Monday, May 11, 2015

PESONA WISATA DESA LEWOBELE, PAKET MURAH DAN MENGGIURKAN

< align=”center”>PESONA WISATA DESA LEWOBELE, PAKET MURAH DAN MENGGIURKAN

Flores Timur dikenal dengan surganya wisata, sejuta alam yang tak tersentuh tangan-tangan manusia, menjadikan Flores Timur sebagai sebuah destinasi wisata yang elok untuk dinikmati. Namun demikian, bukanlah sebuah keharusan saya sebagai penulis membongkar semua objek wisata yang sudah tertulis rapi di akhlak pembaca, ataupun sekedar bercerita mengulang langkah kaki pembaca yang sudah terlebih dahulu menginjakkan kaki di sekian banyak objek wisata di Flotim. Alih-alih mengulang, dan menjadi sebuah kebasian yang sangat, saya pun mencoba menguak tabir baru objek wisata air terjun Wai Nuwu dan sunset di desa Lewobele-Kecamatan Lewolema sebagai sebuah pemaknaan akan indahnya alam buatan Tangan Sang Khalik dan berharap jika suatu hari kelak, pembaca yang membaca tulisan ini rela hati, meringankan kaki untuk hadir di sana, menikmati apa yang saya nikmati.

Dan pagi itu Sabtu (09/05) bersama teman-teman Komunitas Wisata Menulis Flotim (kumpulan para jornalis, penulis dan Facebooker) mencoba menguak misteri desa Lewobele. Desa Lewobele, sebuah desa kecil di kecamatan Lewolema, terletak di bagian pantai utara Flotim dan berjarak kurang lebih 24 kilometer dari arah barat kota Larantuka, atau sekitar 6 kilometer dari Kawaliwu pusat Ibukota Kecamatan Lewolema. Desa yang berbatasan dengan desa Lewokluok di sebelah baratnya, dan desa Leworahang di sebelah timur ini bisa dilewati dengan kendaraan roda dua maupun roda empat melewati jalanan aspal yang serba seadanya, yang menurut penuturan Kepala Desa Ambrosius Key Muda dibangun sejak masa Bupati Hengky Mukin. Namun demikian, semua kekurangan itu tidak lantas membuat kelebihan desa itu tertutupi. Berawal dari cerita yang berembus, dan dari penuturan masa lalu Nenek Moyang kepada sebagian kecil warga di desa tersebut kami menjajaki juga bukit kecil ke puncak gunung Aho Boang (Anjing Melolong) yang menurut penemu Martinus Lawe Koten terdapat tiga sumber air terjun, dimana air terjun yang pertama dan ketiga dapat dijangkau oleh kaki manusia sedangkan air terjun yang kedua hingga kini agak sulit untuk dijangkau oleh karena kondisi hutan yang masih alami pasca gempa 1992. Dirinya mengakui, penemuannya akan sebuah aset wisata terelok di tanah ibu pertiwi ini adalah sebuah ketidaksengajaan semata yang berawal dari kegemarannya berburu. “Awalnya saya berburu, dari puncak gunung Aho Boang saya mendengar bunyi air dan ketika saya dekati rupanya air terjun,” katanya.

Rasa penasaranpun mendorong kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun pertama yang berjarak hampir 5 KM dari kampung Lewobele, yang sebelumnya terhenti di sebuah pondok kecil milik warga sekedar, bercekrama bersama sekedar mengupas informasi bersama para informan yang sedikit demi sedikit memenuhi catatan perjalananku hari ini. Selain itu perhentian pertama ini juga menjadi pelepas lelah otot kaki yang sudah mulai terasa berat melangkah, maklum pendakian pertama melewati bukit pemuas hasrat keinginantahuan harus melewati bulir-bulir keringat kelelahan ditambah lagi dengan kaki yang belum cukup lihai melewati onggokan batu-batu di bukit itu. Bersama dua pemandu lainnya Valentinus Bae dan Simon Mukin, perjalananpun sedikit lebih ringan walaupun harus melewati hutan yang jarang sekali tersentuh dan terjamah oleh tangan-tangan manusia. Diujung bukit, nuansa kecapaian terhenti seketika, saat sang penemu berbisik menenangkan suara yang berbincang ria, dan riuh rendah bunyi aliran air terdengar samar-samar dari kejauhan mematik semangat setiap pribadi untuk cepat sampai di tujuan, memuaskan hasrat petualangan saat itu. tidak ada lagi yang tertinggal, setiap kaki ini terasa cepat melangkah, dan jatuh adalah cerita lain yang boleh kami peroleh. Intinya, Air Terjun pertama sudah semakin dekat, mungkin begitulah pikir Maksimus Masan Kian, salah satu penulis aktif di Media Cetak dan Elektronik. Di tepian aliran air itu, kaki kami belum juga berhenti dan artinya, perjalanan pun belum usai. Masih sekian kilo lagi harus kami lewati, dan kesempatan inilah jadi ruang bagi beberapa anggota Komunitas untuk berfoto ria, mencoba memotret apa yang menurut mereka indah. Mulai dari batu-batuan, air yang mengalir hingga pada gua tempat burung walet membuat sangkarnya. Dan kunikmati karya agung Tuhan yang terbersit indah lewat aliran air di tanah Nenek Moyangku, dan membuat kami orang Flotim bangga mempunyai sebagian yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Perhentian kedua, tidak terelakkan di kubangan kecil berbentuk persegi empat, yang menurut para pemandu tempat mereka mengumpan air mengairi pipa menuju kebun mereka. Masih menurut mereka,dulu sempat ada yayasan yang sempat survey namun urung dikembangkan, sehingga mereka pun membuatnya dengan seadanya saja seperti sekarang. Merasa cukup, atas informasinya kami pun meneruskan perjalanan memecah kesunyian hutan yang dipenuhi dengan bunyi alliran air itu, hingga pada titik tertentu teriakan salah satu anggota Komunitas membuat kami yang berjalan di belakang bersorak gembira dan mendorong naluri kemanusian kami untuk lebih cepat berjalan. Iya.. kerinduan kita akan kenikmatan dan keindahan Air Terjun Wai Nuwu tercapai. Kami telah tiba, dan sungguh elok pemandangannya walaupun hanya sekitar 75 Meter tingginya dan tidak sebanding dengan air terjun yang ketiga di puncak gunung Aho Boang yang menurut penuturan sang penemu lebih tinggi dari yang pertama, tapi kami telah berhasil bercumbu melepaskan kerinduan akan penemuan bersejarah dalam hidup kami masing-masing lewat air terjun ini. Tanpa menunggu lama, dan tanpa diperintah semua anggota komunitas pun larut dalam kegembiraan, bermandi ria dengan teriakan kecil tanda syukur sembari terus berpose mengabadikan momen terindah ini. Di ujung sana, ketiga pemandu terlihat ikut gembira dengan tawa mereka yang terpancar dari wajah-wajah penuh harap jika kelak ada orang lain bisa kembali hadir bersama mereka di sini menikmati sisi lain keindahan desa yang terpancar dari derasnya air terjuan Wai Nuwu. Merasa puas akan suguhan hangatnya air yang dipadukan dengan indahnya bebatuan di sekitaran air terjun, kami kembali berbincang-bincang sembari menikmati suguhan ubi rebus yang direbus secara tradisional yakni dengan menggunakan air tuak manis, nikmat dan gurih begitulah rasanya. Hingga suara sang pemandu kembali pecah di tengah kesibukkan gigi menguyah ubi, di tengah helahan sebatang rokok teman perjalanan siang itu, “Jika kalian pulang kami akan selalu berdoa, semoga kalian selalu sukses dan jangan lupa sekembalinya dari tempat ini kalian juga bisa menikmati matahari terbenam dari desa ini dan jika sempat mampir sebentar di tempat air panas di tepian pantai di desa ini,” kata Martinus.

Wow...Rupanya paket wisata kami belum berakhir di air terjun ini masih ada yang harus kami selesaikan dalam sehari, yang murah dan menggiurkan dan yang hanya membutuhkan seberapa kuat kaki ini melangkah pergi. Sekitar pukul 14.00 wita, kami mulai beranjak pergi meninggalkan goresan cerita kami di air terjun itu, walaupun tidak sempat menginjakkan kaki di puncak gunung dan merasakan air terjun yang ketiga namun tetaplah indah perjalanan kami. Langkah kaki para petualang semakin cepat, mungkin tidak sabar menikmati paket lain keindahan yang tersaji di Desa Lewobele, hingga akhirnya kami pun tiba di jantung desa tempat awal kami menginjakkan kaki sembari menunggu sang fajar menyingsing mengalahkan siang, mengundang malam ditemani sang bulan. Dan di ujung sana, matahari mulai perlahan turun ke peraduannya meninggalkan langit ditemani awan hitam, di pusarannya dikelilingi cahaya kemerah-merahan bercampur kuning membentuk bola membiaskan pesona indahnya dan dipadukan dengan nelayan yang ingin menambatkan perahunya menambah cerita indah ini terasa seperti mimpi. Hingga mentari tak menunjukkan kuasa atas siang, kami masih terus berada di tepian bebatuan memuji, dan mensyukuri apa yang telah kami rasakan walaupun ada paket wisata yang terlupakan tapi kami tahu bahwa desa Lewobele memang layak untuk menyandang potensi sebagai desa wisata Flotim yang komplet.

Kiranya, tulisan singkat penuh cerita ini bukan sekedar menjadi sebuah konsumsi pribadi di mata pembaca, tapi harus juga diceritakan kepada mereka yang lain. Bahwa, saya hanyalah sosok manusia yang menuliskan cerita ini untuk dinikmati, namun jika kita masih punya kepedulian, tidak ada salahnya menuturkan dan melangkahkan sejenak kaki anda di Desa Lewobele sekedar membuktikan apa yang saya ceritakan ataupun mengupas apa yang belum sanggup kukupas secara baik, sehingga kelak saya, anda, mereka dan bahkan dunia tahu Negeri kita menyimpan sejarah keindahan alam penuh pesona.

Biodata penulis: Tinggal di Larantuka Email : engkykeban@gmail.com Blog : arjunkeban.blogspot.com No Hp: 082359259635

PESONA WISATA DESA LEWOBELE, PAKET MURAH DAN MENGGIURKAN

PESONA WISATA DESA LEWOBELE, PAKET MURAH DAN MENGGIURKAN

Flores Timur dikenal dengan surganya wisata, sejuta alam yang tak tersentuh tangan-tangan manusia, menjadikan Flores Timur sebagai sebuah destinasi wisata yang elok untuk dinikmati. Namun demikian, bukanlah sebuah keharusan saya sebagai penulis membongkar semua objek wisata yang sudah tertulis rapi di akhlak pembaca, ataupun sekedar bercerita mengulang langkah kaki pembaca yang sudah terlebih dahulu menginjakkan kaki di sekian banyak objek wisata di Flotim. Alih-alih mengulang, dan menjadi sebuah kebasian yang sangat, saya pun mencoba menguak tabir baru objek wisata air terjun Wai Nuhu dan sunset di desa Lewobele-Kecamatan Lewolema sebagai sebuah pemaknaan akan indahnya alam buatan Tangan Sang Khalik dan berharap jika suatu hari kelak, pembaca yang membaca tulisan ini rela hati, meringankan kaki untuk hadir di sana, menikmati apa yang saya nikmati.

Dan pagi itu Sabtu (09/05) bersama teman-teman Komunitas Wisata Menulis Flotim (kumpulan para jornalis, penulis dan Facebooker) mencoba menguak misteri desa Lewobele. Desa Lewobele, sebuah desa kecil di kecamatan Lewolema, terletak di bagian pantai utara Flotim dan berjarak kurang lebih 24 kilometer dari arah barat kota Larantuka, atau sekitar 6 kilometer dari Kawaliwu pusat Ibukota Kecamatan Lewolema. Desa yang berbatasan dengan desa Lewokluok di sebelah baratnya, dan desa Leworahang di sebelah timur ini bisa dilewati dengan kendaraan roda dua maupun roda empat melewati jalanan aspal yang serba seadanya, yang menurut penuturan Kepala Desa Ambrosius Key Muda dibangun sejak masa Bupati Hengky Mukin. Namun demikian, semua kekurangan itu tidak lantas membuat kelebihan desa itu tertutupi. Berawal dari cerita yang berembus, dan dari penuturan masa lalu Nenek Moyang kepada sebagian kecil warga di desa tersebut kami menjajaki juga bukit kecil ke puncak gunung Aho Boang (Anjing Melolong) yang menurut penemu Martinus Lawe Koten terdapat tiga sumber air terjun, dimana air terjun yang pertama dan ketiga dapat dijangkau oleh kaki manusia sedangkan air terjun yang kedua hingga kini agak sulit untuk dijangkau oleh karena kondisi hutan yang masih alami pasca gempa 1992. Dirinya mengakui, penemuannya akan sebuah aset wisata terelok di tanah ibu pertiwi ini adalah sebuah ketidaksengajaan semata yang berawal dari kegemarannya berburu. “Awalnya saya berburu, dari puncak gunung Aho Boang saya mendengar bunyi air dan ketika saya dekati rupanya air terjun,” katanya

Rasa penasaranpun mendorong kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun pertama yang berjarak hampir 5 KM dari kampung Lewobele, yang sebelumnya terhenti di sebuah pondok kecil milik warga sekedar, bercekrama bersama sekedar mengupas informasi bersama para informan yang sedikit demi sedikit memenuhi catatan perjalananku hari ini. Selain itu perhentian pertama ini juga menjadi pelepas lelah otot kaki yang sudah mulai terasa berat melangkah maklum pendakian pertama melewati bukit pemuas hasrat keinginantahuan harus melewati bulir-bulir keringat kelelahan ditambah lagi dengan kaki yang belum cukup lihai melewati onggokan batu-batu di bukit itu. Bersama dua pemandu lainnya Valentinus Bae dan Simon Mukin, perjalananpun sedikit lebih ringan walaupun harus melewati hutan yang jarang sekali tersentuh dan terjamah oleh tangan-tangan manusia. Diujung bukit, nuansa kecapaian terhenti seketika, saat sang penemu berbisik menenangkan suara yang berbincang ria, dan riuh rendah bunyi aliran air terdengar samar-samar dari kejauhan mematik semangat setiap pribadi untuk cepat sampai di tujuan, memuaskan hasrat petualangan saat itu. tidak ada lagi yang tertinggal, setiap kaki ini terasa cepat melangkah, dan jatuh adalah cerita lain yang boleh kami peroleh. Intinya, Air Terjun pertama sudah semakin dekat, mungkin begitulah pikir Maksimus Masan Kian, salah satu penulis aktif di Media Cetak dan Elektronik. Di tepian aliran air itu, kaki kami belum juga berhenti dan artinya, perjalanan pun belum usai. Masih sekian kilo lagi harus kami lewati, dan kesempatan inilah jadi ruang bagi beberapa anggota Komunitas untuk berfoto ria, mencoba memotret apa yang menurut mereka indah. Mulai dari batu-batuan, air yang mengalir hingga pada gua tempat burung walet membuat sangkarnya. Dan kunikmati karya agung Tuhan yang terbersit indah lewat aliran air di tanah Nenek Moyangku, dan membuat kami orang Flotim bangga mempunyai sebagian yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Perhentian kedua, tidak terelakkan di kubangan kecil berbentuk persegi empat, yang menurut para pemandu tempat mereka mengumpan air mengairi pipa menuju kebun mereka. Masih menurut mereka,dulu sempat ada yayasan yang sempat survey namun urung dikembangkan, sehingga mereka pun membuatnya dengan seadanya saja seperti sekarang. Merasa cukup, atas informasinya kami pun meneruskan perjalanan memecah kesunyian hutan yang dipenuhi dengan bunyi alliran air itu, hingga pada titik tertentu teriakan salah satu anggota Komunitas membuat kami yang berjalan di belakang bersorak gembira dan mendorong naluri kemanusian kami untuk lebih cepat berjalan. Iya.. kerinduan kita akan kenikmatan dan keindahan Air Terjun Wai Nuhu tercapai. Kami telah tiba, dan sungguh elok pemandangannya walaupun hanya sekitar 75 Meter tingginya dan tidak sebanding dengan air terjun yang ketiga di puncak gunung Aho Boang yang menurut penuturan sang penemu lebih tinggi dari yang pertama, tapi kami telah berhasil bercumbu melepaskan kerinduan akan penemuan bersejarah dalam hidup kami masing-masing lewat air terjun ini. Tanpa menunggu lama, dan tanpa diperintah semua anggota komunitas pun larut dalam kegembiraan, bermandi ria dengan teriakan kecil tanda syukur sembari terus berpose mengabadikan momen terindah ini. Di ujung sana, ketiga pemandu terlihat ikut gembira dengan tawa mereka yang terpancar dari wajah-wajah penuh harap jika kelak ada orang lain bisa kembali hadir bersama mereka di sini menikmati sisi lain keindahan desa yang terpancar dari derasnya air terjuan Wai Nuhu. Merasa puas akan suguhan hangatnya air yang dipadukan dengan indahnya bebatuan di sekitaran air terjun, kami kembali berbincang-bincang sembari menikmati suguhan ubi rebus yang direbus secara tradisional yakni dengan menggunakan air tuak manis, nikmat dan gurih begitulah rasanya. Hingga suara sang pemandu kembali pecah di tengah kesibukkan gigi menguyah ubi, di tengah helahan sebatang rokok teman perjalanan siang itu, “Jika kalian pulang kami akan selalu berdoa, semoga kalian selalu sukses dan jangan lupa sekembalinya dari tempat ini kalian juga bisa menikmati matahari terbenam dari desa ini dan jika sempat mampir sebentar di tempat air panas di tepian pantai di desa ini,” kata Martinus.

Wow...Rupanya paket wisata kami belum berakhir di air terjun ini masih ada yang harus kami selesaikan dalam sehari, yang murah dan menggiurkan dan yang hanya membutuhkan seberapa kuat kaki ini melangkah pergi. Sekitar pukul 14.00 wita, kami mulai beranjak pergi meninggalkan goresan cerita kami di air terjun itu, walaupun tidak sempat menginjakkan kaki di puncak gunung dan merasakan air terjun yang ketiga namun tetaplah indah perjalanan kami. Langkah kaki para petualang semakin cepat, mungkin tidak sabar menikmati paket lain keindahan yang tersaji di Desa Lewobele, hingga akhirnya kami pun tiba di jantung desa tempat awal kami menginjakkan kaki sembari menunggu sang fajar menyingsing mengalahkan siang, mengundang malam ditemani sang bulan. Dan di ujung sana, matahari mulai perlahan turun ke peraduannya meninggalkan langit ditemani awan hitam, di pusarannya dikelilingi cahaya kemerah-merahan bercampur kuning membentuk bola membiaskan pesona indahnya dan dipadukan dengan nelayan yang ingin menambatkan perahunya menambah cerita indah ini terasa seperti mimpi. Hingga mentari tak menunjukkan kuasa atas siang, kami masih terus berada di tepian bebatuan memuji, dan mensyukuri apa yang telah kami rasakan walaupun ada paket wisata yang terlupakan tapi kami tahu bahwa desa Lewobele memang layak untuk menyandang potensi sebagai desa wisata Flotim yang komplet.

Kiranya, tulisan singkat penuh cerita ini bukan sekedar menjadi sebuah konsumsi pribadi di mata pembaca, tapi harus juga diceritakan kepada mereka yang lain. Bahwa, saya hanyalah sosok manusia yang menuliskan cerita ini untuk dinikmati, namun jika kita masih punya kepedulian, tidak ada salahnya menuturkan dan melangkahkan sejenak kaki anda di Desa Lewobele sekedar membuktikan apa yang saya ceritakan ataupun mengupas apa yang belum sanggup kukupas secara baik, sehingga kelak saya, anda, mereka dan bahkan dunia tahu Negeri kita menyimpan sejarah keindahan alam penuh pesona.

Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...