Saturday, October 20, 2012

puisi-puisi


JERITAN SANG NABI
Tuhan…
Tak ada lagi kasihMu…
Tak ada lagi cintaMu…
Yang ada hanya kesesatan semu
Menghiasi lorong-lorong peradaban ini

Tuhan…
Aku malu
Kalah
Pasrah
Tak ada lagi kekuatan
Tuk tebarkan cintaMu
Telah berganti rupa
Jadi racun, menyiksa hidup
Bagi mereka yang tak kenal siapa Engkau

Tuhan…
Mungkin aku butuh tambahan iman,
Kesendirianku buat aku takut
Curahkan kasihMu
Entahkah aku bisa,
Walau hanya bermodalkan sabda-Mu???

Karya: Engki Keban
JIWA RAPUH

Lorong ini menyelimuti ragaku
Mendesakku tuk lari
Lari dari kenyataan ini.
Mendongak pada senyum yang menipu
Sembari tidur dan bangun lagi
Lantas…
Roboh dan kaku.
Lemahnya pikirannku tuntutku
Tuk kembali,
Kemudian rebah,menginjak kepala egoku
Memeras kalut yang hitam
Seturut rasa yang kian memudar.
Anggur berasa duri
Seakan mendabrat nuraniku,
Mencekik bulu keakhlakanku
Hingga…
Aku jatuh lagi.
Aku tak tahu untuk berapa lama
Aku bertahan,hadapi semuanya.
Kesalahan pun menumpuk dalam diamnya,
Tungggu dalam pekatnya sang malam,
Harap sadarku jadi peka.
Lantas…
Pikiranku kembali terguncang
Hatiku jadi kabur
Dan…
Tergelincir dan tidur untuk selamanya.

Karya: Engki Keban


DUNIAKU ADALAH MEREKA

Duniaku adalah mereka
Negeriku adalah hidup mereka
Yang terpasung sepi dalam
Tidurnya keadilan
Terlelap sembari berharap
Tuk peroleh kebebasan

Mata mereka seolah
Sungai yang terus mengalir saat semuanya
Menjadi gelap
Sunyi…
Dan…



Lantas meragu rasa
tuk miliki semuanya
 terpental dalam dunia
bertopeng nikmat
lalu berwajah seram
tersungging senyum kemenangan

dunia mereka
telah berbau pesing
dikecengi oleh budak-budak
keanggaraan
menutupi angan yang kian hitam
di langit waktu.

Karya : Engki Keban










Bintang gemerlap di langit duka
Dengan sejuta ingin yang semakin mengabur
Lantas…pergi

Coba bangkit
Berdiri…
Tapi….
Semua tetap hilang ditelan sang waktu

Mengatup tangan, bersembah diri
Harap tobatku





Makalah Budaya Tergerus Modernisasi


BUDAYA TERGERUS MODERNISASI



Perkembangan zaman menuntut kita terjun dan terlibat dalam era baru itu, bukan sekedar tanpa alasan sebab perkembangan dunia dewasa ini telah merubah sisi lain hidup kita dan menembusi dimensi hidup kita sebagai Homo Socius. Politik, ekonomi, sosial, dan Budaya adalah beberapa bidang yang secara tak langsung merasakan imbas dari perkembangan zaman yang menurut beberapa ahli disebut dengan keadaan modern, ataupun meminjam pernyataan Giddens yang memandang Modern sebagai lokomotif sebagai gambaran tahapan maju dari modernitas – radikal, tinggi, modernitas mutakhir( Ritzer,2003: 24). Dengan demikian keadaan modern menuntut adanya perubahan keadaan,dimana keadaan yang tradisional di satu sisi berganti dengan keadaan yang modern si lainnya. Hal ini pun tak pelak merambah secara signifikan dalam diri budaya sebagai sesuatu yang sangat primordial sejauh pengamatan penulis, tanpa memandang rendah aspek lain dalam kehidupan ini. Kenapa demikian? Budayalah yang pertama mengajarkan kepada kita tentang nilai, tentang norma kehidupan sosial, tentang kebiasaan yang berkembang dalam budaya kita. Begitu banyak nilai budaya kita yang kini menjadi bulan-bulanan modernisasi dan dijadikan nilai kedua setelah modernisasi, adanya pergeseran nilai budaya dijadikan alasan untuk mengukung budaya dalam tembok sosial kita dan mengedepankan modern sebagai trend baru dewasa ini. Apalagi modernisasi membuat manusia larut dalam ayunan hedonismenya dan membuat mereka lupa pada hakikat hidup mereka sebagai manusia yang dapat mengontrol semuanya dan bukan dikontrol oleh barang yang didewakan itu, dan menggunakan rasionalitasnya untuk memylah mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang tidak. Hal demikanlah yang membuat penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh persoalan budaya dengan melihatnya dalam perspektif edukatif sosiologis dan secara khusus memakai kacamata komunikasi secara kritis walaupun secara umum tidaklah sekritik Hormheimer dkk.


1.      Konsep Umum: Budaya dan Modernisasi

Konsep budaya dan modernisasi bukanlah hal baru di telinga kita, 2 konsep ini secara tidak langsung mau menunjukkan kepada kita elemen dasar kehidupan kita yakni perubahan itu sendiri yang bergerak secara gradual; yang dimulai dari masyarakat tradisional, masyarakat transisi, sampai pada masyarakat modern yang ditandai dengan kemajuan berbagai bidang kehidupan. Konsep modernisasi yang menjadi pokok bahasan kita ini berangkat dari kata modern yang dapat diartikan sebagai terbaru,atau cara, sikap berpikir serta bertindak sesuai tuntutan zaman ( Tim Penyusun Kamus, 1994:589). Sementara, konsep ‘modernitas’ digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan. Awal dari dunia modern seringkali dinisbatkan kepada renaissance dianggap sebagai awal dari perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang ‘humanisme’; sebagai tantangan terhadap kepercayaan keagamaan Abad Pertengahan juga sebagai satu bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia. Semangat Renaissance jelas sekali diwakili oleh pemikiran Descartes, dan melalui wawasan ‘humanisme’nya menjadikan manusia - dengan segala kemampuan rasionalnya - sebagai ‘aku’ (subyek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia dengan bahasa latin yang terkenal “Cogito Ergo Sum” lain hal dengan modern tadi, konsep modernisasi seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (1994: 589). Jadi jelaslah bahwa modernisasi itu sendiri memiliki beberapa variabel pembentuk yakni proses, pergeseran nilai dan mentalitas, dan hidup sesuai tuntutan zaman. Hal ini yang menjadikan modernisasi menjadi sebuah fenomena baru yang amat menarik untuk ditelaah oleh karena banyak sekali ideology dibalik keadaannya itu yang harus kita sigapi. Lain halnya dengan budaya yang dapat didefinisikan secara etimologis sebagai daya, kemampuan, akal budi untuk menciptakan sesuatu atau meminjam definisi Koentjaraningrat yang melihat budaya sebagai gagasan, kelakuan, dan hasil-hasil kelakuan (Dayakisni, 2004:4).
Fenomena modernisasi itu juga sebenarnya sudah diprediksi  sebelumnya oleh Mazhab Frankfurt dan mencoba mengkritisinya lewat cermin kebudayaan seperti halnya Marcuse dan Adorno dalam buku mereka yang berjudul The Dialectic Of the Enlightement yang dikemas rapi dalam buku Teori-teori sosial Modern yang intinya melihat manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu dan potensi-potensi yang lepas dari dirinya dalam kehidupan masyarakat modern yang mencangkup kebudayaan Highbrow  sampai pada lowbrow (1986: 289). Itu berarti bahwa kebudayaan mencangkup semua dimensi kehidupan kita dan mengikuti perkembangan zaman yang ada dan dapat dijadikan solusi paling primordial guna menjawabi pertanyaan perihal kehidupan kita  sebab kebudayaan adalah awal kehidupan kita. Dan manusia dirasa bisa menepis keberadaan modernisasi itu asal ia bisa merekah dan mengilhami budayanya sendiri tanpa harus melihat budaya sebagai boomerang untuk berinteraksi dengan orang lain.  














2.      Hubungan Budaya dan Modernisasi

Pertanyaan besar pun muncul ketika kita menelaah konsep budaya dan modernisasi yakni hubungan seperti apa antara budaya dan modernisasi? Penulis mencoba membeberkan secara garis besar saja hubungan itu, seperti melihat horizon lautan dari puncak gunung sebab dengan demikian kita melihat kedalaman dan kejernihan airnya.
Seperti yang pernah dijelaskan oleh Pak Lazarus Jehamat dalam kuliah Studi Kritik, bahwa kebudayaan itu sebenarnya di bagi atas 2 yakni kebudayaan material dan non material. Dan ketidakkeseimbangannya atau persoalannya muncul ketika antara keduanya bergerak tidak beriringan lagi, satu mendahului yang lainnya. Inilah yang sedang dan akan kita alami bahwa kualitas keebudayaan material seperti teknologi bergerak cepat dan mendahului kebudayaan nonmaterial padahal penulis melihat bahwa kebudayaan yang paling mendasar adalah kebudayaan non material yang didalamnya berisi nilai, norma, adat istiadat yang menjadi patokan dalam hidup. okelah, teknologi berguna juga bagi manusia tapi apakah itu penting bagi manusia? Kita memang manusia yang berakal budi namun kita kerap salah menempatkan nilai guna dan nilai penting terhadap sesuatu. Dalam hal ini teknologi Hp sebagai contohnya, hp amat berguna buat kita sebagai sarana komunikasi; namun tidak memiliki nilai yang penting bagi kehidupan kita sendiri. Ia hanyalah alat semata. Bahwa tidak semua yang berguna itu penting, tapi semua yang penting pasti memiliki nilai guna bagi manusia.
Inilah yang membuat kita seolah menjadi manusia bodoh didepan teknologi sebagai bagian dari perubahan kehidupan kita (Baca: Modernisasi). Kita telah termakan bahkan tenggelam dalam gemerlapan dunia modernisasi yang kadang menyeret kita untuk mendewakan teknologi dan pongah akan hidup ini, impasnya individualistik menjadi dominan guna mengalahkan budaya kolektifitas yang selama ini kita anut. Kembali kepada persoalan kita diawal tadi, soal hubungan saya pikir keduanya memiliki korelasi yang amat erat dimana sebenarnya modernisasi adalah bagian budaya itu sendiri, modernisasi adalah imbas budaya yang telah ditekan oleh perubahan seperti teknologi yang dalam Matsumoto yang dikemas dalam buku Pengantar Antropologi tulisan Simon Coleman dan Helen Watson dikatakan sebagai kategorisasi dari budaya itu sendiri (2005:10). Apalagi modernisasi sendiri merupakan representasi mutlak dari budaya non material yang lebih berkembang cepat ketimbang budaya material yang tengah ada di antara kita dan kita tidak tahu sampai kapan hal itu berhenti. Dan hal ini pun kemudian membuat manusia muncul sebagai manusia-manusia baru penyuka produk instant, bahkan menjadi alat instant itu sendiri dan berakibat fatal bagi moralitas public manusia itu terutama moralitas masyarakat modern. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang menjamin kebebasan individu dalam hubungan dengan masyarakat lainnya. Selain itu masyarakat moderen ditandai dengan semakin tingginya waktu untuk bertukar informasi, baik dengan media komunikasi maupun dengan pemakaian teknologi komunikasi seperti telepon dan komputer. Media komunikasi, dalam hal ini media massa, memiliki fungsi-fungsi bagi masyarakat. Bahkan pada abad informasi sekarang ini, demokrasi yang sifatnya bebas, adil dan partisipatif hanya mungkin hadir dalam demokrasi digital. Demokrasi digital adalah manifestasi dari peralihan paradigma dalam dinamika politik yang berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi, dimana kebebasan untuk meneluarkan pendapat tanpa control yang ketat dari pemerintah atau  pemilihan pemimpin daerah via internet yang marak terjadi. Contoh lain yang bisa menggambarkan hubungan antara budaya dan modernisasi adalah tanyangan film di televisi yang kadang membuat kita serupa dengan mereka yang mendramatisasikannya. Menonton pada dasarnya merupakan sebuah ritus harian manusia untuk lari dari kenyataan tanpa mempelajari secara lebih cermat, karena pikiran kita telah dikontrol oleh televisi dengan tayangan yang secara umum telah membawa kita pada dunia alam sadar. Atau dengan kata lain fenomena film adalah keterasingan tampaknya sudah mulai dijinakkan oleh penyebab keterasingan itu sendiri (relasi produksi). Jangan pikir budaya kekerasan dalam bentuk apa pun itu datang dengan sendirinya semuanya adalah bentuk efek dari media akibat modernisasi. Dan inilah kenyataan yang pelik yang harus kita balikkan sebab kalau dibiarkan begitu maka kita semua saya,dan anda akan terjerembab pada lubang yang sama tanpa harus mengubahnya terlebih dahulu. Dan mungkin impasnya ada pada anak-cucu kita.

3.      Budaya Tergerus Modernisasi

Ketika kita berbicara mengenai budaya tergerus oleh modernisasi salah satu yang terlintas dibenak penulis adalah efek. Sebab secara sadar atau tidak efek adalah sesuatu yang penting yang bisa menggambarkan lebih lanjut tentang modernisasi itu. Salah satunya adalah pergeseran nilai budaya kita itu sendiri. Penulis pun kemudian menelaah lebih jauh modernisasi ketika itu dihadapkan pada budaya gemohin di daerah Flores Timur budaya lamaholot.
           Gemohin atau sering dikenal dengan Moit merupakan bentuk kerjasama atas dasar tolong-menolong secara timbal balik antara beberapa orang ataupun kerjasama antara sejumlah warga masyarakat yang terorganisir untuk kepentingan bersama atau kepentingan umum (Tifaona,2007:102). Budaya ini adalah budaya turunan nenek moyang masyarakat lamaholot yang menjadi cirri khas budaya mereka. Budaya gemohin ini sedianya dipakai pada acara perkawinan, kematian, pekerjaan pertanian, penangkapan ikan, pembuatan rumah, pembuatan perahu dan lain sebagainya yang menenkankan pada asas kekeluargaan, musyawarah, kerjasama, religious, adil dan manfaat. Namun semua itu dirasa hanya sebagai bagian harapan sebab sekarang dengan adanya modernisasi budaya itu semakin terkikis dan bahkan diprediksi bakal hilang suatu saat nanti. Bukan pesimistis namun kenyataan itu sudah mulai nampak, dengan perrilaku masyarakat lamaholot yang dipersepi orang sebagai masyarakat berbudaya itu. Mereka bukan lagi masyarakat kolektif namun, lebih mengedepankan individualistic semu demi sebuah tujuan yang belum tentu benar. Pertanian yang dulunya dijadikan ajang untuk saling mengenal dan menyapa dengan tarian dolo-dolo ( dengan nyanyian pantun bersaut-sautan) kini menjadi lahan kosong dengan tarikan mesin traktor dan semprotan peksitisida. Belum lagi, segi lain kehidupan masyarakat lamaholot yang sudah tergerus oleh ada dalam adanya modernisasi seperti kehidupan bertetangga yang bukan lagi saling menghargai malah membuat tembok tinggi samping kiri kanan,muka belakang sebagai ajang untuk lebih menyendiri. Sebuah kenyataan yang amat pahit memang bagi kita ketika budaya yang sedianya tidak lekang oleh waktu, tak habis dimakan pusaran angin perubahan harus hilang begitu saja.
           Memang modernisasi telah banyak membuat budaya kita harus terkikis dan ditinggalkan oleh para pelakon budaya itu sendiri, dan inilah akibat lain ketika kita tidak bisa mengontrol secara pribadi manusia-manusia yang tidak puas akan pencapaian diri akan hidup mereka. Kita seolah larut dalam lingkupan budaya modern yang harus menuntut kita melepaskan apa yang menjadi ideology awal kita dan mengambil sesuatu yang bukan milik kita dalam tataran kebenaran. Miris bukanlah sebuah langkah tepat buat kita atau sekedar lari dari kenyataan ini, kita harus bisa menghadapinya sekarang.  Atau sekedar saling menyalahkan? Penulis berpikir buat apa juga kita harus saling menyalahkan saling mngumpat demi sebuah pembenaran diri, toh…semua sudah terjadi, kita harus bisa berbenah diri sebelum itu harus menjadi sebuah budaya baru buat kita. Kita harus bisa melawan realitass ini kalau mau dibilang manusia berbudaya sebab manusia berbudaya adalah manusia yang bisa melindungi budayanya sendiri dari terpaan zaman yang mengharuskan dia menanggalkan budayanya dan mengenakan budaya lain.


4.      Jalan keluar yang diambil
Seperti yang dijelaskan diatas ketika kita harus berhadapan dengan modernisasi sebagai bagian budaya baru kita maka penulis pun kemudian merasa perlu untuk memberi sedikit jalan keluar walaupun ini bukan satu-satu solusi yang pantas untuk dilakukan namun tidak ada salahnya untuk mencobanya sebab kita tidak akan tahu kita berhasil atau tidak tanpa mencobanya.
                                                Salah satu yang paling penting adalah kesadaran diri untuk mempertahankan yang sudah ada dan mengukuhkan yang hilang. Ketika kita mencoba untuk rendah hati menerima budaya kita sejelek apapun itu, penulis berpikir kita secara tidak langsung mencintai budaya kita dan mau agar budaya kita menjadi lestari. Lebih dari itu sebagai manusia yang berakal budi sebenarnya kita bisa membedakan sesuatu dari berbagai perspektif dan bukan berfokus pada satu hal saja. Kita boleh menerima produk modernisasi itu namun bukan berarti mengambilnya secara membabi buta tanpa adanya filterisasi karena banyak produk yang tidak sesuai budaya kita seperti fenomena celana umpan yang bertentangan dengan nilai kesopanan budaya ketimuran kita. Kita juga bisa mulai dari institusi kecil misalnya keluarga dengan memberi nilai dasar budaya kepada anak-cucu kita agar mereka tidak terjebak dalam fenomena ini demi memperoleh kearifan local. Akhirnya mengutip pesan Edmund Burke yang mengetengahkan adat sebagai sebuah hal yang mendamaikan hidup kita.








DAFTAR PUSTAKA



Craib, Ian. Teori-Teori Sosial Modern. Jakarta: Cv. Rajawali.
Coleman, Simon dan Helen Watson. 2005. Pengantar Antropologi. Bandung: Nuansa.
Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang:UUM Press.
Ritzer, George. 2003.  Teori Sosial Postmodern. Yogjakarta: Kreasi Wacana.
Tifaona, Anton Enga. Bela Baja dan Gemohin. Budaya Lamaholot: Etika dan Moralitas   Publik. Larantuka: Yayasan Cinta Kasih.




















Kaum muda dan permasalahannya


OPINI


FENOMENA KAUM MUDA DAN BALAP LIAR
(TELAAH KRITIS DALAM PERSPEKTIF SOSIAL-KOMUNIKATIF)


“Janganlah kau seperti remaja sekarang yang pada umumnya lebih sering mengutamakan nakal daripada belajar; Akibatnya. Banyak yang bodoh-bodoh…”

Sebuah petikan syair lagu Doel Sumbang di atas bukanlah sebuah hayalan belaka yang timbul dari mimpi semalam namun secara implicit memiliki makna reflektif, bagi kita yang menamakan diri  sebagai remaja. Doel Sumbang secara terang-terangan mengkritik kaum muda kita yang tidak lagi menjadi Agent of change dan agent of developmentnya masyarakat dengan pemikiran yang kritis, sistematis dan logis namun muncul sebagai perusak tatanan sosial yang ada. Demonstrasi anarkis, perkelahian, narkoba, dan balapan liar yang sedang menjadi perbincangan hangat setiap orang  adalah sederet catatan kelam dalam lembar kehidupan kita sebagai kaum muda yang membuat Si Doel sang penyair, saya, anda, dan mereka mengetok palu mosi tak percaya terhadap kaum muda. Namun bukan berarti kita kemudian menutup mata sekedar mencuci tangan akan fenomena pelik ini yang jika dibiarkan akan menjadi penyakit sosial yang tak pernah dan tak akan habis untuk tanggulangi ini. Penulis pun merasa perlu memberikan sedikit sumbangsih pemikiran sebagai bentuk tanggung  jawab terhadap keberlangsungan dan eksistensi kaum muda.
Kaum muda seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang belum cukup umur, namun pengertian ini pun menjadi rancu ketika tidak ada batasan umur untuk membedakan kaum muda dengan kaum lainnya maka penulis pun kemudian secara gamblang menentukan batasan sendiri yang lazim digunakan oleh kebanyakan orang untuk menyebut kaum muda yakni dari umur 18-21 tahun. Kisaran umur yang demikianlah yang kadang membuat kita kerap menyebut kaum muda sebagai kaum transisi yang bergerak dari periode pertumbuhan pubertas dan kematangan atau dengan kata lain sedang mencari identitas diri mereka seturut Erik H. Erikson. Masa ini juga menuntut kaum muda untuk terjun bebas dalam riak kenakalan remaja yang lahir dari “Strum (dorongan) und Drag (keinginan)” demi memperoleh nilai-nilai yang bakal menjadi pegangan dan pandangan hidupnya tanpa sedikitpun memilah yang benar dan yang salah. Dan tidaklah mengherankan, jika mereka penuh dengan “power of life” yang akhirnya dicap sebagai pengganggu stabilitas umum. Sebagai sebuah trend yang lazim, balap motor pun lahir sebagai sebuah keharusan dalam melanggengkan interaksi dan masa untuk mengenal orang lain. Fenomena ini pun layak mendapat sorotan tajam ketika kaum muda salah menempatkan posisi balap motor yang seyogianya memiliki regulasi paten dan memiliki organisasi formal yakni Federation Internatiole de Motorcyclisme(FIM) yang menanngui setiap kegiatan olahraga balap motor dan menjadikan balap motor sebagai hiburan  sampai melupakan tugas pokok mereka sebagai pemegang tonggak estafet pembangunan Negeri ini. Tak jarang juga hiburan yang diamini kaum muda sekedar untuk membenarkan dorongan hati mereka ini kemudian berdampak buruk bukan semata secara pribadi saja tapi lebih dari itu membawa dampak yang secara gradual melintasi area masyarakat yang dikenal amat mengagungkan ketentraman dan keamanan public,yang secara sadar atau tidak telah dilanggar oleh kaum muda secara radikal memacu kendaraan mereka tanpa batas. Lebih parah lagi, kendaraan(baca:Motor) dipermak habis sampai harus memasang knalpot racing sebagai bentuk lain kehadiran mereka dalam dunia yang penuh embel-embel globalisasi ini. Sudah begitu sejumput pertanyaan besar pun muncul dibenak kita, Siapa yang harus bertanggung jawab dengan situasi yang sedang menukik ini dan mengantar kaum muda kita selangkah lebih maju ke ambang kehancuran? Apakah saya, anda dan mereka(baca:Masyarakat)? Mungkin juga dan mungkin juga tidak demikian. Yang pasti bahwa ada beberapa pihak yang punya kewajiban ekstra dalam memberdayakan kaum muda kita yakni:
1.      Keluarga
Sebagai pembagi nilai budaya atau sekolah pertama yang paling primordial dalam diri kaum muda, sudah selayaknya keluarga memiliki tugas yang tidak mudah. Kaum muda dalam keseluruhan hidupnya tidak terlepas dari keluarganya, dengan kata lain setiap gerak-gerik, tingkah lakunya dalam masyarakat publik merupakan representasi keluarga yang membesarkannya. Nilai, norma, dan tata kelakuan yang merupakan sebagian kecil aspek sosial yang diturunkan kepada kaum muda seharusnya bisa diserapi secara baik. Namun pada kenyataannya hal demikian tidak selamanya menjamin untuk membentuk karakter diri kaum muda hal ini tidak lain dikarenakan kondisi yang tidak kondusif yang sering terjadi dalam keluarga seperti Broken Home dan kesibukkan kerja yang tak jarang membuat kaum muda merasa dirinya tersisih dan mau tidak mau mencari sesuatu yang lain diluar keluarga yang mampu memberikannya sedikit senyuman dan kegembiraan. Sudah begitu, keluarga seharusnya bisa menjadi mutiara yang gemerlap bagi kaum muda dalam proses pembentukan diri dengan menyediakan sedikit waktu untuk ada bersama(esse co esse) dan saling berkomunikasi guna meminimalisir tingkat kenakalan pada kaum muda seperti balapan.
2.      Sekolah
Sebagai pembagi nilai budaya yang formal, sekolah diharapkan memilki kompetensi dalam menyediakan fasilitas memadai bagi kaum muda dalam pengembangan diri bukan sekedar untuk hiburan namun lebih dari itu memberikan nilai lain yang tidak diajarkan dalam keluarga misalnya kerjasama tim sebagai proses mengenal orang lain lewat kegiatan ekstrakulikuler (Sendra tari,Drama,Pencinta ,dll).
3.      Masyarakat
Kaum muda dalam proses pengenalan diri dan pembentukan diri tidak pernah lepas dari masyarakat. Masyarakat menjadi wahana bagi kaum muda untuk mengenal dunia diluar dirinya yang kadang membuat dia berada pada posisi tawar, dimana nilai pembentukan diri dilegitimasi secara radikal oleh masyarakat dengan berbagai tipikal orang yang saling berinteraksi di dalamnya. Dalam masyarakat ini pula kaum muda menemukan mereka yang lain(Kelompok bermain) yang sama-sama berada dalam situasi 50:50. Secara implicit masyarakat juga kerap membekali diri kaum muda untuk meniru pola tingkah laku masyarakat yang lazim terjadi tanpa melihat psikologi kaum muda yang sarat akan tindakan untuk meniru perilaku orang lain. Sudah begitu, masyarakat harusnya memberikan nilai ,norma yang baik kepada kaum muda sebagai bagian integrasi masyarakat menuju bonum commune yang kita inginkan.
4.      Pemerintah
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kaum muda, pemerintah pun tak boleh menyepelehkan fenomena ini dan berusaha lari dari kenyataan pahit ini. Pemerintah sebagai penggagas regulasi pada umumnya harus lihai melihat hal ini dan merumuskan segera regulasi guna membatasi ruang gerak kaum muda sehingga meredam gejolak kemudaan mereka sehingga mereka tidak keluar dari koridor yang ada. Memang pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian telah menunjukkan tanda ketegasan mereka dengan mengamankan kaum muda yang menggunakan knalpot racing namun yang ditakutkan adalah budaya uang yang kerap membuat kaum muda luput dari lubang jarum kesalahan.
            Fenomena ini akan semakin akut dalam deraan waktu,jika kita semua membiarkannya langgeng tanpa berusaha mencegahnya terlebih dahulu. Kita bisa menolak untuk mengatasinya, namun dampak ini bukan sekedar muncul saat ini saja tapi di hari mendatang. Jangan sampai anak,cucu kita pun terjebak dalam lingkupan fenomena dan menjadikan mereka sebagai manusia baru perusak Bangsa dan Negara,serta mengamini idelisme kaum muda:”Hanya air yang mengalir bakal merupakan air yang bersih. Kolam yang tenang, tetapi keruh, apalah gunanya.”

Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...