan atau dengan kata lain seturut Erik H. Erikson sedang mencari identitas diri mereka. Masa ini juga menuntut kaum muda untuk terjun bebas dalam riak kenakalan remaja yang lahir dari “Strum (dorongan) und Drag (keinginan)” mengejar, membuat dan menciptakan dunia mereka sendiri tanpa berpatokkan pada nilai, norma, adat istiadat, budaya yang berlaku di masyarakat.
Boleh jadi, usia yang terlampau muda atau belum cukup umur alias belum dewasa yang dikemukakan terdahulu menyeret mereka untuk cepat meniru budaya trend dibelahan dunia lain, seperti vandalisme ini, apalagi kita sebagai orang timur amat kental dengan budaya meniru alias imitasi. Celana umpan, foto selfie adalah cerita lain yang dapat penulis masukan untuk memperkuat argumen penulis kalau budaya imitasi juga kental melekat di bumi Lamaholot tercinta ini. Ataukah mungkin, peran senior dan junior memang sudah terbentuk sejak anak kita, adik kita duduk di bangku sekolah dasar namun belum sepenuhnya disadari dan baru dirasakan ketika mereka benar-benar menjadi seorang Mahasiwa/i? Karena geliat vandalisme yang kerap terjadi di tanahku, tanah mereka, dan tanah kita ini pun dapat terjadi karena efek tersebut. Tidak percaya, tengoklah bagaimana kelompok/ grup geng di sekolah bersaing dengan grup/kelompok lainnya ketika merekrut anggota baru.  Anggota baru sedianya harus diseleksi terlebih dahulu dengan percobaan atau semacamnya yang intinya mengukur mental si anak baru sebelum masuk dalam in grup tersebut. Salah satunya dengan menorehkan namanya di tembok fasilitas umum biar dikenal seperti para pendahulunya. Sudah begitu, apa yang mau dikata, kaum muda kita yang tadinya polos berubah jadi buas, dan beringas walaupun di keluarga dicap sebagai anak alim.
Kaum Muda: Bagaimana Seharusnya?
Pertanyaan ini harusnya dapat dijawab dengan berbagai versi jawaban dan penulis pun menelurkan sedikit dari sekian banyak jawaban sekedar memberikan pencerahan kalau-kalau pembaca mulai lupa, atau engggan mengingat kaum muda masih tanggung jawab kita karena seyogianya kita pernah berada pada posisi mereka walaupun cerita kita berbeda dengan mereka.
Pendidikan tentunya harus menjadi yang pertama dan terutama, menjadi modal  mencapai kesuksesan di hari mendatang. Hal ini tentunya, patut disadari dan disyukuri oleh kaum muda Flotim, bahwa jarang dan bahkan sedikit sekali orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya saat ekonomi mereka pas-pasan, sehingga wajib untuk dipergunakan kesempatan ini sebaik mungkin dengan memberikan yang terbaik kepada mereka yang telah memberikan kita kepercayaan itu, karena kata orang kepercayaan itu mahal. Tidak butuh menjadi orang pintar, cerdas, atau apapun itu, cukup memperoleh nilai yang baik, bagus dan ilmu yang mumpuni kita dapat dikatakan sukses apalagi dibarengi dengan etika, tata krama yang baik, percaya atau tidak kita telah selangkah lebih maju dibanding orang lain. Daripada coret-coret di tembok, lebih baik coretlah pendidikanmu dengan tinta keberhasilan.
Kaum muda juga, harus mulai berani untuk katakan tidak bagi setiap perilaku yang menyimpang seperti vandalisme ini ataupun perilaku lain sebelum dijebak ataupun terjebak, karena semua harus dimulai dari diri sendiri. Jika tidak, apalah artinya jika suara hati yang menemani dan tertanam dalam pribadi kita tidak kita gunakan untuk menepis setiap gelombang hasutan dan ajakan untuk berbuat sesat.
Selain itu, penuhi harimu dengan kegiatan-kegiatan ekstrakuler yang dapat memberi efek positif dalam pengembangan karakter diri mulai dari kognitif, konasi dan afektif seperti pramuka, osis, komunitas budaya, pencinta ala dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut, walaupun hanya sesaat namun memberikan nilai tambah bagi kaum muda Flotim di dunia kerja dengan menghasilkan figur-figur anak-anak Flotim yang berkarater kuat, mapan dan mandiri baik di dalam Flotim maupun di luar Flotim.
Hal-hal tersebut diatas, bukanlah satu-satu jalan keluar, dan bukan juga panasea mengobati luka terhadap harapan kita kepada Kaum Muda Flotim, ia hanya sebagaian dari banyak jalan keluar yang bisa diambil untuk menyelamatkan generasi saat ini yang terjebang di dalam budaya vandalisme yang kian mewabah bak virus yang amat susah disembuhkan. Sekali lagi, penulis bukan mau menggurui ataupun membawa fenomena ini sebagai penghakiman atas diri kaum muda tapi ini hanyalah sebuah tugas sebagai salah satu kaum muda Flotim yang tidak menginginkan teman, saudara, adik-adiknya terlampau melangkah hingga lupa kalau mereka juga bagian dari diriku untuk menyempurnakan puzzle menuju Flotim yang damai, aman dan tertib. Jangan biarkan diri kita sakit, kalau bisa diobati, kalaupun sulit, janganlah berlari terlalu kencang karena di depan anda banyak duri yang hanya bisa dilewati saat kita bersama. Kita satu untuk Flotim.
 *Biodata Penulis :
Tinggal               : Larantuka
Alamat Email     : engkykeban@gmail.com
Blog                    : arjunkeban@blogspot.com
No Hp                 : 082359259635

Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...