BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
“No
Man is an island”(manusia bukanlah sebuah pulau)
adalah sebuah ungkapan yang secara gamblang memaparkan eksistensi manusia
sebagai makhluk sosial, manusia pada hakikatnya membutuhkan manusia lainnya
dalam interaksi sosialnya demi proses menjadi manusia yang utuh dan sempurna.
Hasil penelitian Norman Triplet (1898) seorang ahli Psikologi Sosial dalam
Sarwono(2009:180) menunjukkan betapa manusia amat terbantu ketika ia ada
bersama dengan orang lain, dengan mencoba membandingkan seorang yang
mengendarai sepeda sendiri dengan yang mengendarai sepeda berpasangan dengan
orang lain, dan hasilnya individu
yang
mengendarai sepeda lebih cepat ketika berpasangan dengan orang lain ketimbang
mengendarai sepeda sendiri. Manusia tidak akan menjadi utuh dan sempurna tanpa
adanya interaksi sosial. Interaksi sosial bak jembatan antara manusia dengan
eksistensi dirinya sendiri. Secara teoritis, interaksi sosial meliputi 2 syarat
yakni kontak dan komunikasi, dimana kontak tidak semata-mata tergantung pada
tindakan saja, tapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan
tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila seseorang
memberi tafsiran pada sesuatu atau perikelakuan orang lain (Narwoko,2006:16). Penulis sendiri dalam penelitian ini lebih fokus
pada komunikasi sebagai salah satu syarat penting interaksi sosial, khususnya Komunikasi
Antar Budaya sebagai salah satu cabang ilmu Komunikasi.
Komunikasi
merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya, dan manusia tidak pernah lepas dari
komunikasi. Sadar atau tidak,
mulai dari kelahiran awal di dunia ini sebenarnya manusia sudah berkomunikasi; tangisan ketika
lapar, senyum, tawa adalah sebagian kecil contoh
komunikasi yang sudah,
sedang, dan akan manusia lakukan. Belum
lagi dengan rutinitas harian manusia
yang selalu diliputi dengan komunikasi seperti membaca, merenung, berbicara, mendengarkan orang,
menonton tv dan lain-lain membuat manusia seolah terjun bebas dalam bidang
yang satu ini tanpa membuat manusia
sadar bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang amat esensial dalam hidup,dan
menjadi inti semua hubungan sosial (Widjaja,
1986:4).
Komunikasi
menjadi pilar utama untuk membagikan semua pikiran, ide, informasi, konsepsi,
pengetahuan, perasaan, sikap, perbuatan dan lain sebagainya kepada orang lain
secara timbal balik, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Tidak ada orang
di dunia ini yang luput dari komunikasi.Tengoklah orang-orang yang mengalami
cacat mental. Dalam keterbatasan hidup mereka saja mereka masih bisa
berkomunikasi melalui tangan, anggukan kepala sebagai simbol untuk menyampaikan
keinginan hati mereka. Dengan demikianlah, komunikasi kemudian disebut sebagai
jantung kehidupan dan bahwa komunikasi meliputi semua sendi kehidupan manusia baik
dalam bidang politik, ekonomi, sosiologi dan budaya.Tak mengherankan jika kini
komunikasi menjadi salah satu ilmu yang paling banyak diminati dan dipelajari
di Perguruan Tinggi, dengan salah satunya adalah komunikasi kelompok dalam konteks
budaya.
Budaya dan
komunikasi memiliki hubungan yang amat erat kaitannya dan tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya, sebab komunikasi adalah bagian dari budaya
dan membantu budaya untuk tetap eksis. Dengan kata lain, lambang, simbol, tanda, dan bahasa merupakan bentuk konkret
dari budaya, dan meminjam perkataan Edward T. Hall Budaya itu sebagai
Komunikasi dan Komunikasi itu sebagai Budaya (Liliweri, 2009: 21).
Dalam perjalanan
kehidupan manusia, tak jarang ditemukan masalah sosial yang disebabkan oleh
salah tafsir komunikasi dalam konteks budaya seperti yang pernah dipaparkan Heru
Purwoko dalam bukunya “Tiga
Wajah Budaya: Artefak, Perilaku dan Rekayasa” bahwa persoalan
berpisahnya Provinsi Timor-Timur (sekarang Negara Timor Leste) adalah semata-mata persoalan bahasa dimana masyarakat
Timor-Timur diberi 2 pilihan oleh Pemerintah Indonesia yakni Merdeka atau tetap
berada dibawah kekuasaan NKRI. Penulis sendiri menyakini manusia siapa pun itu,
pastilah memilih merdeka dan inipun menjadi pilihan buat Timor-Timur untuk
berpisah dari NKRI.
Persoalan –
persoalan salah tafsir komunikasi dalam konteks budaya ini juga pada dasarnya
diakibatkan oleh karena perbedaan budaya antar individu yang meliputi nilai,
norma, kebiasaan, bahasa, agama dan lain sebagainya. Padahal sebenarnya situasi
demikian dapat diminimalisir jika kita dapat menerima perbedaan budaya
sebagai kekayaan secara universal.
Perbedaan budaya ini lantas terjadi juga dalam komunikasi ketika kita secara mendalam
mengamati gaya komunikasi kelompok yang terjadi antara laki- laki dan
perempuan. Budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur
mematronkan budaya komunikasi kelompok laki-laki pada posisi lebih baik
ketimbang perempuan. Hal ini pun dapat diamati
dalam kehidupan sehari-hari dimana
perempuan seolah-olah
menjadi manusia atau kelompok yang ditindas dan dibungkam oleh kaum laki-laki
oleh karena bias budaya. Bias budaya
terjadi ketika laki-lakilah
yang menciptakan makna bagi suatu kelompok saja (Edwin
Ardener dalam Manafe, 2009:299). Perempuan hanya bisa
menggunakan bahasa nonverbal mereka untuk berinteraksi dengan orang lain,
sedangkan bahasa verbal mereka harus dikontrol secara sepihak oleh kaum laki-laki.
Perempuan secara implisit dalam komunikasinya lebih memperhatikan proses
membangun hubungan,
sebaliknya laki-laki lebih memperhatikan kebebasan dan statusnya.
Perbedaan pola
komunikasi kelompok antara laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu yang baru dan bukan hanya terjadi di Indonesia pada umumnya namun juga terjadi di termasuk perempuan dan laki-laki Lamaholot khususnya Masyarakat
Balawelin I di Kabupaten Flores Timur. Masyarakat
Balawelin sebagai subkultur masyarakat Solor Barat yang merupakan bagian budaya
Lamaholot secara tradisional juga masih menerapkan pada budaya patriarki yang
kemudian mempengaruhi banyak aspek kehidupan mereka, diantaranya masih
ditemukan perempuan yang putus sekolah akibat orang tua yang memfokuskan diri
mereka pada anak laki-laki. Lebih dari itu, dalam berbagai upacara adat yang
lazim dilakukan di daerah itu, dapatlah kita amati bahwa laki-laki masih
memainkan peran penting sebagai pengambil kebijakan ataupun pelaksana ritual;
namun menarik untuk ditelaah lebih jauh bahwa ada perbedaan mencolok ketika
kita mengurucutkan sedikit lebih dalam saat upacara Wu’u Nuran dilakukan. Perempuan
dalam hal ini Ema Oa
atau nona padi dalam pelaksanaan ritual ini menjadi
aktor fundamental dimana mereka secara gradual dipercayakan sebagai orang pertama yang membuka, menanam berbagai macam
tanaman dan memanen hasil di Nakaleu
dan Haka Bedorin dan diikuti oleh Ribu Ratu (masyarakat) apalagi
dalam tahapan menuju perayaan puncak Wu’u
nuran itu perempuan Balawelin dipercayakan selama 2 bulan dari bulan Maret
(Kewae Ra’en) dan bulan April (Kebarek Ra’en) untuk mengurus ritual khusus dalam siklus
bulanan menuju acara puncak perayaan Wu’u
Nuran. Kebiasaan lain
terkait peran perempuan adalah dalam pemberian sesajian kepada leluhur di rumah
ataupun dalam pesta adat yang diperani oleh kaum perempuan, hal ini dikarenakan oleh mitologi
Lamaholot yang menempatkan tanah sebagai jelmaan perempuan
yang menghidupkan segala sesuatu. Pemilihan tempat penelitian ini sendiri
semata-mata karena desa Balawelin sedianya menjadi satu-satunya desa yang
menyelenggarakan perayaan panen yang
melibatkan sedikitnya 6 kampung filial atau duli-pali/riang:
Riang Teliha, Riang Muda, Riang Kenila, Riang Laka, Rita Ebang, dan Augelara (Panitia
Wu’u Nuran, 2003:1-3)
dipadukan dengan ritual keagamaan sebagai bentuk penghormatan kepada Bunda
Maria Renha Balawelin yang dipercaya sebagai pelindung desa tersebut selain
leluhur lewotanah.
Upacara Wu’u Nuran sedianya dijadikan ajang
untuk mengakrabkan diri bukan sekedar antar orang dalam suku, namun dapat
dijadikan sebagai sarana interaksi antar suku, antar laki-laki dan perempuan tanpa
harus melihat realitas perbedaan peran yang ada.Hal inilah yang kemudian menggugah
penulis dengan sejumput tanya mencoba meneliti kebudayaan Masyarakat Balawelin
yang berhubungan dengan Komunikasi pada kelompok perempuan dengan merujuk pada Teori Gender (Genderlect Styles Theory),
Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory), Teori Feminis (Feminist Genre
Theory) dalam budaya adat Perayaan Wu’u Nuran yang menjadi upacara puncak dan akhir dari
siklus musim tanam yang dilakukan pada bulan Juli (Berauk) dan diadakan pada setiap tiga, empat, atau lima tahun
dimana perempuan mendapat porsi yang lebih pada bulan Maret (Kewae Ra’en) dan bulan April (Kebarek Ra’en) dalam siklus bulanan
menuju acara puncak perayaan Wu’u Nuran lewat
penelitian yang dikemas dengan judul “Gaya
Komunikasi Antara Laki-laki dan Perempuan dalam Perayaan Wu’u Nuran”.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan
masalah yang menjadi pokok penelitian adalah: Bagaimana gaya komunikasi yang
dilakukan oleh Laki-laki dan Perempuan dalam upacara adat Wu’u Nuran di Desa Balawelin I Kecamatan Solor Barat Kabupaten
Flores Timur?
1.3
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas maka tujuan dari penelitian ini
adalah: Untuk mengetahui gaya komunikasi yang dilakukan oleh Laki-laki dan Perempuan
Lamaholot dalam upacara adat Wu’u Nuran
di Desa Balawelin I, Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur.
1.4
MANFAAT PENELITIAN
Dengan
penelitian yang ada, ada beberapa manfaat penelitian yang dapat
diperoleh diantaranya:
1.4.1
Manfaat Akademis
Dijadikan bahan
rujukan demi pengembangan Ilmu Komunikasi secara khusus Komunikasi Antar Budaya
dan membantu para praktisi komunikasi umumnya dan komunikasi Antar Budaya
khususnya dalam membahas Pola Komunikasi Laki-laki dan Perempuan Lamaholot
khususnya pada Masyarakat Balawelin I.
1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini
dapat digunakan sebagai upaya untuk melestarikan budaya Lamaholot yang kian
hari kian tergerus oleh Modernisasi, khususnya upacara Wu’u Nuran di Desa Balawelin
I Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
KAJIAN EMPIRIS
Penelitian
ini lahir atas dasar penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pater Dr.
Yosef Suban Hayon, SVD tentang
perayaan Wu’u Nuran di Desa Balawelin Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur dalam buku
Budaya Lamaholot Etika dan Moralitas Publik (Herin,
2007:119-145 ),dan skripsi Ilham
Akbar yang berjudul pola komunikasi antar pribadi kaum homoseksual terhadap
komunitasnya di kota Serang. Adapun perbedaan keduanya dengan penelitian ini
dapatlah dijabarkan dalam bagan berikut ini:
Tabel 1 : Kajian Empiris
Persamaan
|
Perbedaan
|
1.Dari
penelitian Pater Yosef, penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian
beliau terhadap Budaya Wu’u Nuran.
|
1.Penelitian
ini hanya memfokuskan pada gaya komunikasi laki-laki dan perempuan berbeda
dengan 2 penelitian di atas.
|
2.Tempat
penelitian antara peneliti dan Pater Yosef serupa yakni Desa Balawelin,
Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur.
|
2.Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ilham, dimana penelitian ini menggunakan metode etnometodologi
sedangkan Ilham memakai fenomenologi sebagai metodenya.
|
|
3.Objek
penelitian antara peneliti dan Ilham juga berbeda satu dengan yang lainnya
dimana peneliti lebih memfokuskan pada laki-laki dan perempuan sedangkan
Ilham lebih pada kaum Homoseksual.
|
2.2 KAJIAN TEORI
2.2.1
Kerangka Konsep
2.2.1.1 Gaya Komunikasi
Sebelum kita
menelaah lebih jauh pengertian
gaya
komunikasi lebih jauh ada baiknya terlebih dahulu kita memahami konsep gaya dan komunikasi. Gaya seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ragam, bentuk,
sikap (Tim Penyusun, 1994:692).
Sebaliknya term
komunikasi bukanlah kata baru buat kita insan manusia sejati karena keseharian
hidup kita dipenuhi dengan komunikasi baik verbal maupun non verbal sebagai
bagian penting dari interaksi hidup kita bahkan ada yang mengatakan bahwa
komunikasi sebagai perekat hidup bersama. Hal ini bisa diamini karena dari istilah
komunikasi itu sendiri, terkandung makna bersama-sama (common, commonness: Inggris). Istilah Komunikasi (Indonesia) atau communication (Inggris) itu berasal dari
bahasa Latin Communicatio yang
berarti pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran, dimana si
pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya; ikut
mengambil bagian. Kata sifatnya communis artinya
bersifat umum atau bersama-sama. Kata kerjanya communicare artinya berdialog, berunding atau bermusyawarah (Arifin,2008: 19-20). Sebaliknya dari sisi para pakar dalam hal ini
Porter dan Samovar dalam Liliweri (2001:162) mengemukakan pengertian
komunikasi sebagai suatu
proses yang dinamis yang dilakukan manusia melalui perilaku yang berbentuk
verbal dan non verbal yang dikirim dan diterima dan ditanggapi orang lain.
Dari penjelasan
di atas esensi dasar komunikasi sebenarnya adalah proses penyampaian pesan
untuk memperoleh kesamaan makna antara pelaku komunikasi (Komunikator dan
Komunikan). Namun hal itu menjadi
sedikit berbeda ketika kita membahas gaya komunikasi seturut Norton, Kirtley,
dan Weaver dalam Liliweri (2011: 309) dimana mereka mengartikan gaya komunikasi
sebagai a cognitive process which
accumulates ‘micro behavior’ form-giving of literal cotent, and adds up to
‘macro judgment’. When a person comunicates, it is considered an attempt of
getting literal meanings across ( proses kognitif yang mengakumulasikan
bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro. Setiap gaya selalu
merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya ketika dia berinteraksi
dengan orang lain). Dari pemaparan diatas secara singkat penulis pun dapat
mengartikan gaya komunikasi sebagai bentuk penyampaian pesan antara pelaku
komunikasi untuk mencapai kesamaan makna sehingga lawan bicara
dapat mengenal pribadi satu dengan yang lainnya.
2.2.1.2 Komunikasi
Kelompok
Setiap manusia apa pun
dia tidak pernah terlepas dari kelompok, misalnya keluarga sebagai kelompok
paling inti yang selalu ada sejak kita lahir. Bahwa dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya dia membutuhkan orang lain diluar dirinya yang mempunyai kesamaan
nasib, tujuan dan lain sebagainya. Kelompok hadir sebagai bagian dari pemenuhan
atas eksistensi manusia sebagai makhluk sosial yang bukan hadir secara
kebetulan semata, dan lenyap dalam waktu singkat namun bersama-sama mencari hal
lain demi kepuasan secara bersama. Dan dalam kelompok dibutuhkan komunikasi
dalam interaksinya bukan hanya sekedar untuk saling mengenal satu sama lain
namun juga dapat digunakan sebagai proses untuk menyampaikan informasi dalam
maupun di luar kelompoknya. Komunikasi kelompok memfokuskan pembahasannya
kepada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil dan
komunikasi ini juga secara implisit melibatkan komunikasi antar pribadi (Bungin, 2008:32). Komunikasi kelompok
kecil sendiri sedianya dapat diartikan sebagai suatu kumpulan individu yang
dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain,
berinteraksi untuk beberapa tujuan,
mengambil peranan, terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka (Muhammad ,2009:182) atau dengan kata lain komunikasi kelompok kecil adalah proses
penyampaian pesan antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok tertentu guna
memperoleh tujuan secara bersama. Lebih lanjut beliau dalam pemaparan
menjelaskan tujuan dari komunikasi jenis ini diantaranya:
1.Tujuan Personal
1) Hubungan
Sosial
Sebagai makluk
sosial tak dipungkiri bahwa kita sedianya membutuhkan orang lain dalam
interaksi kita. Kita membutuhkan orang lain dalam pergaulan kita, dengan tujuan
untuk mempererat hubungan antarpersonal dan menaikkan kesejahteraan kita. Hal
lain yang tak kalah penting dalam komunikasi kelompok kecil adalah terpenuhinya
kebutuhan interpersonal kita akan kasih sayang dan merasa diikutsertakan dalam
kelompok yang mungkin tidak pernah kita temukan kelompok lainnya. Contoh: minum
kopi bersama-sama sambil bercakap-cakap.
2) Penyaluran
Komunikasi
kelompok memungkinkan kita untuk menyalurkan perasaan kita, termasuk perasaan
kecewa, gembira, takut, keluhan, maupun harapan dan keinginan kita. Dan ketika
semua itu kita sampaikan kepada orang lain dalam kelompok kita, kita sering
merasa lega atau bebas dari ketegangan itu. Contoh: diskusi terkait mata kuliah
hari ini kepada teman-teman dalam kelompok kita.
3) Kelompok
Terapi
Komunikasi
kelompok juga secara tidak langsung berperan sebagai terapi dalam artian
kelompok membantu anggotanya keluar dari persoalan yang sedang dialami
anggotanya sendiri. Contoh: anggota kelompok yang suka minum minuman keras.
4) Belajar
Alasan umum
orang mengikuti kelompok kecil adalah belajar dari orang lain. Belajar terjadi
dalam bermacam-macam cara dan paling biasa dalam kelas. Asumsi yang mendasari
belajar kelompok, adalah ide dari dua kepala, biasanya lebih baik dari satu
kepala.
2.Tujuan yang berhubungan dengan tugas
1)
Pembuatan keputusan
Salah satu
alasan orang berkumpul dalam kelompok yakni untuk membuat keputusan secara
bersama-sama tentang sesuatu hal.
Mendiskusikan alternatif dengan orang lain membantu orang memutuskan mana
pilihan yang terbaik untuk kelompok. Contoh: memutuskan kapan kegiatan kelompok
akan dilakukan.
2)
Pemecahan Masalah
Tujuan lain yang
tak kalah penting dari komunikasi kelompok kecil yakni pemecahan masalah.
Asumsinya bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan oleh satu orang saja tapi
lebih dari itu membutuhkan ide dari orang lain dalam proses penyelesaian
masalah. Seperti masalah pemerintahan dll.
Namun perlu dipahami tidak semua himpunan itu
disebut kelompok bahwa dalam keseharian kita sering salah kaprah dengan menyebut
orang-orang yang berkumpul di terminal, yang antri di depan bioskop sebagai
kelompok (Agregat) karena untuk menjadi sebuah kelompok dibutuhkan kesadaran
dari anggota-anggotanya akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka.
Seperti kata Baron dan Byrne dalam Rakhmat bahwa kelompok mempunyai dua tanda
psikologis yakni anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok – ada sense of belonging – yang tidak dimiliki
orang yang bukan anggota, dan nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung
sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang
lainnya (2009:141-142). Lebih lanjut
Rakhmat kemudian membagi 4 dikotomi (pembagian dua kelompok yang saling
bertentangan) yakni:
1.
Kelompok Primer dan Sekunder
Kelompok primer
dilihat dari karakteristiknya menunjukkan adanya hubungan yang akrab, lebih
personal, lebih menyentuh di hati seperti terlihat dalam hubungan kita dengan
keluarga kita, teman sepermainan kita dan tetangga dekat (di daerah kampung
kita). Atau seturut Charles H. Cooley sebagai “By primary group I mean those characterized face to face association
and cooperation”. Sebaliknya, kelompok sekunder secara sederhana merupakan
lawan dari kelompok primer yang dicirikan dengan hubungan yang tidak akrab,
tidak personal, dan tidak menyentuh hati, contoh kelompok ini antara lain
organisasi massa, fakultas, serikat buruh, dll.
Jika kita
mengerucutkan lagi ciri-ciri yang membedakan
kedua kelompok ini dilihat dari segi komunikasi maka dapatlah kita
temukan bahwa kualitas kelompok primer bersifat dalam dan meluas,komunikasi
pada kelompok primer bersifat personal, pada kelompok primer komunikasi lebih
menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, komunikasi primer lebih bersifat
ekspresif dan informal.
2.
Ingroup
– Outgroup
Ingroup
dan outgroup merupakan istilah yang
dicetuskan pertama kali oleh Sumner. Ingorup
adalah kelompok kita, dan outgroup
adalah kelompok mereka. Ingroup dapat
berupa kelompok primer maupun kelompok sekunder seperti keluarga adalah ingroup
yang kelompok primer dan fakultas adalah ingroup
yang kelompok sekunder. Perasaan ingroup
dicirikan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerja sama. Untuk
membedakan antara ingroup dan outgroup maka ada baiknya kita membuat
batas yang menentukan siapa masuk orang dalam dan orang luar dengan
memperhatikan lokasi geografis, suku bangsa, pandangan atau ideologi, pekerjaan
atau profesi, bahasa, status sosial dan kekerabatan. Dengan demikian kita
dapatlah disimpulkan bahwa ketika kita masuk dalam kelompok ke-kita-an kita dengan demikian akan
tercipta suasana yang lebih nyaman, kondusif dan memungkinkan kita
berkomunikasi.
3.
Kelompok
Keanggotaan dan Rujukan
Istilah ini
pertama kali dipakai oleh Theodore Newcomb pada tahun 1930-an dimana ia
meneliti para mahasiswa-mahasiswi Bennigton
College yang awalnya koservatif namun ketika masuk dalam dalam sistem yang
berbau liberal berubah menjadi mahasiswa-mahasiswi yang liberal pula, walaupun
ada mahasiswa-mahasiswi yang mempertahankan normanya yang diajarkan oleh orang
tuanya. Jika kita amati sebenarnya mahasiswa-mahasiswi Bennington College termasuk dalam kelompok keanggotaan, sedangkan
mereka yang berubah maupun tetap mempertahankan nilai yang lama menjadi liberal
telah menjadikan College sebagai
kelompok rujukan. Kelompok rujukan sendiri dapat diartikan sebagai kelompok
yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai diri sendiri atau untuk
membentuk sikap.
4.
Deskriptif – Preskriptif
Kedua jenis
kelompok ini pertama kali diperkenalkan oleh John F. Cragan dan David W. Wright
dimana kelompok Deskriptif dimaknai sebagai klasifikasi kelompok dengan melihat
proses pembentukannya secara alamiah dimana lebih mengarah pada tujuannya yang
dibagi atas kelompok sepintas, kelompok katarsis, kelompok belajar, kelompok
pembuat kebijaksanaan dan kelompok aksi. Sebaliknya kelompok Prekriptif mengacu
pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan
kelompok yang dibagi atas 6 format kelompok yakni diskusi meja bundar, simposium,
diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer.
2.2.1.3 Gaya Komunikasi Gender
Seperti yang
kita ketahui bersama bahwa pola komunikasi merupakan sebuah sistem, cara kerja,
struktur yang tetap dalam berkomunikasi (proses penyampaian pesan)yang dimiliki
oleh suatu sistem masyarakat tertentu yang disesuaikan dengan budaya yang
dianutnya, dengan asumsi bahwa tidak semua budaya memiliki pola komunikasi yang
sama atau dengan kata lain tiap budaya memiliki pola komunikasi yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Dalam setiap pola komunikasi itu terdapat beberapa
gaya komunikasi yang lazim dilakukan oleh kita sebagai manusia dalam
interaksinya dengan orang lain dengan
upaya untuk menyamakan persepsi atas pesan yang diciptakan. Menurut
Muhammad (2009:89)
Gaya komunikasi itu sendiri dapatlah dibagi atas gaya komunikasi verbal dan
gaya komunikasi non verbal:
1.
Gaya Komunikasi Verbal
Secara umum
komunikasi verbal menggunakan kata-kata, baik yang dinyatakan secara oral atau
lisan maupun tertulis dalam proses penyampaian pesannya. Komunikasi jenis ini merupakan ciri paling
khas pada manusia dan tidak ada makhluk lain yang dapat menyampaikan
bermacam-macam arti melalui kata-kata. Dan sering orang menganalogikan
kata-kata sebagai pedang dengan peribahasa pedang menusuk dari luar,namun
kata-kata menusuk dari dalam. Dengan demikian dapatlah dilihat betapa bahasa
memiliki power untuk mengubah orang lain dan dapat dijadikan sarana yang
efektif tuk menyampaikan maksud kita kepada orang lain. Gaya komunikasi ini pun
tak jarang dipakai oleh kelompok laki-laki dan perempuan sebagai sarana untuk
berinteraksi baik secara kedalam kelompok sendiri maupun diluar kelompok
mereka.
2. Gaya
Komunikasi Nonverbal
Gaya komunikasi
ini lebih mengedepankan semua isyarat yang bukan kata-kata sebagai sarana dalam
menyampaikan pesan seperti kata Larry Samovar dan Richard E. Porter dalam Mulyana
(2007:343) atau dengan kata lain pesan dengan tidak mengunakan kata-kata namun
menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan
jarak dan sentuhan. Komunikasi jenis ini secara teoritis membantu komunikasi
verbal dalam proses penyampaian pesan baik lewat penekanan, pengulangan,
melengkapi, ataupun mengganti pesan verbal yang ada. Dalam interaksi sosial
kita, yang perlu kita pahami bahwa tidak semua komunikasi non verbal memiliki
makna yang sama secara kultural seperti komunikasi dengan menggunakan telunjuk
pada jari yang diyakini oleh kebanyakan orang Indonesia dianggap tidak sopan
namun bagi orang Batak hal itu dianggap biasa tanpa mau menunjukkan sikap
kasar.
Selain berbicara
perihal gaya komunikasi, penulis pun dalam penelitian ini mengangkat pola
komunikasi gender, dalam hal ini berfokus pada bahasa antara laki-laki dan
perempuan sebagai salah satu bagian kajian dalam penelitian dengan asumsi bahwa
bahasa merupakan salah satu alat atau sarana untuk komunikasi yang dalam
penggunaannya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar menegaskan
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kosakata yang berbeda satu dengan yang
lainnya, dengan salah satu sebabnya adalah sosialisasi mereka yang berbeda,
khususnya minat mereka yang berlainan terhadap berbagai aspek kehidupan (2007:314-315). Dalam percakapan itu
sendiri, menurut Deborah Tannen dalam
Mulyana perempuan lebih cenderung terlibat dalam pembicaraan hubungan yang
berpusat pada perasaan atau memelihara hubungan dengan orang lain, sedangkan
laki-laki lebih cenderung terlibat dalam pembicaraan laporan yang berpusat pada
informasi faktual tentang apa yang sedang berlangsung (2007:316). Selain itu pula
kalau diamati lebih jauh penggunaan bahasa dalam komunikasi perempuan juga
mengandung nilai kesederajatan dengan menonjolkan daya respons yang tinggi
(tingkat kepedulian terhadap orang lain) dan lebih cenderung menggunakan
pembicaraan yang ekspresif (menunjukkan emosinya) jika dibandingkan dengan
laki-laki yang hanya menunjukkan pembicaraan yang instrumental (untuk
mempengaruhi dan mengendalikan orang lain). Hal inilah yang kemudian dijadikan
alasan oleh William O’Barr dan Bowman Atkins dalam Mulyana lewat penelitian
mereka bahwa bahasa perempuan akan memberi efek yang merugikan dalam ruang
pengadilan karena dinilai kurang meyakinkan, kurang cakap, kurang jujur, dan
kurang cerdas (2007:316-317).
2.2.2 Kerangka
Teori
Adapun teori yang akan penulis pakai dalam
penelitian ini antara lain:
a) Genderlect Theory
(Teori Gender)
Menurut Liliweri
dalam bukunya Komunikasi Serba Ada, Serba Makna (2011: 229-230)
teori ini pertama kali
dicetuskan oleh Deborah Tannen pada tahun 1984. Teori ini menerangkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Ada
perbedaan pola-pola percakapan lintas budaya antara laki-laki dengan perempuan.
2. Gaya komunikasi yang maskulin dan feminin hanya
diskursus yang membedakan budaya perempuan dan laki-laki dan tidak menetapkan
salah satu pihak superior dan inferior dalam percakapan.
3. Kebanyakan laki-laki fokus pada “report talk”, mengutamakan status, dan kebebasan, sedangkan
perempuan fokus pada “support talk”
demi membangun hubungan antarpersonal.
4.
Pelbagai
penelitian menunjukkan bahwa:
5.
Cara
berpikir teori ini mirip dengan feminisme yang menolak anggapan masyarakat
bahwa perempuan inferior dan laki-laki superior
6.
Bahwa
ahli bahasa menulis demi memenuhi pasar “budaya pop” laki-laki, mengapa tidak
ada orang secara khas mengajar “bahasa” yang khusus untuk perempuan.
7.
Ada
masalah cross cultural communication
antara laki-laki dan perempuan, misalnya orang dari wilayah atau latar belakang
etnik yang berbeda mempunyai gaya percakapan yang berbeda pula.
8.
Adapula
masalah relasi horizontal-vertikal yang menentukan jarak sosial yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan.
Teori ini
dipakai penulis dalam upayanya menemukan karakteristik bahasa dalam
berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan Lamaholot Masyarakat Balawelin I
dalam perayaan Wu’u Nuran dengan memperhatikan tahapan yang terjadi dalam
perayaan ini.
b) Muted Group Theory
(Teori Kelompok Bungkam)
Teori ini seturut Richard West dan Lynn H. Turner
dalam buku mereka Pengantar Teori
Komunikasi: Analisis dan Aplikasi merupakan temuan pertama kali oleh Edwin
dan Shirley Ardener yang merupakan Ahli
Antropolog Sosial yang amat tertarik pada struktur dan hierarki sosial yang
kemudian mempengaruhi komunikasi yang dibangun seperti yang terlihat pada
kelompok dengan kekuasaan rendah (Wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna)
harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan
oleh kelompok dominan(2008:146).
Namun dalam perjalanannya Chris Cramare (1981) kemudian berupaya memfokuskan
teori ini pada laki-laki dan perempuan saja dengan obyek penelitian pada pria
dan wanita Inggris Raya dan Amerika Serikatyang ditemukan bahwa kelompok
perempuan sebagai kelompok subordinat berusaha untuk berkomunikasi layaknya
seorang laki-laki dalam mendeskripsikan pengalaman yang mereka alami. Untuk
mengekspresikan pengalamannya melalui bahasa, dibutuhkan suatu proses yang mana
proses tersebut membuat para wanita cenderung lambat dan kesulitan dalam
mengartikulasikan pemikirannya ke dalam suatu bahasa yang baik. Inilah yang
membuat kelompok perempuan seolah tenggelam dalam kefasihannya komunikasi yang
dilakukan laki-laki yang meliputi mengejek, ritual,control dan pelecehan.
Penulis dalam penelitian ini secara gamblang memakai
teori ini sebagai landasan penelitian dalam upayanya menemukan gaya komunikasi yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan Masyarakat Balawelin 1 dalam perayaan Wu’u Nuran yang mana secara umum
menganut budaya patriarki sebagai budaya turunan dengan asumsi perempuan masyarakat
Balawelin juga secara kultural menjadi kelompok bungkam walaupun di satu sisi
dalam tahapan menuju perayaan Wu’u Nuran kelompok perempuan memperoleh tempat
yang penting dan dihargai sebagai Bulan Kewae
Rae’n (Maret) dan Bulan Kebarek Ra’en (April)
c) Feminist Theory
(Teori Feminis)
Teori ini
mengevaluasi komunikasi dengan mengidentifikasi pembicara yang adalah perempuan
lalu merumuskan kembali model baru demi meningkatkan kualitas perempuan sebagai
pembicara dalam kerangka “women’s
liberation”. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa gerakan-gerakan
perempuan tidak mampu menghadapi “male
gendered”, seperti standar retorikanya perempuan terlalu merefleksikan
keunikan pengalaman perempuan semata-mata dan dengannya perempuan tidak
dilibatkan dalam komunikasi atau menjadi kelompok terbungkam. Perjuangan teori
ini adalah menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
berkomunikasi.Teori ini membantu kita menyusun framming dan reframming
tentang kualitas perempuan sebagai pembicara karena perempuan juga memiliki
keunggulannya dalan berkomunikasi. Teori ini secara umum penulis pakai sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam penelitian ini sebagai bentuk jalan keluar atas ketimpangan sosial dan kultural
yang sering dialami kelompok perempuan oleh kelompok laki-laki dalam komunikasi
dan bukannya merecoki kemampanan budaya atau menggoyahkan budaya yang menjadi pedoman
masyarakat setempat tetapi berusaha mengubah image perempuan sebagai mitra
kerja dalam budaya khususnya dalam perayaan Wu’u
Nuran.
2 .3 KERANGKA
PEMIKIRAN
Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggambarkan
proses pemikiran penulis dalam upayanya menemukan gaya komunikasi antara laki-laki dan
perempuan Lamaholot di Desa Balawelin 1. Perayaan Wu’u Nuran sebagai sebuah produk budaya non materiil yang masih
dipertahankan sampai sekarang merupakan hajatan 5 tahunan yang dilakukan
sebagai bentuk penghormatan kepada Bapa
Kelake Lera Wulan, Ema Kewae Tana Eka
atas perlindungan mereka terhadap kehidupan masyarakat setempat. Dalam
proses pelaksanaannya, masyarakat Balawelin secara umum mempunyai perbedaan
proses komunikasi yang terdiri atas komunikasi verbal dan komunikasi non verbal
dan disesuaikan dengan nilai, norma,
adat istiadat yang dianut. Hal ini pun berlaku juga ketika kita berbicara dalam
tataran kelompok laki-laki dan perempuan masyarakat Balawelin sebagai pelaku
budaya, yang secara tak langsung mengakibatkan
perbedaan pada gaya komunikasi yang mereka lakukan.
Gambar 1: Kerangka Berpikir
Komunikasi Verbal
(Ragam Bahasa)
|
VS
Komunikasi non
verbal (simbol,gesture,lambang,dll)
|
BAB III
METODE
PENELITIAN
3.1 JENIS PENELITIAN
Jenis dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif yang menurut Rachmat
dalam bukunya Teknik Praktis Riset
Komunikasi bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan
kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data( 2006: 57).
Paradigma ini menggunakan pendekatan induktif yakni proses pengambilan
kesimpulan yang dimulai hal-hal yang khusus ke hal yang umum.
3.2
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini
adalah metode etnometodologi, dimana
metode ini secara umum merupakan cara, hasil dari studi tentang bagaimana
individu-individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari mereka, cara
mereka menyelesaikan pekerjaan di dalam hidup setiap harinya khususnya ketika
mereka melaksanakan perayaan Wu’u Nuran
sendiri.
3.3 WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
Waktu penelitian merupakan masa dimana peneliti
melakukan penelitiannya. Penelitian ini sendiri sedianya akan dilakukan pada
tanggal 26 Agustus – 7 September 2013. Lokasi
penelitian merupakan lokasi geografis dimana peneliti melakukan kegiatan
penelitiannya. Lokasi yang menjadi tempat penelitian yang dipilih oleh peneliti
adalah Desa Balawelin 1, Kecamatan Solor Barat, Kab.Flores Timur yang merupakan
tempat diadakan perayaan Wu’u Nuran.
3.4
SUBJEK PENELITIAN
Subyek penelitian merupakan kelompok sasaran dalam
penelitian yang akan diambil dalam hal ini
peneliti menempatkan kelompok laki-laki dan perempuan Masyarakat Desa
Balawelin 1yang terlibat dalam Upacara Adat Wu’u
Nuran sebagai subyek penelitiannya yang terdiri atas Bapa Lewo – Ema Tana ( 1 Orang), Semata Pa yang terdiri atas 4 Kepala Suku yakni Suku Keban Koten,
Keban Kelen, Niron Hurit, dan Niron Maran, kelompok Laki-laki (5 orang) dan Perempuan (5 orang) yang terlibat aktif dalam
rangkaian acara Wu’u Nuran.
3.5 METODE DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pengambilan data dalam penelitian ini metode
sampling, khususnya random sampling dimana peneliti memilih beberapa informan
untuk mencari data terkait kegiatan perayaan Wu’u Nuran. Teknik random sampling adalah cara menarik anggota
sampel dari populasi dengan cara tidak
memilih-milih individu yang dijadikan anggota sampel atas dasar alasan tertentu
atau alasan yang bersifat subjektif seperti suka – tidak suka, mudah –sulit
dijangkau dan sebagainya (Anggoro,
2009:4.5).Teknik ini sengaja dipilih oleh penulis agar semua populasi
(baca:masyarakat Balawelin) mendapat peluang sehingga sampel yang terdiri
berbagai pihak sebagai subjek penelitian sungguh mewakili populasinya secara
lebih ilmiah. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
1.
Penelitian kepustakaan
yaitu dengan menggunakan
literatur-literatur yang tersedia di perpustakaan maupun dari media internet yang berkaitan dengan perayaan Wu’u Nuran dan gaya
komunikasi laki-laki dan perempuan.
2. Observasi
Observasi merupakan penelitian secara sistematis
dengan menggunakan segenap indera manusia (Suwardi Endraswara, 2006 : 133).
Teknik observasi mengkondisikan peneliti hadir di lapangan guna mengamati
pelbagai realitas terkhususnya yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Menurut Rachmat teknik jenis ini juga memungkinkan peneliti mengamati kehidupan
individu dalam situasi yang riil, dimana terdapat setting yang riil tanpa
dikontrol, atau diatur secara sistematis (Anggoro,2006:110). Dalam penelitian ini, peneliti
mengadakan pengamatan terhadap kehidupan
masyarakat setempat yang berkaitan erat dengan perayaan Wu’u Nuran sambil
mencoba mengamati gaya komunikasi yang sering laki-laki dan perempuan.
3. Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan alat pengumpulan
data yang sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan
manusia sebagai subyek sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih
untuk diteliti (Pawito, 2007:132). Jenis wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth
interview). Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data melalui
wawancara dengan para informan yang
dianggap tahu tentang budaya masyarakat lamaholot khususnya dalam perayaan Wu’u
Nuran. Adapun instrumen yang digunakan dalam wawancara yakni buku catatan, tape
recorder, dan camera serta menggunakan bahasa daerah setempat sebagai medianya.
3.6
PROSEDUR DAN TEKNIK ANALISIS DATA
Proses analisis data sebenarnya merupakan usaha
untuk mendapatkan kesimpulan tentang suatu masalah yang sedang diteliti
berdasarkan berbagai informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti
(Suwardi Endraswara, 2006:171).
Teknik
analisis data yang dipakai oleh peneliti adalah Analisis domain yang pada
hakikatnya adalah upaya peneliti untuk memperoleh gambaran umum tentang data untuk
menjawab fokus penelitian. Caranya ialah dengan membaca naskah data secara umum
dan menyeluruh dari data yang peneliti kumpulkan dari wawancara, dan pengamatan
untuk memperoleh domain atau ranah apa saja yang ada di dalam data
tersebut. Pada tahap ini peneliti belum perlu membaca dan memahami data secara
rinci dan detail karena targetnya hanya untuk memperoleh domain atau
ranah. Hasil analisis ini masih berupa pengetahuan tingkat “permukaan” tentang
berbagai ranah konseptual. Dari hasil pembacaan itu diperoleh hal-hal penting
dari kata, frase atau bahkan kalimat untuk dibuat catatan pinggir yang
berkaitan dengan kegiatan Wu’u Nuran.
Dengan
analisis domain, hasil yang diperoleh merupakan kumpulan jenis domain atau
kategori konseptual beserta simbol yang dirangkumnya.Teknik analisis ini sangat
relevan untuk dipakai dalam studi yang bersifat eksploratif. Artinya, analisis
hasil studi hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari sang
tokoh, tanpa harus dirinci unsur-unsurnya secara detail.
Dalam
situasi sosial terdapat ratusan atau ribuan kategori. Suatu domain adalah
merupakan katagori budaya yang terdiri atas tiga elemen: Cover terms
(nama suatu domain budaya), included terms (nama suatu kategori atau
rincian domain), semantic relationship (hubungan semantik antar
kategori).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1) Keadaan
Geografi
Desa Balawelin I
secara juridis berdiri pada tahun 1958 yang terbentuk dari kumpulan 19 suku dan
lebih dikenal dengan nama Balaweling dalam kesehariannya. Hal ini ditegaskan
kembali oleh Bapak Kepala Desa Balawelin I dalam wawancara dengan peneliti:
“Soal penamaan itu
karena keseringan orang menyebutnya Balaweling walaupun dari segi sejarah Desa
ini dibentuk dari harga belis, Bala: Gading, Welin: Harga
Desa Balawelin I,
secara geografis berada di wilayah dataran rendah dan berbukit dengan luas 675
ha yang beriklim tropis dengan 2 musim yakni musim kemarau dan musim hujan
dengan mata pencaharian masyarakat
bertani. Adapun batas Desa Balawelin I antara lain:
Timur : Desa Pamakayo
Barat : Desa Lemanu
Selatan: Desa
Balawelin II.
2) Identitas
Informan
Informan menjadi salah satu aspek penting dalam
proses penyelesaian penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dimana mereka
dipilih secara acak dengan tidak memperhatikan aspek hubungan kekerabatan tapi
lebih dilihat dari aspek profesionalitas dalam pemberian informasi yang
disesuaikan dengan kemampuan berpikir dan pengalaman mereka dalam proses
perayaan wu’u nuran. Berikut peneliti
menyajikan tabel identitas informan berdasarkan umur, pekerjaan dan pendidikan:
Tabel
2: Identifikasi informan berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan
No
|
Nama Informan
|
Umur
|
Pendidikan
|
Pekerjaan
|
1.
|
Urbanus T. Werang
|
46 thn
|
SMA
|
PNS
|
2.
|
Gerardus G. Hayon
|
49 thn
|
SMA
|
Tukang
|
3.
|
Yohanes O. Keban
|
52 thn
|
SMA
|
Petani
|
4.
|
Sofia L. Keban
|
58 thn
|
SD
|
Petani
|
5.
|
Bernadus S. Niron
|
90 thn
|
SD
|
Petani
|
6.
|
Steven P. Keban
|
32 thn
|
SMP
|
Petani
|
7.
|
Frans H. Niron
|
85 thn
|
SD
|
Wirausaha
|
8.
|
Frans Nega Niron
|
92 thn
|
SD
|
Tukang
|
9.
|
Petrus K. Sogen
|
46 thn
|
SMA
|
Petani
|
10.
|
Yakobus Hayon,S.Fil
|
42 thn
|
S1
|
Karyawan
|
11.
|
Gusti Keban
|
31 thn
|
SMA
|
PNS
|
12.
|
Maria M. Keban
|
43 thn
|
SMA
|
IRT
|
13.
|
Yohana M. Keban
|
45 thn
|
SMA
|
IRT
|
14.
|
Maria L. Hayon
|
50 thn
|
SD
|
Petani
|
15.
|
Susana P. Niron
|
90 thn
|
SR
|
Petani
|
Dari table di atas, dapat kita temukan bahwa rataan
informan yang dipilih oleh peneliti memiliki pendidikan terakhir adalah SD,
walaupun ada beberapa informan yang dipilih menamatkan pendidikan mereka di
jenjang SMA dengan pertimbangan pola pikir yang dapat membantu peneliti dalam
proses wawancara.Berdasarkan umur, kebanyakan informan yang dipilih oleh
peneliti memiliki rataan umur yang berkisar dari 40-90 thn dengan pertimbangan
bahwa informan yang dipilih adalah mereka yang sudah berpengalaman dalam proses
upacara ini dan memahami eksistensi keberadaan budaya setempat.
3) Keadaan
Sosial-Budaya
Berdasarkan sensus
penduduk yang dilakukan oleh pihak Desa sejauh ini jumlah penduduk telah
mencapai 706 jiwa dengan rincian Laki-laki 368 jiwa dan perempuan 338 jiwa yang
tersebar di 3 dusun (Dusun Lamalewo, Dusun Penilering, dan Dusun Botan) dengan
12 RT dan 6 RW.
Masyarakat Desa
Balawelin I mayoritas memeluk agama Katolik, hal ini bisa diamini oleh karena
sejarah penyebaran ajaran Katolik pertama kali terjadi di pulau Solor dengan
benteng Lohayong sebagai saksinya. Masyarakat Desa Balawelin I bermata pencaharian Petani dan Nelayan dan
memiliki sebuah Rumah adat yang dipimpin oleh Bapa Lewo Ema Tanah dan dibantu oleh 4 Suku besar yakni Keban
Koten, Keban Kelen, Niron Maran dan Niron Hurit. Dalam keseharian hidup
masyarakat Desa Balawelin I, masih ditemukan budaya saling tolong-menolong atau
Gemohin dalam setiap pekerjaan
khususnya pristiwa kematian, pembukaan kebun baru, pengerjaan lahan dan pembuatan rumah yang dipadukan Makan Lamak.
“Budaya gotong
royong atau gemohin masih tetap dijaga oleh masyarakat setempat,dalam pendirian
rumah misalnya tidak semata-mata tuan rumah saja tapi juga tetangga. Dan satu
lagi, soal Makan Lamak.
Berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupeten Flores Timur nomor 08 Tahun 2006 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa Kabupaten Flores Timur
yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa tahun , Desa Balawelin 1 dipimpin oleh Kepala Desa yang dibantu
oleh oleh aparat desa yang terdiri dari Sekretaris, Bendahara KPTU
Pemerintahan, KPTU Pemberdayaan dan Pembangunan, KPTU Masyarakat, Kepala Dusun
Lamalewo, Kepala Dusun Penilering dan Dusun Botan serta BPD dan PKK.
4) Keadaan Pembangunan Infrastruktur
Desa Balawelin
I memiliki beberapa sarana yang terdiri dari:
Tabel 3 : Tabel Sarana
Desa Balawelin
NO
|
SARANA
|
|
Sarana Ibadah
|
Sarana Pendidikan
|
Sarana Kesehatan
|
Sarana Air Bersih
|
Sarana Olahraga
|
1.
|
1 Buah Gereja
|
1 buah TKK dan 1 buah SD
|
1 buah Puskesmas dan 3 buah Pokbang
|
3 buah sumur gali
|
1 buah lapangan bola kaki dan 1 buah
lapangan bola voli
|
4.2
Penyajian Hasil Penelitian dan Analisis
4.2.1
Hasil
Penelitian
1.
Gambaran
7 kebudayaan Universal Masyarakat Balawelin I
a)
Sistem
Religi/Keagamaan
Masyarakat Balawelin I secara umum memeluk ajaran Katolik yang bertolak dari sejarah kehadiran Agama
Katolik di tanah Solor untuk pertama kalinya. Namun demikian, masyarakat
Balawelin juga percaya dan yakin akan beberapa objek
kepercayaan tradisional yakni:
(1) Bapa
Kelake Lera Wulan – Ema Kewae Tana Ekan
Yakni percaya
kepada Wujud Tertinggi seperti yang terungkap dalam wawancara dengan Bapak
Gerardus G. Hayon:
“Soal kepercayaan
kami percaya akan kekuatan Bapa Kelake Lera Wulan yang disebut Bapa Allah dan
Ema Kewae Tana Ekan yang disebut Mama Bunda atau Ibu Pertiwi”.
(2) Kewoko
Kelite
Yakni percaya akan
kehadiran leluhur yang ditandai dengan pemberian makan pada pagi dan malam hari
di rumah warga pada sudut-sudut doa. Hal ini sebagai bentuk penghargaan kepada
leluhur yang sudah melindungi mereka dalam setiap usaha mereka.
(3) Percaya terhadap berbagai macam roh yang baik dan yang
jahat.
(4)
Mereka
pun percaya akan adanya kekuatan gaib atau sakti yang dimiliki oleh orang
tertentu baik yang bersifat baik maupun yang jahat seperti Molang (dukun) dan Menaka
(suanggi). Selain itu, mereka pun percaya akan tempat tertentu yakni lango gelaran (rumah pemali atau
keramat) dan juga barang tertentu yang peneliti bagi berdasarkan Dewan Empat
Besar sesuai dengan informasi dari Bapak
Yohanes Olamudi Keban dan Sofia Lelo Keban (tertanggal 20 September 2013) serta
Bapak Bernadus Suban Niron (tertanggal 22 September 2013):
·
Keban
Koten : Ua Bladak ( Tongkat sakti)
dan Bendera Masyarakat Balawelin.
·
Keban
Kelen : Wulu Mera ( Bambu Merah),
gong dan gendang
·
Niron
Hurit : Huri Kada ( sejenis parang
adat)
·
Niron
Maran : Ua Bladak (Tongkat Kebesaran
serupa raja)
b)
Sistem
Pengetahuan
Sistem pengetahuan
masyarakat desa Balawelin dapatlah dikatakan masih minim oleh karena rendahnya
kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya dengan berbagai alasan salah
satu yang menonjol adalah soal ekonomi. Data yang diperoleh peneliti dari
wawancara dengan Bapak Urbanus Toran Werang selaku Kepala Desa ditemukan
kenyataan bahwa anak-anak yang paling banyak bersekolah adalah SLTP dengan
perbandingan 24 orang sedangkan SMA hanya 14 orang. Namun demikian, bukan
berarti masyarakat Desa Balawelin I begitu tertutup dengan berbagai
perkembangan yang terjadi semisal pola bertani yang diberikan oleh pihak
Pemerintah dan LSM, malah mereka begitu antusias dan menerima
berbagai macam masukan demi kelangsungan hidup.
c)
Sistem
Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia
Masyarakat
Balawelin I dalam kesehariannya belum mampu menciptakan peralatan mereka
sendiri sebagai sarana untuk mempermudah kerja mereka sebagai petani. Peralatan kerja yang diperoleh saat ini
merupakan hasil dari membeli. Hal ini ditandaskan oleh Bapak Steven Pajiopu
Keban dalam wawancaranya dengan peneliti:
“Kalau peralatan
kerja kebun tidak dihasilkan sendiri, kebanyakan dibeli di Pasar Ena ataupun di
Larantuka. Berbeda dengan peralatan nelayan, itu dibuat sendiri dengan bahan
yang sederhana misalnya sampan, dayung,
dan keturak (semacam tombak yang dikhususkan untuk menikam ikan).
Namun berbeda
ketika kita mengamati perlengkapan yang biasa digunakan masyarakat Balawelin
dalam keseharian dimana mereka seperti kebanyakan masyarakat lainnya sudah
menyesuaikan diri mereka dengan perkembangan teknologi modern hal ini
ditunjukkan dengan gaya berpakaian walaupun ada masyarakat yang setia memakai senai (sarung khusus laki-laki) dan kewatek (sarung khusus perempuan),
aksitektur rumah yang modern tanpa menghilangkan kekhasan masyarakat setempat, dan beberapa perlengkapan hidup lainnya.
d)
Sistem
Ekonomi dan Mata Pencaharian
Masyarakat Desa
Balawelin I mayoritas bermata pencaharian bertani, sesuai dengan kondisi lahan
yang terbilang luas dan cukup subur. Dahulu, sebelum mengenal pola bertani
masyarakat Desa Balawelin I sering berpindah-pindah lahan dengan gaya lama
yakni tebas bakar. Namun demikian, ada beberapa masyarakat yang kemudian
menjadi nelayan guna menghidupi nafkah mereka oleh karena kondisi desa yang
cukup dekat dengan laut.
Untuk menghidupi
keluarga dan dengan perkembangan yang ada hasil dari bertani dan melaut tidak
dicicipi sendiri malah sudah bisa dijual ke pasar ataupun pedagang lainnya. Komoditi
yang sering dijual selain ikan segar adalah Jambu Mete, Ata Nona, dan
Watermelon (atau bahasa setempat mendike).
e)
Sistem
Organisasi Kemasyarakatan
Desa Balawelin terbentuk dari 19 suku yang datang dari
berbagai arah di masa lalu. Suku-suku yang datang dari gunung merupakan
suku-suku asli atau suku-suku Ile Jadi
Woka Dewa yang artinya suku kelahiran gunung dan turunan bukit. Suku-suku
dari barat yakni Sina Jawa dan Solor Barat. Dan dari timur yakni Tena Mao,
Keroko Puken, dan Solor Timur serta dari selatan. Untuk lebih jelasnya lihat tabel
berikut:
Tabel
4 : Suku-suku di Desa Balawelin
Suku-suku
asli
|
Niron, Baun,
Kaha Suban Letoama, dan Mudayen
|
Suku-suku
yang datang dari Barat
|
Keban, Hayon
Lein, Niron Gerin, Muda Tratunawa, Krowin Dan Sogen
|
Suku-suku
yang datang dari Timur
|
Kein, Hayon
Lapan Batan, Hayon Leki Seran Mau Wada atau Hayon Lepe Lagarian, Kaha Kokiboki
Wulagita, Moton (sebelumnya bernama Lamarobok), Tanah Werang, Tukan dan Kikon
|
Suku yang
datang dari Selatan
|
Sina-Sawun
|
“Dalam sistem kepemimpinan di Desa Balawelin
selain Bapa Lewo-Ema Tana, ada Semata Pa (Dewan Empat Besar) yang terdiri dari
suku Keban Koten, Keban Kelen, Niron Hurit, dan Niron Mara yang bertugas
membantu Bapa Lewo-Ema Tana, serta Semata Suku Pula – Wun Lema yakni para kepala suku yang tidak termasuk
Semata Pa yang bertugas membantu Semata Pa.
Sedangkan sistem kekerabatan masyarakat desa Balawelin terasa sangat kental mengingat
tiap suku-suku yang ada di desa Balawelin
merupakan sebuah keluarga besar dan memiliki keterikatan sangat sangat kuat
antar suku yang senantiasa dipertahankan
melalui perkawinan antar suku
di dalam masyarakat Balawelin itu
sendiri dan dapat dilihat
dari kebiasaan Gemohin dan Makan Lamak.
Segera setelah dikenalnya sistem pemerintahan desa,
maka wilayah menjadi sebuah desa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa yang diperbantukan oleh aparat dan perangkat desa.
Namun demikian, terdapat batasan yang jelas antara pemerintahan desa dan
organisasi kesukuan di desa Desa
Balawelin sendiri. Kedua pihak saling menerima, mengakui,
menghargai, dan menghormati apa yang menjadi status dan wewenangnya
masing-masing. Pemerintahan desa Balawelin
senantiasa berurusan dengan pembangunan desa sesuai yang telah dicanangkan oleh
pemerintahan pusat. Sedangkan untuk urusan adat desa Balawelin menjadi tugas dan tanggungjawab
suku-suku asli desa Balawelin,
terutama Bapa Lewo Ema Tana selaku tuan tanah. Walau kedua sistem
organisasi ini jelas berbeda, tetapi dalam pelaksanaan peranannya masing-masing
kedua pihak saling berkaitan.
f)
Bahasa
Masyarakat Desa
Balawelin dalam keseharian hidup mereka menggunakan bahasa daerah setempat
(bahasa Lamaholot) dan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, hal ini pun
terjadi saat diadakan rapat baik oleh Pemerintah setempat maupun oleh suku-suku
yang mendiami desa Balawelin.
g)
Kesenian
Tenun Ikat menjadi
produk kesenian yang masih dipertahankan oleh masyarakat Balawelin hingga saat
ini yang digunakan dalam upacara adat. Selain itu, ada beberapa kesenian yang
dapat kita temukan yakni Tarian Hedung,
Tarian Sese’nure, gong, gendang (genda) dan giring-giring (retu’re).
2.
Upacara
adat Wu’u Nuran Desa Balawelin I
a.
Tinjaun Sejarah Wu’u Nuran Desa Balawelin I
Wu’u Nuran
merupakan satu perayaan syukur atas hasil panen. “Wu’u” berarti baru sedangkan
“Nuran” dapat dipersepsikan
dengan berbagai makna. Ada yang menghubungkannya dengan “uran” yang berarti hujan, ada pula yang menghubungkannya dengan “nuren” yang berarti mimpi dan adapula
yang menghubungkannya dengan “wuran”
yang berarti buih. Karena itu secara etimologis wu’u nuran berarti hujan baru, mimpi baru atau buih baru. Namun
demikian, perbedaan akan makna itu tak lantas melunturkan makna wu’u nuran yang
bagi kebanyakan orang sudah diterima umum bahwa wu’u nuran merupakan perayaan syukur atas hasil panen. Berkaitan
dengan sejarah wu’u nuran peneliti
mendapat informasi dari Bapak Frans Hayonama Niron:
“Wu’u Nuran itu
sebenarnya didasarkan dari mitologi dimana dalam sebuah keluarga ada 7
bersaudara yaang terdiri dari 6
laki-laki dan 1 perempuan. Saat musim menanam, keluarga ini tidak
memiliki bibit untuk ditanam. Oleh karena itu, si perempuan kemudian menyuruh
saudara-saudaranya untuk membunuh dan potongan tubuhnya ditanam di lahan yang
sudah disiapkan dengan kepala diletakkan di tengah kebun (Era Puken), potongan
tangan dan kaki diletakkan berdasarkan sudut baik kanan maupun kiri.
Saudara-saudara pun menuruti permintaan saudarinya walaupun itu berat. 7 hari
berselang lahan yang tadinya kosong kini ditumbuhi banyak tanaman,namun anehnya
dulu tanaman itu dengan sendirinya masuk ke rumah tanpa dipetik oleh manusia.
Namun dalam perjalanan waktu, ada bagian yang diyakini kebanyakan masyarakat
mengalami luka pada kakinya sehingga tanaman itu tidak bisa pergi ke rumah
dengan sendirinya dan diganti dengan manusia sebagai aktor untuk memetik hasil
tanaman itu.”
Dengan demikian
dapatlah kita simpulkan bahwa sebenarnya perayaan wu’u nuran merupakan bentuk
penghormatan kepada kaum perempuan yang merelakan dirinya (Korban) untuk
menghidupi banyak orang, selain bentuk ucapan syukur atas hasil panen yang
diperoleh.
b.
Tahapan-tahapan
dalam Upacara Wu’u Nuran
Sebelum sampai pada
tahapan-tahapan menuju perayaan Wu’u
Nuran, peneliti menjabarkan sedikit perhitungan waktu (bulan-bulan dalam
setahun) masyarakat Balawelin yang diberi nama berdasarkan kerja mereka sebagai
petani sesuai rujukan makalah Alm. Pater Yosef Suban Hayon dan dilengkapi oleh
beberapa sumber lainnya yaitu:
1)
Bulan
Agustus dinamakan “Beolan” karena di
bulan ini kegiatan kerja kebun dimulai (olah).
2)
Bulan
September karena ditandai dengan keguguran daun-daun pohon (kayo) dinamakan “Kayo Karen”.
3)
Bulan
Oktober disebut “Kolo Gae Tana”
artinya burung mengais tanah.
4)
Bulan
Nopember merupakan saat dimulai kegiatan menanam sehingga disebut “Toben Nika” atau “Nuba Baken” (kegiatan menanam).
5)
Bulan
Desember merupakan penutupan kegiatan menanam sehingga dinamakan “Toban Nika” (jatuhkan/menghentikan alat
yang dipakai untuk menanam).
6)
Bulan
Januari disebut “Mepik” yang artinya
petik pada bulan ini yakni memetik daun tertentu sebagai alas kaki ketika
menyiangi rumput, hal ini dikarenakan pada bulan ini terjadi musim panas sekali.
7)
Bulan
Februari disebut “Maek” artinya
banjir karena pada bulan ini sering terjadi banjir.
8)
Bulan
Maret disebut “Kewae Ra’en” karena di
bulan ini para kewae (istri) mendapat
makan hasil sulung tahunan.
9)
Bulan
April disebut “Kebarek Ra’en”
merupakan waktu bagi para Kebarek
(gadis) untuk makan hasil sulung tahunan.
10) Bulan Mei disebut “Kelake
Ra’en” merupakan waktu bagi para kelake
(Bapa/Suami) untuk makan hasil sulung tahunan.
11) Bulan Juni merupakan saat memetik dan menyiapkan hasil
panen sehingga disebut “Sorit”
(Simpan).
12) Bulan Juli merupakan waktu perayaan puncak kegiatan panen
dimana segera dibuatkan upacara syukuran atas panen. Karena itu disebut “Berauk” atau “Wu’u Nuran”.
Adapun beberapa tahapan yang perlu dilewati untuk sampai
kepada acara puncak perayaaan Wu’u Nuran didasarkan pada hasil wawancara dengan
Bapak Frans Nega Niron(wawancara tanggal 18 September 2013) selaku Bapa Lewo-Ema Tana dan informan lainnya
untuk penyempurnaan yakni Bapak Frans Hayoama Niron dan Bernadus Suban Niron
(wawancara tanggal 18 dan 22 September 2013) diantaranya:
1)
Tahap
Persiapan (Tuak Doka)
Pada tahapan ini ada beberapa ritus penting diantaranya:
(a) Dula
Elu Kenube
Ritus ini merupakan ritus untuk menggosok batu asa (elu) dan parang (kenube) dan dilakukan pada bulan Agustus atau bulan Beolah di
“lango gelaran” (Rumah keramat) dan
diawali oleh janji Bapa Lewo – Ema Tana
untuk melayani lewotana sehingga “male’eket” lewotana (kekuatan pelindung
lewotana) memberikan perlindungannya. Setelah itu, perempuan dari suku Keban
Kelen akan memasak “wete” atau
jewawut dan disaksikan oleh para fungsionaris adat. Adapun para fungsionaris
adat akan terus memperhatikan gerakan air yang mendidih, jika merata maka hujan
akan turun cukup untuk semua,tapi jika tidak maka doa yang diucapkan oleh Bapa Lewo – Ema Tana harus diulangi
lagi. Dan kalau gerakan air tetap seperti itu maka dibawakan korban pemulihan
dosa atau warga disiapkan untuk mencari kerja alternatif selain bertani. Dan wete yang sudah masak nantinya hanya di
makan oleh laki-laki disertai dengan rengki yang sudah disiapkan dan dioleskan
pada elu dan kenube agar semua orang aman dan berhasil menggunakan peralatan ini
serta parang menjadi tajam untuk membuka kebun baru.
(b) Peta
Eta, Poan Oan
Sebelum tahap ini dimulai, Bapa Lewo-Ema Tana akan menyampaikan kepada Ribu Ratu bahwa proses
buka kebun baru akan dimulai. Tahap ini merupakan tahap membabat hutan untuk
membuka kebun baru,yang diawali dengan undangan tuan tanah kepada fungsionaris
adat agar membuat “guan gahin” atau
musyawarah di “koke bale” atau rumah
adat untuk menentukan siapa dari Dewan Empat Besar yang mengerjakan “ma nika leun” (kebun yang ditanami
pertama) dan “ma nika bedorin” (kebun
yang ditanami kedua). Pada umumnya tuan tanah dalam hal ini suku Niron Maran
yang menangani ma nika leun dan Keban
Kelen menangani ma nika bedorin
sedangkan 2 suku lainnya menjadi mitra kerja. Sesudah pembicaraan bersama tadi dibuat
“belo bulu” maksudnya memberi tanda
pada satu lahan tertentu bahwa lahan itu akan dikerjakan pada musim tanam saat
ini dan setelah itu baru dilakukan upacara “Petan
Eta Poan Oan” yang biasa dilakukan pada bulan September atau Kayo Karen dengan diawali dari “ma nika leun” disusul “ma nika bedorin” dan diikuti dengan
pembukaan kebun lain dalam bentuk Gemohin.
(c) Tuno
Eta atau Seru Eta
Ritus ini merupakan
ritus dimana kawasan hutan dibakar dengan gesekan bambu mentah dengan
menggunakan sabut kelapa (kenebe au bete
marik tapo tange) yang bermakna bahwa untuk memperoleh hasil harus
ditunjukkan kesungguhan kerja. Api yang diperoleh itu digunakan untuk membakar
“Ma nika leun” dan diikuti dengan “ma nika bedorin” lalu kebun Ratu Ribu. Kegiatan ini dilakukan pada
awal bulan Oktober atau bulan kolo gae
tana.
(d) Gelete
Owa-Aha Kowo atau Gute Lesak Ape Ipe
Ritus ini merupakan ritus pendinginan kebun yang ditandai
oleh darah hewan, dimana setiap kebun menyiapkan seekor hewan dan suku Keban
Kelen berjalan keliling untuk melaksanakan upacara “huke tana” atau memberi makan tanah dengan menyuguhkan “witi ate tuak lolon” dan setelah itu
barulah Ribu Ratu memakannya. Ritus
ini diakhiri dengan penghantaran bara api keluar dari setiap kebun menuju kali
(gute lesak api ipe) dan diletakkan
dengan hormat pada sebuah lubang. Dengan demikian,tak ada lagi aktifitas untuk
menghidupkan api di kebun.
2)
Tahap
Menanam
(a) Maya
Hode Besi Pare
Ritus ini merupakan ritus untuk memanggil atau menjemput padi/benih
yang akan ditanam dan diadakan pada bulan Nopember atau bulan Nubaken. Ritus ini sendiri diawali
dengan menjemput ema oa (gadis
representatif bibit padi yang dirias dengan dandanan khusus) yang berada di lango gelara dan menghantar mereka ke
tengah kebun / era puken . Di kebun
itu mereka akan duduk di atas batu ceper yang sudah diberi beberapa lembar uang
sebagai bentuk pembelian atas tanah yang akan dijadikan lahan untuk buka kebun
baru sambil Sang ketua adat mengucapkan doa memohon bibit datang.
(b) Belo
Wuli
Merupakan ritus
memotong, membuka, dan meneliti limpa dan empedu hewan korban untuk meramalkan
hujan dan hasil panen. Setelah hewan dipotong dilihat empedu dan limpanya,kalau
limpanya kuning dan empedunya penuh berisi itu berarti hujan akan mencukupi dan
hasil panen bakal menggembirakan.
(c) Hika
Tuba atau Tuba Mula
Sesudah
melaksanakan ritus di atas setiap keluarga mengambil benih (hode era lolo) untuk dicampur dengan
benih yang ada di rumah. Kemudian, dilakukan hika tuba yang dimulai dari kepala suku Keban Kelen pada ma nika leun sebagai tanda resminya
kegiatan menanam. Dalam kegiatan ini laki-laki melobangkan tanah, dan kaum
perempuan menanam yang diawali dengan lahan ma
nika leun dan diikuti ma nika bedorin
dan kebun lainnya. Menjelang makan bersama, ada ritus memberi makan tanah yang
bertujuan untuk menjamu arwah nenek moyang dan Yang Ilahi sebgai rasa hormat,
dan berharap agar diberikan tanah yang subur, hujan secukupnya dan hasil panen
yang berilimpah, setelah itu kegiatan hika
tuba dilanjutkan.
3)
Tahap
Perayaan Wu’u Nuran
(a) Pi’i
Wu’un Padan Uran
Setelah selesai
menanam Ribu Ratu tidak diperkenankan melakukan pesta pora sambil menunggu
datangnya hasil baru. Dan dalam masa ini ada sejumlah kelompok tertentu yang
melakukan pi’i wu’un (berpantang sampai waktu ditentukan dengan kegiatan adat)
yakni: Tua adat, Kepala suku, Para istri tua adat dan kepala suku,dan Ema Oa atau Nona padi.
(b) Belo
Wata
Artinya memberi
makan jagung hasil panen sebagai hadiah yang dilakukan oleh ema oa bersama ibu sesuai hasil
musyawarah tua-tua adat. Dalam kegiatan ini mereka bisa memberikan hasil kepada
siap saja yang mereka jumpai sebagai bentuk semangat kasih persaudaraan,
membina rasa solider serta menannam sikap partisipatif dalam kegembiraan sesama
sebelum dibawa ke rumah adat Keban Kelen. Kegiatan ini juga disebut Kebarek hiton.
(c) Rekan
Wu’un
Artinya makan hasil
baru yang dilakukan pada malam hari oleh kelompok yang berpantang. Namun dalam
kegiatan ini masing-masing kelompok berbeda:
(1)
Para
ibu melakukannya pada akhir bulan Kewae
ra’en
(2)
Para
Gadis melakukannya pada pertengahan bulan Kebarek
Ra’en
(3)
Dan
para Bapak-bapak pada awal bulan Kelake
Ra’en.
Dalam ritus ini makanan
yang dimakan hanya menggunakan lauk dan bagi para perempuan lauknya dicari oleh
kaum laki-laki, hasil wawancara dengan Bapak Frans Hayoama Niron tanggal 19
September 2013.
(d) Wu’un
Nuran
Pada bulan Sorit
atau bulan Juni, para petani secara khusus melakukan kegiatan Doken Nolan yang berarti memetik dan menyimpan
hasil panen. Pada bulan Berauk atau
bulan Juli diadakan perayaan Wu’u Nuran
sebagai acara puncak dalam siklus panen yang diadakan di halaman rumah adat Koke Bale dan melibatkan semua
masyarakat Balawelin.
4.2.2
Analisis
1.
Identifikasi
Gaya Komunikasi kelompok Laki-laki Masyarakat Balawelin I dalam perayaan Wu’u
Nuran.
Dalam setiap ritus
yang umum terjadi dalam masyarakat Balawelin sebagai representasi budaya
lamaholot, khususnya dalam perayaan wu’u
nuran laki-laki masih memainkan peranan sebagai pemimpin yang dipersepsikan
kebanyakan orang sebagai kepala keluarga. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Gerardus
G. Hayon dalam wawancaranya dengan peneliti:
“Laki-laki itu
adalah kepala keluarga dan tak heran jika dalam setiap ritual adat laki-laki berperan
melakukan pengucapan mantra adat dan juga mengumpulkan orang dalam suku dengan
berbagai cara baik dengan delegasi maupun masing-masing ketika ada hajatan
besar. Selain itu dalam perayaan wu’u nuran ada istilah Bau Baku (bakul berisi
rengki) yang mana dihitung berdasarkan keturunan laki-laki dalam suku jika ada
yang dilupakan maka konsekuensinya bisa meninggal”.
Selain sebagai pemimpin, laki-laki juga memiliki
posisi tinggi oleh karena budaya patriarki yang kebanyakan dianut oleh budaya
kita yang lebih mementingkan kehidupan kaum kelake
dimana semua urusan perempuan akan dipikirkan kemudian setelah laki-laki dan
berdasarkan rujukan pada Alkitab yang mana perempuan dilahirkan dari rusuk
laki-laki, yang dipersepsikan oleh masyarakat setempat bahwa perempuan itu
pantas dilindungi oleh karena laki-laki memiliki kekuasaan sesuai dengan
pengakuan Bapak Petrus Kayo Sogen dalam wawancaranya dengan peneliti:
“ beleki pe pega
kuasa dore ajaran Alkitab, mari meri berwai pe morita dari rusuk beleki nae
selain budaya patriarki yang tite anut “
(laki-laki itu punya kekuasaan sesuai dengan ayat Alkitab
yang menyebutkan bahwa perempuan hidup dari rusuk laki-laki, selain budaya
patriarki yang kita anut).
Namun demikian,
bukan berarti laki-laki dalam tahapan ini bukan meluluh soal kekuasaan tapi dapat
berdiri sebagai pelayan yang dapat di amati pada salah satu tahapan yakni bulan
Kebarek Ra’en dan Kewae Ra’en yang mana laki-laki harus
mencari lauk dan diberikan kepada Ema Oa
yang direpresentasikan sebagai ibu pemilik tanah yang harus dihormati dan
dihidupi oleh kaum laki-laki. Hal ini pun senada dengan pengakuan Bapak Yakobus
Hayon, S.Fil yang mengangap kaum perempuan dalam perayaan ini adalah kaum
penentu yang amat menentukan keberhasilan perayaan ini dan bukan objek
penderita dan sepantasnya kaum laki-laki harus menghormati mereka serupa Ibu
Pertiwi (hasil wawancara tertanggal 22 September 2013) dan tak ada kecemburuan
yang timbul dari kaum laki-laki kepada kaum perempuan jikapun dalam tahapan itu
perempuan mendapat porsi lebih yakni 2 bulan yakni bulan Kewae Ra’en dan Kebarek Ra’en.
Bagi mereka hal itu adalah wajar karena kaum perempuan adalah cikal bakal benih
dan pantas dihormati.
Dengan demikian
pandangan di atas dengan sendirinya akan mempengaruhi gaya komunikasi ketika
kita menelaah lebih jauh pada upacara wu’u
nuran dengan tahapan-tahapan yang mengikutinya sesuai dengan teori rujukan
peneliti yakni Genderlect Theory dan Muted Group Theory dimana dalam setiap
tahapan itu laki-laki masih menjadi pemimpin adat yang dipercayakan untuk memberikan
mantra/ koda kirin dalam hal ini
komunikasi verbal saat membuka kebun baru baik di ma nika leun maupun ma nika
bedorin yang didahului dengan potong kayu seperti terlihat dalam paparan
bahasa adat berikut:“ Peta eta pua o’a
belo bulu”.
Bahasa verbal dalam
perayaan ini akan terlihat lagi dalam tahapan-tahapan berikutnya yang sebagian
besar diambil alih oleh Bapa Lewo - Ema
Tana selaku Tuan Tana yang kebanyakan memakai mantra yang dipakai pada saat
tertentu dan tidak sembarang orang dan dibantu oleh Semata Pa namun hanya
berlaku di rumah adat masing-masing suku.
Gaya komunikasi ini
pun dapat digunakan Ribu Ratu kelompok laki-laki untuk berkomunikasi dengan
kelompoknya sendiri maupun kelompok perempuan namun hal itu hanya berlaku di
tempat – tempat tertentu dan kesempatan tertentu yang didominasi oleh bahasa
daerah setempat.
Selain menggunakan
bahasa verbal, gaya komunikasi kaum laki-laki masyarakat Balawelin pun
menggunakan bahasa non verbal atau menggunakan lambang, tanda, gesture dan lain
sebagainya dalam komunikasi mereka. Malah kebanyakan gaya komunikasi jenis ini
yang dominan dalam perayaaan wu’u nuran
seperti yang ditegaskan oleh Bapak Frans Hayoama Niron dalam wawancaranya
dengan peneliti:
“Dalam perayaan
ini, komunikasi non verbal amat dominan seperti memanggil kelompok tertentu
dengan gerakan tangan, atau mengucapkan mantra dengan tangan terbuka serupa
doa, dan lain sebagainya”
Hal ini kemudian
ditegaskan kembali oleh Bapak Gusti Keban yang mencontohkan peranan suku Keban
Koten dalam pemotongan hewan kurban saat perayaan Wu’u Nuran yakni memegang kepala tanpa harus diperintah semuanya
murni karena peran dan tugas yang harus dijalankan walaupun tanpa mengeluarkan
kata-kata (hasil wawancara tertanggal 20 September 2013). Selain berbicara soal
gaya yang dipakai oleh laki-laki peneliti mencoba mendalami seberapa
tertariknya kaum laki-laki untuk berkomunikasi dengan perempuan namun yang
terjadi bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti kebanyakan
kaum laki-laki hanya tertarik untuk berkomunikasi dengan kaumnya sendiri
lantaran kaum perempuan dianggap tidak paham akan budaya adat khususnya wu’u nuran seperti yang diutarakan oleh
Bapak Gerardus G. Hayon:
“Mereka tak paham
adat ini, maka daripada itu kami lebih banyak berbicara dengan kaum laki-laki
karena memiliki kesamaan peran dan status yang mana dapat menghantar kami pada
diskusi soal wu’u nuran di masa mendatang.”
Dan jika pun ada
yang tertarik berkomunikasi dengan perempuan itu hanya pada kaum Semata Pa yang
mana istri mereka dalam setiap perayaan wu’u
nuran harus senantiasa mendampingi mereka. Hal ini diamini sendiri oleh
Bapak Yohanes Olamudi Keban tanggal 20 September 2013:
“ saya lebih
memilih nyaman berkomunikasi dengan kaum perempuan khususnya istri saya”.
Dari paparan di
atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa gaya komunikasi laki-laki dalam
perayaan wu’u nuran baik verbal maupun non verbal amat dipengaruhi oleh status
sosial dan jarak sosial yang ada yang kemudian berakibat pada kurangnya
interaksi mereka, walaupun di satu sisi laki-laki masih membutuhkan kaum
perempuan sebagai pelengkap yang menentukan. Kaum laki-laki betul-betul
menguasai bahasa verbal dan tak sedikit bahasa non verbal yang mereka kuasai
sebagai pelengkap bahasa verbal, yang menjadikan mereka lebih berkuasa dan
bersikap enggan bergaul serta berkomunikasi dengan kaum perempuan oleh karena
status mereka sebagai kepala keluarga dan di pertegas oleh budaya anutan kita
yang partilineal. Jarak sosial yang vertikal (baca: atas ke bawah ataupun
sebaliknya) menjadi penegas lain bahwa dalam perayaan ini laki-laki masih
memiliki kuasa atas komunikasi perempuan.
2.
Identifikasi
Gaya Komunikasi kelompok Perempuan Masyarakat Balawelin I dalam perayaan Wu’u
Nuran
Sebelum menganalisa
gaya komunikasi yang digunakan perempuan dalam perayaan wu’u nuran alangkah lebih baik kita mengetahui dulu peran yang
dilakukan oleh perempuan dalan perayaan ini. Seperti yang telah dijabarkan
sebelumnya, bahwa perempuan adalah pelengkap yang menetukan dalam perayaan ini
merupakan sebuah kenyataan yang diamini oleh kaum perempuan daerah setempat.
Hal ini dikarenakan budaya wu’u nuran
pada tahapan Bau Baku laki-lakilah
yang dihitung dan bukan perempuan, seperti yang diutarakan oleh Mama Maria Maku
Keban kepada peneliti:
“Pada tahapan bau
baku misalnya, kami kaum perempuan dalam suku tidak dihitung hanya laki-laki
saja. Dan mereka (baca: laki-laki) begitu diutamakan terkhususnya dalam adat”
Selain pada itu,
tugas lain yang kemudian menegaskan perempuan menjadi manusia kedua dapat
terlihat dalam perayaan puncak dimana kebanyakan perempuan hanya bertugas di
dapur untuk melayani tamu baik dalam maupun dari luar daerah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan yang diberikan oleh Mama Yohana Mako Keban tertanggal 24
September 2013:
“ Kame berwai kerya
di dapur macam ne hunu ape pe pas perayaan wu’u nuran (Kami kaum perempuan
kebanyakan bertugas di dapur pada perayaan itu)”.
Namun tidak berarti
peranan demikian menyudutkan kaum perempuan begitu saja sebab ada beberapa kaum
perempuan yang diperlakukan secara khusus seperti istri Semata pa, Ema Oa, Nogo Oe, dan
Sason Nuren sesuai dengan pengakuan Mama Maria Loun Hayon yang merupakan
istri salah satu Semata yakni Niron
Hurit dimana mereka bertugas memasak rengki dan kemudian mempersilahkan para
tamu (Ribu Ratu) baik yang berasal
dari daerah ini namun pergi keluar maupun
yang tinggal di dalam kampung ini dan senantiasa mendampingi suami
kemana saja suami mereka pergi
“ Saat perayaan ini
kami lebih dekat dengan suami, kemana saja mereka pergi kami selalu mendampingi.
Pernah kami berdua bersama pergi menjemput ema oa di masing-masing rumah adat
untuk pergi tidur Riang muda sebelum berangkat ke kampung lama. Selain itu kami
punya tugas masak rengki dan ikut bernyanyi bersama kaum perempuan terpilih seperti
Sason Nuren dan Nogo Oe”.
Hal demikian
diamini sendiri oleh Mama Susana Piana Niron yang pernah berperan sebagai Ema Oa dimana mereka begitu diperlakukan
khusus dijemput dan diantar oleh Semata
Pa seperti terlihat pada tahapan Maya
Hode Besi Pare, kemudian mereka menjadi orang pertama yang memetik hasil
panen dan memberikan kepada masyarakat lain yang lewat (kebarek hiton) serta menjadi orang pertama yang memakan hasil panen
pada bulan Maret (Kewae Ra’en) dan
bulan April (Kebarek Ra’en):
“ kami dijemput
oleh semata kemudian ditempatkan di era puken dan pakaian kami (kebaya dan
selendang) ditempatkan keleka sambil menunggu mereka menanam sampai selesai.
Dapat dibayangkan betapa capenya kami yang hanya duduk bersilah sambil memangku
keleka. Selain itu kami menjadi orang pertama yang memetik hasil panen dan
menjadi orang pertama yang memakan hasil panen sebelum laki-laki”.
Dengan demikian
peran yang telah dijabarkan tadi akan mempengaruhi gaya komunikasi dan cara
pandang kaum perempuan akan status laki-laki yang dalam budaya ditempatkan
sebagai kaum yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Secara umum, gaya komunikasi
verbal menjadi yang dominan yang dilakukan oleh kaum perempuan, dengan
menggunakan bahasa daerah setempat dalam perayaan wu’u nuran baik dilakukan di dapur maupun di tempat umum seperti
yang paparkan oleh Mama Yohana Mako Keban dalam wawancaranya dengan peneliti
(tertanggal 24 September 2013) oleh karena ketakutan akan kesalahpahaman akan
makna kata non verbal, walaupun tak disangsikan bahwa ada bahasa non verbal
yang digunakan seperti lambaian tangan yang bermakna memanggil orang yang lazim
dimengerti oleh kebanyakan orang. Hal ini ditegaskan kembali oleh Mama Maria
Loun Hayon dan Mama Susana Piana Niron:
“ Kebanyakan kami
menggunakan kata-kata, dalam bahasa daerah sehingga mudah dipahami dan
dijalankan oleh mereka yang mendengarkan”.
“ Kami sebagai ema
oa juga dipercayakan oleh Bapa Lewo – Ema Tana dan Semata Pa untuk membawakan
wede (sejenis syair adat yang dinyayikan) dan itu bukan laki-laki seperti ‘Duli
taliha lama mayan pali mayan lama tali, Duli wato ola keda pali igo kuru sani,
Duli muda lama tulu pali bao lama banga, Duli laka lama mayan lama mayan lama
tali, Duli rita lolo eba pali bao lolo oa dst’”.
Kaum perempuan
masyarakat desa Balawelin, walaupun merasa diri mereka tidak berarti dimata
budaya oleh karena laki-laki namun tidak berarti mereka hanya membatasi diri
mereka untuk berkomunikasi dengan kaumnya saja akibat kesamaan status dan peran
yang dimiliki namun kebanyakan dari mereka sepakat dan tak ragu untuk
berkomunikasi dengan laki-laki baik dengan menggunakan komunikasi verbal maupun
non verbal karena mereka adalah rekan kerja, walaupun terkadang mereka punya
ketakutan tersendiri apabila komunikasi yang dibangun itu tidak direspons secara
baik oleh laki-laki atau malah ditolak oleh karena budaya anutan dan pandangan
bahwa perempuan itu minim pengetahuan dan hanya laki-laki bijak yang bisa
memahami perempuan.
“ Saya lebih sering
berbicara dengan laki-laki tentang adat supaya bisa belajar, walaupun saya
punya ketakutan untuk ditolak. Berbeda ketika saya harus berbicara dengan kaum
perempuan sebab disana saya akan menemukan gosip dan pembicaraan yang sia-sia”.
Hal ini pun sendiri
disepakati oleh Mama Sofia Lelo Keban dengan sedikit perbedaan dimana ia
memilah ketakutan dalam berkomunikasi itu ada hanya untuk Kelake Bele atau para pengurus adat karena begitu dihormati
selebihnya bagi kaum laki-laki lain adalah biasa-biasa saja (hasil wawancara
tertanggal 20 September 2013).
Dari 2 paparan di
atas dapatlah kita katakan bahwa status dan peran antara laki-laki dan
perempuan akan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kelompok lain yang
secara tidak langsung akan berakibat pada gaya komunikasi yang dilakukan dalam
perayaan ini. Berikut penulis mencoba menjabarkan perbedaan gaya komunikasi
yang didasarkan pada cara pandang dan status serta peran antara laki-laki dalam
perayaan wu’u nuran:
1)
Laki-laki
umumnya mengusai bahasa perempuan akibat status mereka sebagai pemimpin dalam
keluarga (baca:kepala keluarga), perempuan pun larut dalam ketidakberdayaan
walupun ada usaha untuk belajar memahami bahasa laki-laki dan menirunya.
2)
Perempuan
juga dapat mengusai bahasa adat (koda
kirin) sama baiknya dengan laki-laki walaupun itu dinyanyikan yang setidaknya
dapat melunturkan anggapan bahwa perempuan tak tahu apa-apa soal adat.
3)
Perempuan
masih terpaku pada pembicaraan yang kurang penting diluar adat berbanding
terbalik dengan laki-laki yang begitu peduli tentang adat ini.
4)
Kebanyakan
dari laki-laki dan perempuan menggunakan bahasa verbal khususnya bahasa daerah
(lamaholot) sebagai alat komunikasi dalam perayaan wu’u nuran dan sedikit menggunakan bahasa non verbal. Ketika
laki-laki masyarakat desa Balawelin berhadapan dengan perempuan, mereka
cenderung menggunakan bahasa yang penuh kelucuan yang menimbulkan gelak tawa
sedangkan perempuan menanggapinya dengan beragam dalam artian bagi perempuan
yang bijak dia akan menanggapinya secara biasa namun jika hal itu
5)
dihadapkan
pada perempuan yang terpolarisasi secara adat ia tidak akan menanggapinya dan
malah beranjak pergi.
6)
Laki-laki
masyarakat Balawelin cenderung berkomunikasi dengan laki-laki, namun berbeda
dengan perempuan yang lebih senang melakukan komunikasi dengan laki-laki sama
serupa perempuan.
Tabel 5: Identifikasi Gaya komunikasi laki-laki dan
perempuan masyarakat Balawelin dalam perayaan Wu’u Nuran
|
Kelompok
Laki-laki
|
Kelompok
Perempuan
|
Persamaan
|
- perempuan sama baiknya menggunakan bahasa
adat (koda kirin) seperti laki-laki yang diperankan oleh ema oa, nogo oe dan sason nuren.
- laki-laki dan perempuan masyarakat Balawelin sama
menggunakan bahasa verbal (bahasa daerah) sebagai alat komunikasi
ketimbang bahasa non verbal
|
Perbedaan
|
1.
laki-laki masih menguasai bahasa perempuan oleh karena budaya patrilineal
yang dianut.
2.
Laki-laki lebih cenderung membicarakan hal-hal yang bermanfaat dan
penting misalnya keberlangsungan budaya ini.
3.
Laki-laki lebih senang berkomunikasi dengan kelompoknya ketimbang dengan
perempuan dan perempuan bagi mereka dilibatkan dalam pembicaraan yang
menimbulkan gelak tawa.
|
1.
Perempuan lebih cenderung membicarakan hal-hal yang bermanfaat namun
tidak penting seperti gosip dll.
2.
Perempuan suka berkomunikasi dengan laki-laki sama seperti berkomunikasi
dengan kelompoknya sendiri.
|