Solor Watan Lema, begitulah ia disapa.
Pulau seberang Larantuka dengan aneka cerita sejarah kekatolikkan zamannya
membuatnya ia dikenal hampir seantero dunia, dengan kepulauan Solor tentunya
(pulau Solor, Adonara dan Lembata) yang tidak lagi dipakai di peta zaman ini,
dan meninggalkan reruntuhan benteng Lohayong sebagai saksi bisu bahwa Solor
yang dulu punya nama dan yang tertinggal hanyalah budaya turunan yang hingga
saat ini masih bertahan di atas tanah gersang milik Nenek moyang, salah satunya
ritual adat wu’u nuran atau perayaan syukur atas panen pada masyarakat suku bangsa
Balawelin di Solor Barat yang diadakan selama tiga hari secara beurutan.
Masyarakat Balawelin
sebagai sebuah suku bangsa yang terdiri dari satu Lewo dan tujuh Duli
(Kampung Filial) dibelahan barat Solor yang gersang, sarat dengan kekurangan di
hampir semua aspek kehidupan hampir dilupakan, dan dipinggirkan hingga adium “Solor Nara Take” pun sempat membuat
cerita mereka terkikis oleh aura zaman yang kejam. Dan Wu’u Nuran menjadi
sebuah langkah menuju proses belajar bagi mereka diluar bahwa kegersangan tanah
yang dimiliki orang Solor umumnya, dan di wilayah Balawelin disyukuri sebagai
bentuk penghormatan kepada Bapa Kelake
Lera Wulan, Ema Kewae Tana Ekan, dan leluhur
lewotana yang telah memberikan mereka hidup. Dan Setelah lima tahun
berlalu, Ritual Adat Wu’u Nuran kembali digelar dengan nuansa yang berbeda dari
sebelumnya yang dimulai dengan seminar sehari Peta Eta Poa Oa atau pembukaan kebun baru dengan menghadirkan
pembicara.. untuk bersama bersinergi membangun Balawelin bersama.
Uma Lamak Buka Ritus Wu'u Nuran
Pengataran Uma Lamak dari Lewo Bala Lama Harun Tana Harun Lama Dike |
Siang itu ( 04/07/2015)
ditemani teriknya mentari, mengantar masyarakat Balawelin yang bermayoritas
petani dan beragama Katolik ini pun berbondong-bondong menuju rumah adat
suku-suku besar atau Semata Pa
(Niron-Maran, Niron-Hurit, Keban-Koten, dan Keban-Kelen) guna menggelar Ritus U’ma Lamak atau ritus pengantaran bagian
ke Rumah Adat Suku Balawelin (Lango Belen)
tempat dimana Bapa Lewo Ema Tana atau
Tuan Tana berdiam dan dipercayakan sebagai kepala suku Masyarakat Balawelin. Dalam
Ritus U’ma Lamak tersebut, menurut penuturan kepala suku Keban Koten, Yohanes
Olamudi Keban, biasanya diawali dengan proses pemanggilan dari utusan Niron
yang biasa dikenal dengan Niron Alan Jati ke masing-masing duli dan Lewo sembari
mengantar mereka mengantar U’ma Lamak
ke Lango Belen yang diiringi dengan
tarian We’de yang dimaknai sebagai
tarian kegemeriahan dan kegembiraan. Sejatinya dalam ritus ini, U’ma Lamak yang disiapkan antara lain
beras, hewan dan lain sebagainya dan Lewo
yakni Lewo Bala Lama Harun Tana Harun
Lama Dike (Lamalewo) diberi kesempatan untuk memasukkan bagiannya terlebih
dahulu sebagai kampung induk suku Bangsa Balawelin, setelahnya barulah diikuti
oleh tujuh duli lainnya yakni, Duli
Weruin Ulu Lau Pali Keneli Lima Wana/ Duli
Taliha Laman Mayan Pali Mayan Lama Tali (Lamateliha), Duli Muda Lama Tulun Pali Bao Lama Banga (Lamariang), Duli Week Lama Rebon Pali Kenila Lolon Gire
(Kenila), Duli Laka Lama Mayan Pali Mayan
Lama Tali (Lamalaka), Duli Rita Lolon
Eban Palin Bao Lolon Owa (Ritaebang), Duli
Lupan Lolon Kuman Pali Au Gatan Matan (Auglaran), Duli Sunge Hara Wewan Pali Kadila Duru Basa (Riangsunge). Setelah
ritus U’ma Lamak, masyarakat setempat ataupun pengujung dapat kembali ke rumah
masing-masing beristirahat sejenak, ataupun menghisap rokok sebatang melepas
lelah seharian, sembari menunggu ritus keesokkan harinya.
Renha Balawelin: Bukti Kesetiaan Masyarakat
Renha Balawelin |
Mentari pagi pun mulai
menunjukkan kuasanya ditemani sang Jago yang tak mau kalah dengan kokokannya,
sekedar membangunkan istrirahat para penghuni tanah Leluhur ini, serta
menginggatkan bahwa hari ini masih ada ritus yang harus dilalui, yang penting
bagi hidup sebagai pembuktian bahwa ada sisi lain dari budaya dan agama yang
bisa saling melengkapi dalam Misa Inkulturasi di Kapela Maria Renha Balawelin
di Kampung lama. Perjalanan sejauh 2 kilo bukan halangan, bagi mereka yang
melangkah dengan semangatnya melewati hutan dan bebatuan di atas tanah gersang
yang ditumbuhi puluhan pohon yang selama ini menjadi penunjang hidup masyarakat
Balawelin. Tergopoh-gopoh dengan nafas tersengal menjadi buah dari perjalanan
ini, namun di titik tertentu kekaguman pun melanda benak mereka yang hadir karena
kapela mini yang tadinya menjadi tujuan, berdiri kokoh sosok Ibu nan cantik
dibalut sarung adat ditemani sebuah tongkat yang bagi Masyarakat setempat diakui
sebagai pelindungnya yang berdiam di kapel kecil dikelilingi lukisan-lukisan
kecil suku-suku Dan ini pun menjadi jawaban atas serpihan sejarah yang
tertinggal di Bumi Lamaholot bahwa bukan hanya satu Bunda Maria Renha yang ada
di tana Larantukan tapi juga masih ada di pelosok Negeri yang kering tersebut
yakni Bunda Maria Renha Balawelin yang menurut sejarahnya diserahkan oleh
mendiang raja Larantuka kepada masyarakat setempat 55 tahun silam sebagai simbol
kekeluargaan dan keakraban antara kerajaan Larantuka dengan masyarakat
setempat. Nuansa budaya kental pun mengiringi kegembiraan rohani kita, saat
melihat empat buah rumah kecil dengan atap alang-alang yang dipakai Semata Pa atau fungsionaris adat
masyarakat Balawelin untuk melakukan ritual adat di kampung lama tersebut atau
pun sekedar memberi makan Leluhur lewotana yang mendiami kampung tersebut.
Nyanyian dan tarian adat menyemarakkan Misa Inkulturasi yang dipimpin oleh
Pater Alfons Hayon, SVD, bersama belasan imam yang turut ambil bagian dalam
perayaan syukur tersebut sembari sekali-kali tersenyum dan takjub akan sebuah
realitas akan hidup bersama masyarakat Balawelin yang masih menjaga budayanya
di tengah himpitan kegaulan dunia modernisasi ini. Nuansa kental, budaya pun mengemuka kembali saat
sang protokoler Ambros Niron, mengundang Bapa
Lewo, Ema Tana melakukan ritual tutup kampung yang diakhiri dengan
pemotongan hewan kurban di bawah Nuba
dan selanjutnya kepala hewan tersebut dijadikan persembahan dalam ekaristi
tersebut. Menarik, penuh cerita, dan membuat alam sadar kita berdecak kagum
tentunya dan membuat kaki-kaki para peziarah atau umat yang hadir berani
melangkah kembali menuju pelataran Lango
Bele Suku Balawelin mengikuti ritus Belo
Wuli atau pemotongan leher hewan yang menjadi persembahan Lewo dan masing-masing Duli.
Keheningan membuncah, ditengah semarak ritus tersebut, dibarengi dengan lampu cahaya
kamera segala jenis meliputi tenda yang menutup wajah letih para empunya
pemilik sah ritual Wu’u Nuran dari sengatan mentari yang kian menjauh di ufuk
barat, ditambah lagi dengan pekikan hewan kurban yang akan dieksekusi sebagai
persembahan kepada sang pemilik kehidupan bersama para leluhur yang senantiasa
menjaga Lewo ini.
Bau Baku: Caca Jiwa Yang Terjaga
Bau Baku di Rumah Suku Keban-Kelen |
Dan cerita lima tahunan
ini, tidak akan berhenti sebelum ritus puncak Bau Baku atau meletakkan nasi ke dalam bakul besar sesuai dengan
hitungan anak laki-laki terwujud pada keesokkan harinya, di rumah suku
masing-masing. Perempuan yang sedari kemarin tidak terlampau sibuk, kini
menjadi figur yang amat sibuk dalam ritus ini dan diuji kemapanannya mengelola
suasana ketika semua orang mulai letih kaki dan tangannya. Iya..perempuan
memasak dengan peluh keringat di dapur sederhana, melawan asap kayu bakar di
tunggu beralaskan batu seadanya, berharap masakan nasinya cukup bagi laki-laki
di suku masing-masing. Sedang laki-laki suku bekerja di luar rumah menyiapkan Maga atau wadah besar tempat menaruh
bakul-bakul yang sudah disiapkan, sembari meneguk arak atau tuak dan ditemani
sebatang rokok membuat suasana terlampau indah apalagi wu’u nuran dijadikan
ajang bertemu, saling sapa, dan tentunya kembali mengakrabkan diri antar anak
suku setelah sekian lama terpisah akibat kesibukkan masing-masing.
Proses Pengantaraan Bau Baku |
Dan diseberang sana,
sesosok laki-laki dengan sebilah kayu jati atau dikenal Niron Alan Jati atau
utusan Bapa Lewo Ema Tana, berjalan
mendatangi rumah adat suku satu ke rumah adat suku lainnya, memberi isyarat
kalau-kalau Bau Baku yang sudah
dipersiapkan suku masing-masing siap diantar memasuki Lango Bele. Dan kemeriahan tak bisa ditolak, dengan selendang
ataupun dedauan pengganti selendang menjadi warna tersendiri saat pengantaran Bau Baku tersebut sembari terus menari,
tanpa mengenal dia anak-anak, remaja dan orang tua, semuanya tak habis-habisnya
bersorak menyatakan syukur dan kemeriahan atas hasil panen tahun ini. Sedang,
di pelataran Lango Bele berjubel
manusia menunggu kedatangan masing-masing suku mengantar Bau Bakunya sembari
bersama bersorak menyambut keluarga mereka dalam suku Balawelin. Kemeriahan ini
sendiri ditutup dengan ritus makan bersama (reka lamak) pada malam harinya
sebagai ujud kebersamaan tanpa melihat batasan tertentu, karena semuanya makan
di atas tikar seadanya menutupi tanah pelataran Lango Bele dan itulah akhir cerita wu’u nuran di tahun ini, masih
banyak cerita yang tersisa di tanah mereka yang gersang itu, banyak kisah dari
tanah seberang yang terlupakan, namun masih punya rasa hormat buat pencipta dan
penjaganya. Nuansa keagungannya belum habis terkikis, masih ada yang tersisa
dan mereka terus menjaga diantara cerita sukses manusia modern. Itulah Mereka
Bangsa Balawelin dengan Cerita Wu’u Nurannya.
Penulis : Frengky Keban (Koordinator Wisata Menulis-Flotim)
Tinggal :
Larantuka
Alamat Email : engkykeban@gmail.com
Blog : arjunkeban@blogspot.com
No Hp : 082359259635
Tulisan ini pernah dimuat di website Dinas Pariwisata Prov. NTT