Saturday, October 3, 2015

BUDAYA: DILUPAKAN ATAU TERSISIH




(Refleksi Atas Festival Seni Budaya Flotim)
*Frengky Keban
(Koordinator Komunitas Wisata Menulis-Flotim)


“Tanpa Manusia, budaya tidak ada, namun lebih penting dari itu, tanpa budaya, manusia tidak akan ada”
Demikian kata Cliford Geetz, Antropolog asal Amerika Serikat mengenai eksistensi budaya dan manusia. Sederhana, dan penuh makna. Iya manusia dan budaya tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya, walaupun bisa dibedakan bak mata uang yang memiliki dua sisi saling bersinggungan namun masih mampu untuk melengkapi. Dengan kata lain, budaya selalu mengiringi langkah hidup manusia, dan mampu menunjukkan eksistensi manusia itu sendiri. Betapa tidak, sejak manusia mengecap indahnya dunia diawal hidupnya, hingga ia kembali menutup mata mempertanggungjawabkan kinerja hidup kepada Sang Khalik, ia (manusia) sudah akrab dengan produk budaya seperti; tutur bahasa, nilai, norma, adat istiadat dll  yang berimbas pada perbedaan kepribadian yang dimilikinya tersebut.
Budaya sendiri secara etimologis, berasal dari bahasa sanskerta yakni Buddhi yang diartikan sebagai budi atau akal dan daya yang dapat dimaknai sebagai sebuah kekuatan, ataupun dorongan. Sehingga budaya secara sederhana dapatlah diartikan sebagai sebuah kekuatan, dorongan akal, budi manusia untuk menciptakan sesuatu. Dan jelas terlihat disini, bahwa untuk membuat atau menciptakan sesuatu seperti budaya tersebut, sudah barang tentu membutuhkan manusia karena seyogianya manusia adalah makhluk hidup yang dilengkapi dengan akal dan budi. Lebih dari itu, selain menciptakan, manusia pun mampu menjaga dan mewariskan apa yang diciptakan tersebut dengan komunikasi sebagai medianya. Manusia sedapat mungkin bisa menjadi penganut, pembawa, manipulator dan pencipta budaya itu. Dan tulisan ini hadir bukan untuk mengecam, ataupun membuat kita surut akan realitas pelik ini, namun mau membuat kita sadar kalau kita masih punya budaya yang layak untuk dibanggakan, dijaga dan dipertahankan.

Ada Apa Dengan Festival Budaya Flotim?
            Masyarakat Flores Timur sebagai sebagai sub kultur budaya Indonesia, yang dikenal dengan budaya lamaholot pun tidak pernah terlepas dari budaya itu sendiri, hal ini dapat terlihat dengan banyaknya produk seni budaya yang membuat Flotim kaya akan budaya hingga menyeret para pencinta seni budaya beramai-ramai hijrah sesaat di tana Flotim. Namun demikian, tidaklah disangsikan, acapkali banyak budaya lokal yang memuat kearifan lokal Flotim-Lamaholot mulai tergerus arus zaman. Gemohin misalnya, tidak lagi menjadi budaya turunan yang ‘mengasyikkan’di telinga kita lagi padahal gemohin adalah sebuah budaya turunan yang amat sangat identik dengan Lamaholot Flotim dan memberi nuansa indah diakhirnya. Hal ini pun berlaku juga ketika kita berbicara tentang seni budaya lain seperti tarian, karena terbukti banyak tarian di Flotim mulai kehilangan gairah kealamiannya akibat terisolir, dan terkontaminasi budaya modern yang mulai mewabah, sehingga banyak gerakannya tidak seiindah dulu. Mungkin inilah salah satu dari sekian banyak alasan yang mendorong Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Flotim di bawah kendali Andreas Ratu Kedang mengambil langkah berani menggelar Festival Seni Budaya Kabupaten Flotim ke-2 kalinya yang telah digelar Kamis (27/08) hingga Jumad (28/08) silam di Taman Kota.
            Festival yang diikuti 17 Kecamatan Minus Kecamatan Wotan Ulumado dan Kecamatan Wulanggitang adalah sebuah langkah untuk kembali memperkenalkan budaya Flotim yang kian hari kian didamprat oleh budaya kontemporer, dan memunculkan kembali yang dilupakan serta membuat khalayak yang hadir menginggat apa yang pernah mereka lihat, rasakan dengan berbagai seni budaya yang ditampilkan malam itu. Bukan hanya sekedar menentukan yang terbaik dari yang baik saja, dari semua penampilan yang rada spektakuler tersebut, ataupun sekedar menunjukkan bahwa Pemerintah melalui DISBUDPAR peduli tapi sekali lagi nilai seni budaya Lamaholot itu jauh melampaui batas siapa yang menang ataupun siapa yang pantas. Nilai seni budaya tidak ternilai maknanya.

Catatan Kritis Dibalik Festival Seni Budaya Flotim
Keberanian DISBUDPAR Flotim menggelar Festival Seni Budaya tentunya banyak diapresiasi banyak pencinta seni baik yang menonton langsung ataupun hanya sekedar membacanya di media surat kabar, namun demikian ada beberapa catatan penting yang menurut penulis wajib untuk diperhatikan, walaupun penulis sendiri tidak terlalu banyak memahami seni budaya itu sendiri karena penulis percaya tidak semua hal didunia ini baik adanya.
1.      Festival Seni Budaya Flotim: Pesta Orang Tua VS Kaum Muda
Sebagai Manusia yang berbudaya sudah barang tentu hukumnya untuk dapat mewariskan budaya leluhur kepada generasinya baik secara langsung maupun tidak langsung selain menciptakan budaya itu sendiri. Hematnya, Festival yang telah dan sudah digelar tersebut memiliki makna/pesan tersirat yang tidak tersampaikan bagi kaum tua untuk mulai berani berpikir untuk segera mewariskan seni budaya tersebut kepada mereka (kaum muda) yang sedang mulai kehilangan sendi nilai budaya Lamaholot. Rendahnya animo kaum muda dalam menyaksikan festival adalah indikator nyata kalau mereka terlampau apatis dengan seni budaya Lamaholot yang memiliki nilai tinggi tersebut, walaupun di sisi lain banyak sanggar yang pentas malam itu telah mulai memberi ruang khusus bagi kaum muda mengambil bagian di dalamnya. Tapi ingat, hanya dengan memberi ruang saja tidaklah cukup, karena banyak aspek kehidupan yang kemudian membuat mereka perlahan lupa akan budaya tersebut. Efeknya terlihat jelas, masih ada kecamatan-kecamatan di wilayah Flotim yang masih mempercayakan kaum tua untuk beraksi di atas panggung, memberikan yang mereka dapat dan yang dicintainya kepada para pencinta seni budaya Flotim. Apakah ini indikasi bahwa belum semua orang tua bisa menyalurkan ilmu seni budaya buat kaum muda ataukah kaum mudanya sendiri yang mulai emoh untuk siap mempelajari budaya leluhurnya. Mungkin.
2.      Festival Budaya Flotim: Pentas Rakyat, Wakil Rakyat atau Pemerintah.
Festival Budaya Flotim menyisahkan sedikit cerita yang mungkin membuat kita (rakyat) sedikit menggelengkan kepala dan menganggap ini adalah sebuah catatan yang sedikit ngawur, tapi festival malam itu bagi penulis tidaklah lengkap tanpa dihadiri para elit Pemerintahan dan wakil rakyat tentunya sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Hematnya, budaya menembus perbedaan baik yang kaya miskin, tua muda, kota  desa, pejabat ataupun bukan, dan menembus sekat politik yang ada.  
Bukan persoalan siapa yang melaksanakan, bukan juga instansi apa tetapi bagaimana pelaksanaan festival yang pada akhirnya mendekatkan yang jauh, membuat negeri kita yang terlampau sibuk dengan urusan pelik politik yang tak berkesudahan guna mengatasi setiap persoalan yang terjadi selama ini menjadi sedikit adem ayem melalui lentikkan jemari, dan hentakkan kaki di atas panggung rakyat tersebut dengan tari dan cerita rakyat yang dikemas begitu indah. Festival ini akan terasa indah diakhirnya jika semua elemen rakyat Flotim mulai dari eksekutif, legislatif  melebur menjadi rakyat biasa, merasakan betapa nilai seni budaya itu bukanlah barang antik yang hanya punya orang tertentu (rakyat) tetapi juga punya semua orang termasuk kaum elit sendiri.
            Catatan-catatan tersebut, adalah sejumput cerita budaya kita, budaya hasil refleksi nenek moyang yang diwariskan buat kita hingga kini, membuat Flotim begitu dikenal seantero dunia sebagai pemilik sah budaya Lamaholot. Dan catatan ini, adalah sekedar refleksi humanis seorang anak tanah, yang tak terlalu paham apa itu seni budaya tetapi begitu mencintai Tanah ini, yang memberikan banyak dari ketidasempurnaannya yang dimiliki karena menjadi bangga ketika berada dalam lingkaran budaya yang membesarkannya. Sudah begitu, masihkah kita malu, untuk mengakui bahwa Budaya Lamaholot adalah budaya kita bersama? Karena tanpa budaya manusia akan kehilangan idealismenya.
*Biodata Penulis :
Tinggal               : Larantuka
Alamat Email     : engkykeban@gmail.com
Blog                    : arjunkeban@blogspot.com
No Hp                 : 082359259635


BUDAYA VANDALISME, BUDAYA TREND YANG MEWABAH



BUDAYA VANDALISME, BUDAYA TREND YANG MEWABAH

*Frengky Keban
(Pemerhati Sosial dan Budaya)

Budaya vandalisme kini begitu akrab dengan kaum muda mulai dengan anak sekolah hingga anak yang putus sekolah. Budaya ini begitu trend di zaman ini, zaman yang kata Iwan Fals merupakan zaman edan, betapa tidak kaum muda yang katanya memiliki pendidikan tidak lagi paham akan eksistensi dirinya sebagai agent of change dan agent of devolopment Negara tetapi menjadi bagian dari perusak tatanan kehidupan sosial yang ada. Vandalisme sendiri secara morfologis dibangun dari dua kata Vandal dan –isme, dimana vandal adalah perbuatan merusak hasil karya seni dan barang berharga lainnya dan jika di tambah dengan akhiran –isme maka jelas terlihat bahwa vandalisme merupakan paham yang merusak hasil karya seni dan barang berharga lainnya.
Vandalisme pun kini mulai mewabah menjadi sebuah budaya baru yang katanya pantas untuk ditiru oleh kawula muda bukan diluar Negeri saja tetapi di Negeri kita sendiri, bukan di Kota saja tetapi juga kampung-kampung hingga Kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur yang dikenal dengan Kota Renha pun tersulut dengan aksi serupa. Beberapa Sarana fasilitas umum Kabupaten seperti pasar, halte, tempat beribadatan, terminal contohnya, kini penuh dengan coretan anak-anak “Ema Bunda”, mulai dengan tulisan grafiti hingga tulisan ala kadarnya yang intinya menyimbolkan pribadi tertentu. Aksi yang demikian pun disemarakkan dengan aksi foto-foto setelahnya, alih-alih diunggah di media sosial sebagai bukti bahwa dirinya adalah anak gaul. Budaya ini pun seolah terorganisir secara baik, dituturkan ataupun diwariskan oleh mereka (kakak) kepada adiknya yang sedang berjuang menemukan jati diri diantara himpitan dunia yang semakin edan tentunya.
Keluarga sebagai pewaris nilai budaya pertama dan terutama pun mulai dipertanyakan perannya, begitu juga sekolah tempat anak menuntut ilmu, apalagi pihak Pemerintah dan pihak keamanan. Dan tulisan ini muncul bukan untuk dijadikan bahan rujukan untuk kemudian membuat mereka yang disebutkan diatas menjadi salah, namun menjadi sebuah tulisan reflektif humanis kita untuk dapat memberikan kotrol sosial buat mereka (para pelajar, maupun non pelajar) agar tidak terjebak ke dalam ruang yang serba edan tersebut.

Ada apa dengan Kaum Muda Kita?
Pertanyaan ini adalah awal bagi kita untuk untuk dapat melihat seperti apa dan bagaimana kaum muda kita dewasa ini hingga terjebak pada krisis identitas. Kaum muda seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang belum cukup umur. Namun demikian pengertian ini pun menjadi sedikit rancu ketika tidak ada batasan umur untuk membedakan kaum muda dengan kaum lainnya maka penulis pun kemudian secara gamblang menentukan batasan sendiri yang lazim digunakan oleh kebanyakan orang untuk menyebut kaum muda yakni dari umur 18-23 tahun. Kisaran umur yang demikianlah yang kadang membuat kita kerap menyebut kaum muda sebagai kaum transisi yang bergerak dari periode pertumbuhan pubertas dan kematangan atau dengan kata lain seturut Erik H. Erikson sedang mencari identitas diri mereka. Masa ini juga menuntut kaum muda untuk terjun bebas dalam riak kenakalan remaja yang lahir dari “Strum (dorongan) und Drag (keinginan)” mengejar, membuat dan menciptakan dunia mereka sendiri tanpa berpatokkan pada nilai, norma, adat istiadat, budaya yang berlaku di masyarakat.
Boleh jadi, usia yang terlampau muda atau belum cukup umur alias belum dewasa yang dikemukakan terdahulu menyeret mereka untuk cepat meniru budaya trend dibelahan dunia lain, seperti vandalisme ini, apalagi kita sebagai orang timur amat kental dengan budaya meniru alias imitasi. Celana umpan, foto selfie adalah cerita lain yang dapat penulis masukan untuk memperkuat argumen penulis kalau budaya imitasi juga kental melekat di bumi Lamaholot tercinta ini. Ataukah mungkin, peran senior dan junior memang sudah terbentuk sejak anak kita, adik kita duduk di bangku sekolah dasar namun belum sepenuhnya disadari dan baru dirasakan ketika mereka benar-benar menjadi seorang Mahasiwa/i? Karena geliat vandalisme yang kerap terjadi di tanahku, tanah mereka, dan tanah kita ini pun dapat terjadi karena efek tersebut. Tidak percaya, tengoklah bagaimana kelompok/ grup geng di sekolah bersaing dengan grup/kelompok lainnya ketika merekrut anggota baru.  Anggota baru sedianya harus diseleksi terlebih dahulu dengan percobaan atau semacamnya yang intinya mengukur mental si anak baru sebelum masuk dalam in grup tersebut. Salah satunya dengan menorehkan namanya di tembok fasilitas umum biar dikenal seperti para pendahulunya. Sudah begitu, apa yang mau dikata, kaum muda kita yang tadinya polos berubah jadi buas, dan beringas walaupun di keluarga dicap sebagai anak alim.
Kaum Muda: Bagaimana Seharusnya?
Pertanyaan ini harusnya dapat dijawab dengan berbagai versi jawaban dan penulis pun menelurkan sedikit dari sekian banyak jawaban sekedar memberikan pencerahan kalau-kalau pembaca mulai lupa, atau engggan mengingat kaum muda masih tanggung jawab kita karena seyogianya kita pernah berada pada posisi mereka walaupun cerita kita berbeda dengan mereka.
Pendidikan tentunya harus menjadi yang pertama dan terutama, menjadi modal  mencapai kesuksesan di hari mendatang. Hal ini tentunya, patut disadari dan disyukuri oleh kaum muda Flotim, bahwa jarang dan bahkan sedikit sekali orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya saat ekonomi mereka pas-pasan, sehingga wajib untuk dipergunakan kesempatan ini sebaik mungkin dengan memberikan yang terbaik kepada mereka yang telah memberikan kita kepercayaan itu, karena kata orang kepercayaan itu mahal. Tidak butuh menjadi orang pintar, cerdas, atau apapun itu, cukup memperoleh nilai yang baik, bagus dan ilmu yang mumpuni kita dapat dikatakan sukses apalagi dibarengi dengan etika, tata krama yang baik, percaya atau tidak kita telah selangkah lebih maju dibanding orang lain. Daripada coret-coret di tembok, lebih baik coretlah pendidikanmu dengan tinta keberhasilan.
Kaum muda juga, harus mulai berani untuk katakan tidak bagi setiap perilaku yang menyimpang seperti vandalisme ini ataupun perilaku lain sebelum dijebak ataupun terjebak, karena semua harus dimulai dari diri sendiri. Jika tidak, apalah artinya jika suara hati yang menemani dan tertanam dalam pribadi kita tidak kita gunakan untuk menepis setiap gelombang hasutan dan ajakan untuk berbuat sesat.
Selain itu, penuhi harimu dengan kegiatan-kegiatan ekstrakuler yang dapat memberi efek positif dalam pengembangan karakter diri mulai dari kognitif, konasi dan afektif seperti pramuka, osis, komunitas budaya, pencinta ala dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut, walaupun hanya sesaat namun memberikan nilai tambah bagi kaum muda Flotim di dunia kerja dengan menghasilkan figur-figur anak-anak Flotim yang berkarater kuat, mapan dan mandiri baik di dalam Flotim maupun di luar Flotim.
Hal-hal tersebut diatas, bukanlah satu-satu jalan keluar, dan bukan juga panasea mengobati luka terhadap harapan kita kepada Kaum Muda Flotim, ia hanya sebagaian dari banyak jalan keluar yang bisa diambil untuk menyelamatkan generasi saat ini yang terjebang di dalam budaya vandalisme yang kian mewabah bak virus yang amat susah disembuhkan. Sekali lagi, penulis bukan mau menggurui ataupun membawa fenomena ini sebagai penghakiman atas diri kaum muda tapi ini hanyalah sebuah tugas sebagai salah satu kaum muda Flotim yang tidak menginginkan teman, saudara, adik-adiknya terlampau melangkah hingga lupa kalau mereka juga bagian dari diriku untuk menyempurnakan puzzle menuju Flotim yang damai, aman dan tertib. Jangan biarkan diri kita sakit, kalau bisa diobati, kalaupun sulit, janganlah berlari terlalu kencang karena di depan anda banyak duri yang hanya bisa dilewati saat kita bersama. Kita satu untuk Flotim.
 *Biodata Penulis :
Tinggal               : Larantuka
Alamat Email     : engkykeban@gmail.com
Blog                    : arjunkeban@blogspot.com
No Hp                 : 082359259635

Saturday, September 5, 2015

Wu’u Nuran, Ritual Adat Masyarakat Balawelin

Solor Watan Lema, begitulah ia disapa. Pulau seberang Larantuka dengan aneka cerita sejarah kekatolikkan zamannya membuatnya ia dikenal hampir seantero dunia, dengan kepulauan Solor tentunya (pulau Solor, Adonara dan Lembata) yang tidak lagi dipakai di peta zaman ini, dan meninggalkan reruntuhan benteng Lohayong sebagai saksi bisu bahwa Solor yang dulu punya nama dan yang tertinggal hanyalah budaya turunan yang hingga saat ini masih bertahan di atas tanah gersang milik Nenek moyang, salah satunya ritual adat wu’u nuran atau perayaan syukur atas panen pada masyarakat suku bangsa Balawelin di Solor Barat yang diadakan selama tiga hari secara beurutan.
Masyarakat Balawelin sebagai sebuah suku bangsa yang terdiri dari satu Lewo dan tujuh Duli (Kampung Filial) dibelahan barat Solor yang gersang, sarat dengan kekurangan di hampir semua aspek kehidupan hampir dilupakan, dan dipinggirkan hingga adium “Solor Nara Take” pun sempat membuat cerita mereka terkikis oleh aura zaman yang kejam. Dan Wu’u Nuran menjadi sebuah langkah menuju proses belajar bagi mereka diluar bahwa kegersangan tanah yang dimiliki orang Solor umumnya, dan di wilayah Balawelin disyukuri sebagai bentuk penghormatan kepada Bapa Kelake Lera Wulan, Ema Kewae Tana Ekan, dan leluhur lewotana yang telah memberikan mereka hidup. Dan Setelah lima tahun berlalu, Ritual Adat Wu’u Nuran kembali digelar dengan nuansa yang berbeda dari sebelumnya yang dimulai dengan seminar sehari Peta Eta Poa Oa atau pembukaan kebun baru dengan menghadirkan pembicara.. untuk bersama bersinergi membangun Balawelin bersama.
Uma Lamak Buka Ritus Wu'u Nuran
Pengataran Uma Lamak dari Lewo Bala Lama Harun Tana Harun Lama Dike

Siang itu ( 04/07/2015) ditemani teriknya mentari, mengantar masyarakat Balawelin yang bermayoritas petani dan beragama Katolik ini pun berbondong-bondong menuju rumah adat suku-suku besar atau Semata Pa (Niron-Maran, Niron-Hurit, Keban-Koten, dan Keban-Kelen) guna menggelar Ritus U’ma Lamak atau ritus pengantaran bagian ke Rumah Adat Suku Balawelin (Lango Belen) tempat dimana Bapa Lewo Ema Tana atau Tuan Tana berdiam dan dipercayakan sebagai kepala suku Masyarakat Balawelin. Dalam Ritus U’ma Lamak tersebut, menurut penuturan kepala suku Keban Koten, Yohanes Olamudi Keban, biasanya diawali dengan proses pemanggilan dari utusan Niron yang biasa dikenal dengan Niron Alan Jati ke masing-masing duli dan Lewo sembari mengantar mereka mengantar U’ma Lamak ke Lango Belen yang diiringi dengan tarian We’de yang dimaknai sebagai tarian kegemeriahan dan kegembiraan. Sejatinya dalam ritus ini, U’ma Lamak yang disiapkan antara lain beras, hewan dan lain sebagainya dan Lewo yakni Lewo Bala Lama Harun Tana Harun Lama Dike (Lamalewo) diberi kesempatan untuk memasukkan bagiannya terlebih dahulu sebagai kampung induk suku Bangsa Balawelin, setelahnya barulah diikuti oleh tujuh duli lainnya yakni, Duli Weruin Ulu Lau Pali Keneli Lima Wana/ Duli Taliha Laman Mayan Pali Mayan Lama Tali (Lamateliha), Duli Muda Lama Tulun Pali Bao Lama Banga (Lamariang), Duli Week Lama Rebon Pali Kenila Lolon Gire (Kenila), Duli Laka Lama Mayan Pali Mayan Lama Tali (Lamalaka), Duli Rita Lolon Eban Palin Bao Lolon Owa (Ritaebang), Duli Lupan Lolon Kuman Pali Au Gatan Matan (Auglaran), Duli Sunge Hara Wewan Pali Kadila Duru Basa (Riangsunge). Setelah ritus U’ma Lamak, masyarakat setempat ataupun pengujung dapat kembali ke rumah masing-masing beristirahat sejenak, ataupun menghisap rokok sebatang melepas lelah seharian, sembari menunggu ritus keesokkan harinya.
Renha Balawelin: Bukti Kesetiaan Masyarakat
Renha Balawelin 

Mentari pagi pun mulai menunjukkan kuasanya ditemani sang Jago yang tak mau kalah dengan kokokannya, sekedar membangunkan istrirahat para penghuni tanah Leluhur ini, serta menginggatkan bahwa hari ini masih ada ritus yang harus dilalui, yang penting bagi hidup sebagai pembuktian bahwa ada sisi lain dari budaya dan agama yang bisa saling melengkapi dalam Misa Inkulturasi di Kapela Maria Renha Balawelin di Kampung lama. Perjalanan sejauh 2 kilo bukan halangan, bagi mereka yang melangkah dengan semangatnya melewati hutan dan bebatuan di atas tanah gersang yang ditumbuhi puluhan pohon yang selama ini menjadi penunjang hidup masyarakat Balawelin. Tergopoh-gopoh dengan nafas tersengal menjadi buah dari perjalanan ini, namun di titik tertentu kekaguman pun melanda benak mereka yang hadir karena kapela mini yang tadinya menjadi tujuan, berdiri kokoh sosok Ibu nan cantik dibalut sarung adat ditemani sebuah tongkat yang bagi Masyarakat setempat diakui sebagai pelindungnya yang berdiam di kapel kecil dikelilingi lukisan-lukisan kecil suku-suku Dan ini pun menjadi jawaban atas serpihan sejarah yang tertinggal di Bumi Lamaholot bahwa bukan hanya satu Bunda Maria Renha yang ada di tana Larantukan tapi juga masih ada di pelosok Negeri yang kering tersebut yakni Bunda Maria Renha Balawelin yang menurut sejarahnya diserahkan oleh mendiang raja Larantuka kepada masyarakat setempat 55 tahun silam sebagai simbol kekeluargaan dan keakraban antara kerajaan Larantuka dengan masyarakat setempat. Nuansa budaya kental pun mengiringi kegembiraan rohani kita, saat melihat empat buah rumah kecil dengan atap alang-alang yang dipakai Semata Pa atau fungsionaris adat masyarakat Balawelin untuk melakukan ritual adat di kampung lama tersebut atau pun sekedar memberi makan Leluhur lewotana yang mendiami kampung tersebut. Nyanyian dan tarian adat menyemarakkan Misa Inkulturasi yang dipimpin oleh Pater Alfons Hayon, SVD, bersama belasan imam yang turut ambil bagian dalam perayaan syukur tersebut sembari sekali-kali tersenyum dan takjub akan sebuah realitas akan hidup bersama masyarakat Balawelin yang masih menjaga budayanya di tengah himpitan kegaulan dunia modernisasi ini.  Nuansa kental, budaya pun mengemuka kembali saat sang protokoler Ambros Niron, mengundang Bapa Lewo, Ema Tana melakukan ritual tutup kampung yang diakhiri dengan pemotongan hewan kurban di bawah Nuba dan selanjutnya kepala hewan tersebut dijadikan persembahan dalam ekaristi tersebut. Menarik, penuh cerita, dan membuat alam sadar kita berdecak kagum tentunya dan membuat kaki-kaki para peziarah atau umat yang hadir berani melangkah kembali menuju pelataran Lango Bele Suku Balawelin mengikuti ritus Belo Wuli atau pemotongan leher hewan yang menjadi persembahan Lewo dan masing-masing Duli. Keheningan membuncah, ditengah semarak ritus tersebut, dibarengi dengan lampu cahaya kamera segala jenis meliputi tenda yang menutup wajah letih para empunya pemilik sah ritual Wu’u Nuran dari sengatan mentari yang kian menjauh di ufuk barat, ditambah lagi dengan pekikan hewan kurban yang akan dieksekusi sebagai persembahan kepada sang pemilik kehidupan bersama para leluhur yang senantiasa menjaga Lewo ini.
Bau Baku: Caca Jiwa Yang Terjaga
Bau Baku di Rumah Suku Keban-Kelen

Dan cerita lima tahunan ini, tidak akan berhenti sebelum ritus puncak Bau Baku atau meletakkan nasi ke dalam bakul besar sesuai dengan hitungan anak laki-laki terwujud pada keesokkan harinya, di rumah suku masing-masing. Perempuan yang sedari kemarin tidak terlampau sibuk, kini menjadi figur yang amat sibuk dalam ritus ini dan diuji kemapanannya mengelola suasana ketika semua orang mulai letih kaki dan tangannya. Iya..perempuan memasak dengan peluh keringat di dapur sederhana, melawan asap kayu bakar di tunggu beralaskan batu seadanya, berharap masakan nasinya cukup bagi laki-laki di suku masing-masing. Sedang laki-laki suku bekerja di luar rumah menyiapkan Maga atau wadah besar tempat menaruh bakul-bakul yang sudah disiapkan, sembari meneguk arak atau tuak dan ditemani sebatang rokok membuat suasana terlampau indah apalagi wu’u nuran dijadikan ajang bertemu, saling sapa, dan tentunya kembali mengakrabkan diri antar anak suku setelah sekian lama terpisah akibat kesibukkan masing-masing.
Proses Pengantaraan Bau Baku

Dan diseberang sana, sesosok laki-laki dengan sebilah kayu jati atau dikenal Niron Alan Jati atau utusan Bapa Lewo Ema Tana, berjalan mendatangi rumah adat suku satu ke rumah adat suku lainnya, memberi isyarat kalau-kalau Bau Baku yang sudah dipersiapkan suku masing-masing siap diantar memasuki Lango Bele. Dan kemeriahan tak bisa ditolak, dengan selendang ataupun dedauan pengganti selendang menjadi warna tersendiri saat pengantaran Bau Baku tersebut sembari terus menari, tanpa mengenal dia anak-anak, remaja dan orang tua, semuanya tak habis-habisnya bersorak menyatakan syukur dan kemeriahan atas hasil panen tahun ini. Sedang, di pelataran Lango Bele berjubel manusia menunggu kedatangan masing-masing suku mengantar Bau Bakunya sembari bersama bersorak menyambut keluarga mereka dalam suku Balawelin. Kemeriahan ini sendiri ditutup dengan ritus makan bersama (reka lamak) pada malam harinya sebagai ujud kebersamaan tanpa melihat batasan tertentu, karena semuanya makan di atas tikar seadanya menutupi tanah pelataran Lango Bele dan itulah akhir cerita wu’u nuran di tahun ini, masih banyak cerita yang tersisa di tanah mereka yang gersang itu, banyak kisah dari tanah seberang yang terlupakan, namun masih punya rasa hormat buat pencipta dan penjaganya. Nuansa keagungannya belum habis terkikis, masih ada yang tersisa dan mereka terus menjaga diantara cerita sukses manusia modern. Itulah Mereka Bangsa Balawelin dengan Cerita Wu’u Nurannya.

 Penulis              : Frengky Keban (Koordinator Wisata Menulis-Flotim)
Tinggal               : Larantuka
Alamat Email     : engkykeban@gmail.com
Blog                    : arjunkeban@blogspot.com
No Hp                 : 082359259635
Tulisan ini pernah dimuat di website Dinas Pariwisata Prov. NTT



Tuesday, July 21, 2015

Pantai Selatan Flotim, Gambaran Pantai Penuh Eksotika




Pantai selatan sepanjang kawasan Nobo hingga Pantai Oa, Kabupaten Flores Timur, menyimpan keindahan eksotika yang tidak ada duanya. Salah satunya adalah Kawasan pantai desa Lewoawang, Kecamatan Ilebura-Kabupaten Flores Timur yang terletak 45 KM dari arah barat Larantuka, 17 KM arah barat Nobo dan 13 KM arah timur Boru, Ibukota Kecamatan Wulanggitang. Adalah Komunitas Wisata Menulis Kabupaten Flores Timur (KWMFlotim) yang terdiri dari para wartawan, penulis, facebookers dan bloggers berhasil menguak pesona keindahan laut pantai selatan Flotim dalam catatan perjalanan, Sabtu (16/05). Dan tulisan ini, adalah sejumput cerita saya dari sekian banyak cerita yang akan kami (baca: Komunitas Wisata Menulis Flotim) sajikan buat para pembaca semua dari sisi yang kami lihat, kami dengar dan kami rasakan. Sekali lagi, tulisan ini adalah bentuk lain kecintaan kami pada tanah milik Leluhur kami, Bumi Lamaholot tercinta.
Dan pagi itu, deru mesin kendaraan roda dua (baca:sepeda motor) berpacu meninggalkan kota Larantuka yang sehari-hari diliputi dengan hingar bingar kekotaannya, dipadati manusia-manusia pencinta kehidupan, menuju ujung lain kota Larantuka untuk menjelajahi setiap jengkal demi jengkal kehidupan orang pesisir. Sejam perjalanan bukanlah suatu hal yang mudah buat kami para pencari keindahan, jalanan yang dipenuhi kendaraan pulang pergi Maumere-Larantuka ataupun sebaliknya, dihiasi dengan jalan yang meliuk bak ular adalah gambaran betapa susahnya meraih impian atas mimpi kami. Iya..mimpi akan sesuatu yang lain, yang pantas untuk dinikmati setelah sepekan harus berkutat dengan rutinitas dibalik meja dan komputer. Namun semuanya  menjadi menarik saat, kulihat di tepian jalan perempuan-perempuan Lamoholot berjalan menyongsong hari, sembari menenteng dirigen berisi air dan menjunjung bakul di atas kepala yang menandakan pekerjaan akan tanah di negeri ini akan dan sedang dimulai. Mereka berhasil membalikkan tuntutan perempuan dapur menjadi perempuan petani saat jiwaku ini sedang lupa bahwa perempuan Lamholot masih terlalu tangguh atas tanah walaupun mereka harus diperhadapkan dengan realitas mengurus dapur keluarga. Dan alam negeriku, tak bisa kulukiskan lagi, dan tidak mampu kutuliskan dalam catatan ini karena akan membuatku dan para pembaca sekalian menjadi iri terhadap lukisan tangan Sang Pencipta tanpa kata, pantai berpasir hitam di Desa Nurabelen dipadukan dengan indahnya pulau Solor di seberang sana, dan Gua Maria Rossa Mustika Riangbunga yang berlatarkan hamparan laut luas membuat suasana berbeda dari biasanya,  belum lagi wajah Sang Bunda dililit selendang adat membuat Ia terlihat cantik serupa Bidadari adalah rentetan indah negeri ini yang buatku terkesima dan hanya mengangguk diantara ketidakpercayaan akan makna kata “Ia menciptakan semuanya, indah.” 
Gua Maria Rossa Mistika-Riangbunga


Pantai Lewoawang, Sisi Keindahan Tanpa Jamahan

Dan perjalanan yang kunikmati ini akhirnya terhenti saat telinga dan pandangan mata ini tertuju pada bunyi desiran ombak memukul keperkasaan sang batu yang tersusun rapi di bibir pantai pertanda kutemukan keindahan di sisi lain negeriku di desa Lewoawang, Kecamatan Ilebura. Keindahan tanpa jamahan tangan manusia, menjadikannya murni pantai dengan nilai humanis bergaya lama tanpa ada nuansa moderat. Belum lagi mata ini dimanjakan dengan pemandangan laut lepas yang luas berdampingan dengan ujung daratan pulau Solor dan ditemani onggokan pulau-pulau kecil yang menurut Hans Wain salah satu Anggota Komunitas Wisata Menulis Flotim disebut pulau kambing, pulau suanggi dan pulau besar. Sedang bebatuan di pinggiran pantai tersebut tergeletak seadanya menemani pasir hitam menambah nuansa eksotika pantai Lewoawang. Dan ombaknyapun tak mau berhenti bercerita, dengan gulungan busa putih, berlomba dan saling mengejar menggapai bibir pantai atau sekedar memukul bebatuan guna memperingatkan para pencinta alam untuk berhenti, menyapa dan menikmatinya. Apalagi ditemani rindangnya puluhan pohon kelapa yang menjulang di tepian yang sudah barang tentu membuat nuansa pariwisata pantai Lewoawang menjadi lebih lengkap di ujung akhir perjalanan kami menguak potensi desa menjadi desa destinasi wisata dan memperkenalkannya kepada mereka yang lain. 

 “Jika kelak, Pantai ini dilirik Pemerintah, yang wajib ada adalah lopo-lopo kecil dibawah rimbunan pohon kelapa ini. sehingga lengkaplah wisata ini ” tutur Maksimus Masan Kian, salah satu anggota KWM Flotim di tengah kesibukkan kami menikmati keindahan pantai ditemani kegembiraan anak-anak bermain layangan di bibir pantai. 

Jalan dan Listrik Masih Jadi Prioritas
 

Namun demikian, keindahan pantai Lewoawang seolah menjadi sebuah keniscayaan jika melihat realitas sarana pendukung di wilayah yang masyarakatnya bermayoritas petani mete tersebut. Iya, selain jalan yang masih menjadi sesuatu yang urgen di hampir semua wilayah Flotim, juga masalah listrik yang katanya telah tiga tahun lalu telah dipersiapkan mulai dari penebangan mete dan kelapa milik warga serta digantikannya dengan  pemasangan tiang-tiang jaringan, namun hingga kini belum bisa diinstalasi ke rumah-rumah penduduk. Menurut warga Lewoawang Klara Kesi Uran dan Yuliana Teri Wolo yang kebetulan telah menunggu kami di jalanan aspal berdebu “ Mete yang sementara berbuah milik kami ditebang semua, namun listrik juga tidak tahu menyala-menyala,” kata Klara.
Dan untuk mengatasi persoalan listrik tersebut, tuturnya, masyarakat setempat masih menggunakan pelita sebagai pengganti listrik. Selain itu, masalah lain yang mengemuka dalam percakapan singkat kami tersebut adalah masalah jaringan telekomunikasi yang membuat beberapa warga pengguna handphone misalnya harus berjalan kaki ke desa Lewouran sekedar berbincang atau memberikan kabar kepada keluarga, sahabat dan kenalan mereka. Iya.. fenomena ini bukan untuk mengatakan kepada dunia bahwa mereka harus seperti orang di seberang sana yang mengakabi diri dengan hal-hal kekotaan tapi ini hanya sebagian dari kebutuhan masyarakat yang tentunya penting dan berguna bagi mereka guna menjawabi tuntutan sebagai warga Masyarakat dalam nuansa Kelamaholotan. Seiring perjuangan mengangkat dan memperkenalkan desa Lewouran sebagai sebuah desa destinasi, tentunya masalah-masalah tadi bukan hanya sekedar diketahui oleh para pembaca, syukur juga kalau di antara para pembaca sekalian ada pula yang berasal dari dunia Birokrasi agar menjadi titipan singkat mewakili suara mereka di seberang yang notabene masih mengharapkan perhatian pemerintah dan saya sebagai anak Negeri ini yang menuliskan kisah singkat ini hanya bisa bercerita dari sisi lain kemanusian saya, melukiskan keadaan yang saya lihat, saya dengar dan saya rasakan. Bukan menuntut, bukan juga mau berlaku surut menyalahkan sepihak orang-orang tertentu, tapi ini hanya sebuah reflektif humanis kita yang dikemas dalam nuansa kewisataan menembus perbedaan namun punya tujuan yang sama Mengangkat dan Memperkenalkan Flotim Pada Dunia, Karena Saya, Anda dan Mereka Mencintai Flores Timur.

Biodata penulis:

Nama  : Fransiskus Xaverius Bala Keban
Tinggal di Larantuka
No Hp: 082359259635

 


 
 






Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...