Wednesday, January 1, 2014

PROPOSAL DAN HASIL PENELITIAN POLA KOMUNIKASI GENDER



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
“No Man is an island”(manusia bukanlah sebuah pulau) adalah sebuah ungkapan yang secara gamblang memaparkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, manusia pada hakikatnya membutuhkan manusia lainnya dalam interaksi sosialnya demi proses menjadi manusia yang utuh dan sempurna. Hasil penelitian Norman Triplet (1898) seorang ahli Psikologi Sosial dalam Sarwono(2009:180) menunjukkan betapa manusia amat terbantu ketika ia ada bersama dengan orang lain, dengan mencoba membandingkan seorang yang mengendarai sepeda sendiri dengan yang mengendarai sepeda berpasangan dengan orang lain, dan hasilnya individu yang mengendarai sepeda lebih cepat ketika berpasangan dengan orang lain ketimbang mengendarai sepeda sendiri. Manusia tidak akan menjadi utuh dan sempurna tanpa adanya interaksi sosial. Interaksi sosial bak jembatan antara manusia dengan eksistensi dirinya sendiri. Secara teoritis, interaksi sosial meliputi 2 syarat yakni kontak dan komunikasi, dimana kontak tidak semata-mata tergantung pada tindakan saja, tapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila seseorang memberi tafsiran pada sesuatu atau perikelakuan orang lain (Narwoko,2006:16). Penulis sendiri dalam penelitian ini lebih fokus pada komunikasi sebagai salah satu syarat penting interaksi sosial, khususnya Komunikasi Antar Budaya sebagai salah satu cabang ilmu Komunikasi.
Komunikasi merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya, dan manusia tidak pernah lepas dari komunikasi. Sadar atau tidak, mulai dari kelahiran awal di dunia ini sebenarnya manusia sudah berkomunikasi; tangisan ketika lapar, senyum, tawa adalah sebagian kecil contoh komunikasi yang sudah, sedang, dan akan manusia lakukan. Belum lagi dengan rutinitas harian manusia yang selalu diliputi dengan komunikasi seperti membaca, merenung, berbicara, mendengarkan orang, menonton tv dan lain-lain membuat manusia seolah terjun bebas dalam bidang yang satu ini tanpa membuat manusia sadar bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang amat esensial dalam hidup,dan menjadi inti semua hubungan sosial (Widjaja, 1986:4).
Komunikasi menjadi pilar utama untuk membagikan semua pikiran, ide, informasi, konsepsi, pengetahuan, perasaan, sikap, perbuatan dan lain sebagainya kepada orang lain secara timbal balik, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Tidak ada orang di dunia ini yang luput dari komunikasi.Tengoklah orang-orang yang mengalami cacat mental. Dalam keterbatasan hidup mereka saja mereka masih bisa berkomunikasi melalui tangan, anggukan kepala sebagai simbol untuk menyampaikan keinginan hati mereka. Dengan demikianlah, komunikasi kemudian disebut sebagai jantung kehidupan dan bahwa komunikasi meliputi semua sendi kehidupan manusia baik dalam bidang politik, ekonomi, sosiologi dan budaya.Tak mengherankan jika kini komunikasi menjadi salah satu ilmu yang paling banyak diminati dan dipelajari di Perguruan Tinggi, dengan salah satunya adalah komunikasi kelompok dalam konteks budaya.
Budaya dan komunikasi memiliki hubungan yang amat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, sebab komunikasi adalah bagian dari budaya dan membantu budaya untuk tetap eksis. Dengan kata lain, lambang, simbol, tanda, dan bahasa merupakan bentuk konkret dari budaya, dan meminjam perkataan Edward T. Hall Budaya itu sebagai Komunikasi dan Komunikasi itu sebagai Budaya (Liliweri, 2009: 21).
Dalam perjalanan kehidupan manusia, tak jarang ditemukan masalah sosial yang disebabkan oleh salah tafsir komunikasi dalam konteks budaya seperti yang pernah dipaparkan Heru Purwoko dalam bukunya Tiga Wajah Budaya: Artefak, Perilaku dan Rekayasa bahwa persoalan berpisahnya Provinsi Timor-Timur (sekarang Negara Timor Leste) adalah semata-mata  persoalan bahasa dimana masyarakat Timor-Timur diberi 2 pilihan oleh Pemerintah Indonesia yakni Merdeka atau tetap berada dibawah kekuasaan NKRI. Penulis sendiri menyakini manusia siapa pun itu, pastilah memilih merdeka dan inipun menjadi pilihan buat Timor-Timur untuk berpisah dari NKRI.
Persoalan – persoalan salah tafsir komunikasi dalam konteks budaya ini juga pada dasarnya diakibatkan oleh karena perbedaan budaya antar individu yang meliputi nilai, norma, kebiasaan, bahasa, agama dan lain sebagainya. Padahal sebenarnya situasi demikian dapat diminimalisir jika kita dapat menerima perbedaan budaya sebagai  kekayaan secara universal. Perbedaan budaya ini lantas terjadi juga dalam komunikasi ketika kita secara mendalam mengamati gaya komunikasi kelompok yang terjadi antara laki- laki dan perempuan.  Budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur mematronkan budaya komunikasi kelompok laki-laki pada posisi lebih baik ketimbang perempuan. Hal ini pun dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari dimana perempuan seolah-olah menjadi manusia atau kelompok yang ditindas dan dibungkam oleh kaum laki-laki oleh karena bias budaya. Bias budaya terjadi ketika laki-lakilah yang menciptakan makna bagi suatu kelompok saja (Edwin Ardener dalam Manafe, 2009:299). Perempuan hanya bisa menggunakan bahasa nonverbal mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, sedangkan bahasa verbal mereka harus dikontrol secara sepihak oleh kaum laki-laki. Perempuan secara implisit dalam komunikasinya lebih memperhatikan proses membangun hubungan, sebaliknya laki-laki lebih memperhatikan kebebasan dan statusnya.
Perbedaan pola komunikasi kelompok antara laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu yang  baru dan bukan hanya terjadi di Indonesia pada umumnya namun juga terjadi di termasuk perempuan dan laki-laki Lamaholot khususnya Masyarakat Balawelin I di Kabupaten  Flores Timur. Masyarakat Balawelin sebagai subkultur masyarakat Solor Barat yang merupakan bagian budaya Lamaholot secara tradisional juga masih menerapkan pada budaya patriarki yang kemudian mempengaruhi banyak aspek kehidupan mereka, diantaranya masih ditemukan perempuan yang putus sekolah akibat orang tua yang memfokuskan diri mereka pada anak laki-laki. Lebih dari itu, dalam berbagai upacara adat yang lazim dilakukan di daerah itu, dapatlah kita amati bahwa laki-laki masih memainkan peran penting sebagai pengambil kebijakan ataupun pelaksana ritual; namun menarik untuk ditelaah lebih jauh bahwa ada perbedaan mencolok ketika kita mengurucutkan sedikit lebih dalam saat upacara Wu’u Nuran dilakukan. Perempuan dalam hal ini Ema Oa atau nona padi dalam pelaksanaan ritual ini menjadi aktor fundamental dimana mereka secara gradual dipercayakan sebagai orang pertama yang membuka, menanam berbagai macam tanaman dan memanen hasil di Nakaleu dan Haka Bedorin dan diikuti oleh Ribu Ratu (masyarakat) apalagi dalam tahapan menuju perayaan puncak Wu’u nuran itu perempuan Balawelin dipercayakan selama 2 bulan dari bulan Maret (Kewae Ra’en) dan bulan April (Kebarek Ra’en)  untuk mengurus ritual khusus dalam siklus bulanan menuju acara puncak perayaan Wu’u Nuran. Kebiasaan lain terkait peran perempuan adalah dalam pemberian sesajian kepada leluhur di rumah ataupun dalam pesta adat yang diperani oleh kaum perempuan, hal ini dikarenakan oleh mitologi Lamaholot yang menempatkan tanah sebagai jelmaan perempuan yang menghidupkan segala sesuatu. Pemilihan tempat penelitian ini sendiri semata-mata karena desa Balawelin sedianya menjadi satu-satunya desa yang menyelenggarakan perayaan panen yang melibatkan sedikitnya 6 kampung filial atau duli-pali/riang: Riang Teliha, Riang Muda, Riang Kenila, Riang Laka, Rita Ebang, dan Augelara (Panitia Wu’u Nuran, 2003:1-3) dipadukan dengan ritual keagamaan sebagai bentuk penghormatan kepada Bunda Maria Renha Balawelin yang dipercaya sebagai pelindung desa tersebut selain leluhur lewotanah.
Upacara Wu’u Nuran sedianya dijadikan ajang untuk mengakrabkan diri bukan sekedar antar orang dalam suku, namun dapat dijadikan sebagai sarana interaksi antar suku, antar laki-laki dan perempuan tanpa harus melihat realitas perbedaan peran yang ada.Hal inilah yang kemudian menggugah penulis dengan sejumput tanya mencoba meneliti kebudayaan Masyarakat Balawelin yang berhubungan dengan Komunikasi pada kelompok perempuan dengan merujuk pada Teori Gender (Genderlect Styles Theory), Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory), Teori Feminis (Feminist Genre Theory) dalam budaya adat Perayaan Wu’u Nuran  yang menjadi upacara puncak dan akhir dari siklus musim tanam yang dilakukan pada bulan Juli (Berauk) dan diadakan pada setiap tiga, empat, atau lima tahun dimana perempuan mendapat porsi yang lebih pada bulan Maret (Kewae Ra’en) dan bulan April (Kebarek Ra’en) dalam siklus bulanan menuju acara puncak perayaan Wu’u Nuran lewat penelitian yang dikemas dengan judul “Gaya Komunikasi Antara Laki-laki dan Perempuan dalam Perayaan Wu’u Nuran”.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang menjadi pokok penelitian adalah: Bagaimana gaya komunikasi yang dilakukan oleh Laki-laki dan Perempuan dalam upacara adat Wu’u Nuran di Desa Balawelin I Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui gaya komunikasi yang dilakukan oleh Laki-laki dan Perempuan Lamaholot dalam upacara adat Wu’u Nuran di Desa Balawelin I, Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur.

1.4 MANFAAT PENELITIAN
Dengan penelitian yang ada, ada beberapa manfaat penelitian yang  dapat  diperoleh diantaranya:
1.4.1    Manfaat Akademis
Dijadikan bahan rujukan demi pengembangan Ilmu Komunikasi secara khusus Komunikasi Antar Budaya dan membantu para praktisi komunikasi umumnya dan komunikasi Antar Budaya khususnya dalam membahas Pola Komunikasi Laki-laki dan Perempuan Lamaholot khususnya pada Masyarakat Balawelin I.
1.4.2    Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya untuk melestarikan budaya Lamaholot yang kian hari kian tergerus oleh Modernisasi, khususnya upacara Wu’u Nuran di  Desa Balawelin I Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur.


BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1       KAJIAN EMPIRIS
Penelitian ini lahir atas dasar penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pater Dr. Yosef  Suban Hayon, SVD  tentang  perayaan Wu’u Nuran di Desa Balawelin  Kecamatan  Solor Barat, Kabupaten Flores Timur dalam buku Budaya Lamaholot Etika dan Moralitas Publik (Herin, 2007:119-145 ),dan skripsi Ilham Akbar yang berjudul pola komunikasi antar pribadi kaum homoseksual terhadap komunitasnya di kota Serang. Adapun perbedaan keduanya dengan penelitian ini dapatlah dijabarkan dalam bagan berikut ini:

Tabel 1 : Kajian Empiris
Persamaan
Perbedaan
1.Dari penelitian Pater Yosef, penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian beliau terhadap Budaya Wu’u Nuran.
1.Penelitian ini hanya memfokuskan pada gaya komunikasi laki-laki dan perempuan berbeda dengan 2 penelitian di atas.
2.Tempat penelitian antara peneliti dan Pater Yosef serupa yakni Desa Balawelin, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur.
2.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dimana penelitian ini menggunakan metode etnometodologi sedangkan Ilham memakai fenomenologi sebagai metodenya.

3.Objek penelitian antara peneliti dan Ilham juga berbeda satu dengan yang lainnya dimana peneliti lebih memfokuskan pada laki-laki dan perempuan sedangkan Ilham lebih pada kaum Homoseksual.

2.2       KAJIAN TEORI
2.2.1        Kerangka Konsep
2.2.1.1 Gaya Komunikasi
Sebelum kita menelaah lebih jauh pengertian gaya komunikasi lebih jauh ada baiknya terlebih dahulu kita memahami konsep gaya dan komunikasi. Gaya seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ragam, bentuk, sikap (Tim Penyusun, 1994:692).
Sebaliknya term komunikasi bukanlah kata baru buat kita insan manusia sejati karena keseharian hidup kita dipenuhi dengan komunikasi baik verbal maupun non verbal sebagai bagian penting dari interaksi hidup kita bahkan ada yang mengatakan bahwa komunikasi sebagai perekat hidup bersama. Hal ini bisa diamini karena dari istilah komunikasi itu sendiri, terkandung makna bersama-sama (common, commonness: Inggris). Istilah Komunikasi (Indonesia) atau communication (Inggris) itu berasal dari bahasa Latin Communicatio yang berarti pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran, dimana si pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya; ikut mengambil bagian. Kata sifatnya communis artinya bersifat umum atau bersama-sama. Kata kerjanya communicare artinya berdialog, berunding atau bermusyawarah (Arifin,2008: 19-20).  Sebaliknya dari sisi para pakar dalam hal ini Porter dan Samovar dalam Liliweri (2001:162) mengemukakan pengertian komunikasi sebagai suatu proses yang dinamis yang dilakukan manusia melalui perilaku yang berbentuk verbal dan non verbal yang dikirim dan diterima dan ditanggapi orang lain.
Dari penjelasan di atas esensi dasar komunikasi sebenarnya adalah proses penyampaian pesan untuk memperoleh kesamaan makna antara pelaku komunikasi (Komunikator dan Komunikan). Namun hal itu menjadi sedikit berbeda ketika kita membahas gaya komunikasi seturut Norton, Kirtley, dan Weaver dalam Liliweri (2011: 309) dimana mereka mengartikan gaya komunikasi sebagai a cognitive process which accumulates ‘micro behavior’ form-giving of literal cotent, and adds up to ‘macro judgment’. When a person comunicates, it is considered an attempt of getting literal meanings across ( proses kognitif yang mengakumulasikan bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro. Setiap gaya selalu merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya ketika dia berinteraksi dengan orang lain). Dari pemaparan diatas secara singkat penulis pun dapat mengartikan gaya komunikasi sebagai bentuk penyampaian pesan antara pelaku komunikasi untuk mencapai kesamaan makna sehingga lawan bicara dapat mengenal pribadi satu dengan yang lainnya.
2.2.1.2 Komunikasi Kelompok
Setiap manusia apa pun dia tidak pernah terlepas dari kelompok, misalnya keluarga sebagai kelompok paling inti yang selalu ada sejak kita lahir. Bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dia membutuhkan orang lain diluar dirinya yang mempunyai kesamaan nasib, tujuan dan lain sebagainya. Kelompok hadir sebagai bagian dari pemenuhan atas eksistensi manusia sebagai makhluk sosial yang bukan hadir secara kebetulan semata, dan lenyap dalam waktu singkat namun bersama-sama mencari hal lain demi kepuasan secara bersama. Dan dalam kelompok dibutuhkan komunikasi dalam interaksinya bukan hanya sekedar untuk saling mengenal satu sama lain namun juga dapat digunakan sebagai proses untuk menyampaikan informasi dalam maupun di luar kelompoknya. Komunikasi kelompok memfokuskan pembahasannya kepada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil dan komunikasi ini juga secara implisit melibatkan komunikasi antar pribadi (Bungin, 2008:32). Komunikasi kelompok kecil sendiri sedianya dapat diartikan sebagai suatu kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk  beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka (Muhammad ,2009:182) atau dengan kata lain komunikasi kelompok kecil adalah proses penyampaian pesan antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok tertentu guna memperoleh tujuan secara bersama. Lebih lanjut beliau dalam pemaparan menjelaskan tujuan dari komunikasi jenis ini diantaranya:
1.Tujuan Personal
1)      Hubungan Sosial
Sebagai makluk sosial tak dipungkiri bahwa kita sedianya membutuhkan orang lain dalam interaksi kita. Kita membutuhkan orang lain dalam pergaulan kita, dengan tujuan untuk mempererat hubungan antarpersonal dan menaikkan kesejahteraan kita. Hal lain yang tak kalah penting dalam komunikasi kelompok kecil adalah terpenuhinya kebutuhan interpersonal kita akan kasih sayang dan merasa diikutsertakan dalam kelompok yang mungkin tidak pernah kita temukan kelompok lainnya. Contoh: minum kopi bersama-sama sambil bercakap-cakap.
2)      Penyaluran
Komunikasi kelompok memungkinkan kita untuk menyalurkan perasaan kita, termasuk perasaan kecewa, gembira, takut, keluhan, maupun harapan dan keinginan kita. Dan ketika semua itu kita sampaikan kepada orang lain dalam kelompok kita, kita sering merasa lega atau bebas dari ketegangan itu. Contoh: diskusi terkait mata kuliah hari ini kepada teman-teman dalam kelompok kita.
3)      Kelompok Terapi
Komunikasi kelompok juga secara tidak langsung berperan sebagai terapi dalam artian kelompok membantu anggotanya keluar dari persoalan yang sedang dialami anggotanya sendiri. Contoh: anggota kelompok yang suka minum minuman keras.
4)      Belajar
Alasan umum orang mengikuti kelompok kecil adalah belajar dari orang lain. Belajar terjadi dalam bermacam-macam cara dan paling biasa dalam kelas. Asumsi yang mendasari belajar kelompok, adalah ide dari dua kepala, biasanya lebih baik dari satu kepala.
2.Tujuan yang berhubungan dengan tugas
1)         Pembuatan keputusan
Salah satu alasan orang berkumpul dalam kelompok yakni untuk membuat keputusan secara bersama-sama  tentang sesuatu hal. Mendiskusikan alternatif dengan orang lain membantu orang memutuskan mana pilihan yang terbaik untuk kelompok. Contoh: memutuskan kapan kegiatan kelompok akan dilakukan.
2)         Pemecahan Masalah
Tujuan lain yang tak kalah penting dari komunikasi kelompok kecil yakni pemecahan masalah. Asumsinya bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan oleh satu orang saja tapi lebih dari itu membutuhkan ide dari orang lain dalam proses penyelesaian masalah. Seperti masalah pemerintahan dll.
Namun perlu dipahami tidak semua himpunan itu disebut kelompok bahwa dalam keseharian kita sering salah kaprah dengan menyebut orang-orang yang berkumpul di terminal, yang antri di depan bioskop sebagai kelompok (Agregat) karena untuk menjadi sebuah kelompok dibutuhkan kesadaran dari anggota-anggotanya akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Seperti kata Baron dan Byrne dalam Rakhmat bahwa kelompok mempunyai dua tanda psikologis yakni anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok – ada sense of belonging – yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota, dan nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lainnya (2009:141-142). Lebih lanjut Rakhmat kemudian membagi 4 dikotomi (pembagian dua kelompok yang saling bertentangan) yakni:
1.                   Kelompok Primer dan Sekunder
Kelompok primer dilihat dari karakteristiknya menunjukkan adanya hubungan yang akrab, lebih personal, lebih menyentuh di hati seperti terlihat dalam hubungan kita dengan keluarga kita, teman sepermainan kita dan tetangga dekat (di daerah kampung kita). Atau seturut Charles H. Cooley sebagai “By primary group I mean those characterized face to face association and cooperation”. Sebaliknya, kelompok sekunder secara sederhana merupakan lawan dari kelompok primer yang dicirikan dengan hubungan yang tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati, contoh kelompok ini antara lain organisasi massa, fakultas, serikat buruh, dll.
Jika kita mengerucutkan lagi ciri-ciri yang membedakan  kedua kelompok ini dilihat dari segi komunikasi maka dapatlah kita temukan bahwa kualitas kelompok primer bersifat dalam dan meluas,komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, pada kelompok primer komunikasi lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, komunikasi primer lebih bersifat ekspresif dan informal.
2.                        Ingroup – Outgroup
Ingroup dan outgroup merupakan istilah yang dicetuskan pertama kali oleh Sumner. Ingorup adalah kelompok kita, dan outgroup adalah kelompok mereka. Ingroup dapat berupa kelompok primer maupun kelompok sekunder seperti keluarga adalah ingroup yang kelompok primer dan fakultas adalah ingroup yang kelompok sekunder. Perasaan ingroup dicirikan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerja sama. Untuk membedakan antara ingroup dan outgroup maka ada baiknya kita membuat batas yang menentukan siapa masuk orang dalam dan orang luar dengan memperhatikan lokasi geografis, suku bangsa, pandangan atau ideologi, pekerjaan atau profesi, bahasa, status sosial dan kekerabatan. Dengan demikian kita dapatlah disimpulkan bahwa ketika kita masuk dalam kelompok ke-kita-an kita dengan demikian akan tercipta suasana yang lebih nyaman, kondusif dan memungkinkan kita berkomunikasi.
3.                        Kelompok  Keanggotaan dan Rujukan
Istilah ini pertama kali dipakai oleh Theodore Newcomb pada tahun 1930-an dimana ia meneliti para mahasiswa-mahasiswi Bennigton College yang awalnya koservatif namun ketika masuk dalam dalam sistem yang berbau liberal berubah menjadi mahasiswa-mahasiswi yang liberal pula, walaupun ada mahasiswa-mahasiswi yang mempertahankan normanya yang diajarkan oleh orang tuanya. Jika kita amati sebenarnya mahasiswa-mahasiswi Bennington College termasuk dalam kelompok keanggotaan, sedangkan mereka yang berubah maupun tetap mempertahankan nilai yang lama menjadi liberal telah menjadikan College sebagai kelompok rujukan. Kelompok rujukan sendiri dapat diartikan sebagai kelompok yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.
4.                        Deskriptif – Preskriptif
Kedua jenis kelompok ini pertama kali diperkenalkan oleh John F. Cragan dan David W. Wright dimana kelompok Deskriptif dimaknai sebagai klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah dimana lebih mengarah pada tujuannya yang dibagi atas kelompok sepintas, kelompok katarsis, kelompok belajar, kelompok pembuat kebijaksanaan dan kelompok aksi. Sebaliknya kelompok Prekriptif mengacu pada langkah-langkah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok yang dibagi atas 6 format kelompok yakni diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum, kolokium, dan prosedur parlementer.

2.2.1.3 Gaya Komunikasi Gender
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pola komunikasi merupakan sebuah sistem, cara kerja, struktur yang tetap dalam berkomunikasi (proses penyampaian pesan)yang dimiliki oleh suatu  sistem masyarakat  tertentu yang disesuaikan dengan budaya yang dianutnya, dengan asumsi bahwa tidak semua budaya memiliki pola komunikasi yang sama atau dengan kata lain tiap budaya memiliki pola komunikasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam setiap pola komunikasi itu terdapat beberapa gaya komunikasi yang lazim dilakukan oleh kita sebagai manusia dalam interaksinya dengan orang lain dengan  upaya untuk menyamakan persepsi atas pesan yang diciptakan. Menurut Muhammad (2009:89) Gaya komunikasi itu sendiri dapatlah dibagi atas gaya komunikasi verbal dan gaya komunikasi non verbal:
1.                   Gaya Komunikasi Verbal
Secara umum komunikasi verbal menggunakan kata-kata, baik yang dinyatakan secara oral atau lisan maupun tertulis dalam proses penyampaian pesannya.  Komunikasi jenis ini merupakan ciri paling khas pada manusia dan tidak ada makhluk lain yang dapat menyampaikan bermacam-macam arti melalui kata-kata. Dan sering orang menganalogikan kata-kata sebagai pedang dengan peribahasa pedang menusuk dari luar,namun kata-kata menusuk dari dalam. Dengan demikian dapatlah dilihat betapa bahasa memiliki power untuk mengubah orang lain dan dapat dijadikan sarana yang efektif tuk menyampaikan maksud kita kepada orang lain. Gaya komunikasi ini pun tak jarang dipakai oleh kelompok laki-laki dan perempuan sebagai sarana untuk berinteraksi baik secara kedalam kelompok sendiri maupun diluar kelompok mereka.
2.     Gaya Komunikasi Nonverbal
Gaya komunikasi ini lebih mengedepankan semua isyarat yang bukan kata-kata sebagai sarana dalam menyampaikan pesan seperti kata Larry Samovar dan Richard E. Porter dalam Mulyana (2007:343) atau dengan kata lain pesan dengan tidak mengunakan kata-kata namun menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan sentuhan. Komunikasi jenis ini secara teoritis membantu komunikasi verbal dalam proses penyampaian pesan baik lewat penekanan, pengulangan, melengkapi, ataupun mengganti pesan verbal yang ada. Dalam interaksi sosial kita, yang perlu kita pahami bahwa tidak semua komunikasi non verbal memiliki makna yang sama secara kultural seperti komunikasi dengan menggunakan telunjuk pada jari yang diyakini oleh kebanyakan orang Indonesia dianggap tidak sopan namun bagi orang Batak hal itu dianggap biasa tanpa mau menunjukkan sikap kasar.
Selain berbicara perihal gaya komunikasi, penulis pun dalam penelitian ini mengangkat pola komunikasi gender, dalam hal ini berfokus pada bahasa antara laki-laki dan perempuan sebagai salah satu bagian kajian dalam penelitian dengan asumsi bahwa bahasa merupakan salah satu alat atau sarana untuk komunikasi yang dalam penggunaannya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kosakata yang berbeda satu dengan yang lainnya, dengan salah satu sebabnya adalah sosialisasi mereka yang berbeda, khususnya minat mereka yang berlainan terhadap berbagai aspek kehidupan (2007:314-315). Dalam percakapan itu sendiri, menurut  Deborah Tannen dalam Mulyana perempuan lebih cenderung terlibat dalam pembicaraan hubungan yang berpusat pada perasaan atau memelihara hubungan dengan orang lain, sedangkan laki-laki lebih cenderung terlibat dalam pembicaraan laporan yang berpusat pada informasi faktual tentang apa yang sedang berlangsung (2007:316).  Selain itu pula kalau diamati lebih jauh penggunaan bahasa dalam komunikasi perempuan juga mengandung nilai kesederajatan dengan menonjolkan daya respons yang tinggi (tingkat kepedulian terhadap orang lain) dan lebih cenderung menggunakan pembicaraan yang ekspresif (menunjukkan emosinya) jika dibandingkan dengan laki-laki yang hanya menunjukkan pembicaraan yang instrumental (untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain). Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh William O’Barr dan Bowman Atkins dalam Mulyana lewat penelitian mereka bahwa bahasa perempuan akan memberi efek yang merugikan dalam ruang pengadilan karena dinilai kurang meyakinkan, kurang cakap, kurang jujur, dan kurang cerdas (2007:316-317).
2.2.2    Kerangka Teori
Adapun teori yang akan penulis pakai dalam penelitian ini antara lain:
a)      Genderlect Theory (Teori Gender)
Menurut Liliweri dalam bukunya Komunikasi Serba Ada, Serba Makna (2011: 229-230)  teori ini pertama kali dicetuskan oleh Deborah Tannen pada tahun 1984. Teori ini menerangkan beberapa hal sebagai berikut:
1.     Ada perbedaan pola-pola percakapan lintas budaya antara laki-laki dengan perempuan.
2.     Gaya komunikasi yang maskulin dan feminin hanya diskursus yang membedakan budaya perempuan dan laki-laki dan tidak menetapkan salah satu pihak superior dan inferior dalam percakapan.
3.     Kebanyakan laki-laki fokus pada “report talk”, mengutamakan status, dan kebebasan, sedangkan perempuan fokus pada “support talk” demi membangun hubungan antarpersonal.
4.        Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa:
5.        Cara berpikir teori ini mirip dengan feminisme yang menolak anggapan masyarakat bahwa perempuan inferior dan laki-laki superior
6.        Bahwa ahli bahasa menulis demi memenuhi pasar “budaya pop” laki-laki, mengapa tidak ada orang secara khas mengajar “bahasa” yang khusus untuk perempuan.
7.        Ada masalah cross cultural communication antara laki-laki dan perempuan, misalnya orang dari wilayah atau latar belakang etnik yang berbeda mempunyai gaya percakapan yang berbeda pula.
8.        Adapula masalah relasi horizontal-vertikal yang menentukan jarak sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Teori ini dipakai penulis dalam upayanya menemukan karakteristik bahasa dalam berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan Lamaholot Masyarakat Balawelin I dalam perayaan Wu’u Nuran dengan memperhatikan tahapan yang terjadi dalam perayaan ini.
b)      Muted Group Theory (Teori Kelompok Bungkam)
Teori ini seturut Richard West dan Lynn H. Turner dalam buku mereka Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi merupakan temuan pertama kali oleh Edwin dan Shirley Ardener yang merupakan  Ahli Antropolog Sosial yang amat tertarik pada struktur dan hierarki sosial yang kemudian mempengaruhi komunikasi yang dibangun seperti yang terlihat pada kelompok dengan kekuasaan rendah (Wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna) harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan(2008:146). Namun dalam perjalanannya Chris Cramare (1981) kemudian berupaya memfokuskan teori ini pada laki-laki dan perempuan saja dengan obyek penelitian pada pria dan wanita Inggris Raya dan Amerika Serikatyang ditemukan bahwa kelompok perempuan sebagai kelompok subordinat berusaha untuk berkomunikasi layaknya seorang laki-laki dalam mendeskripsikan pengalaman yang mereka alami. Untuk mengekspresikan pengalamannya melalui bahasa, dibutuhkan suatu proses yang mana proses tersebut membuat para wanita cenderung lambat dan kesulitan dalam mengartikulasikan pemikirannya ke dalam suatu bahasa yang baik. Inilah yang membuat kelompok perempuan seolah tenggelam dalam kefasihannya komunikasi yang dilakukan laki-laki yang meliputi mengejek, ritual,control dan pelecehan.
Penulis dalam penelitian ini secara gamblang memakai teori ini sebagai landasan penelitian dalam upayanya menemukan gaya komunikasi yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan Masyarakat Balawelin 1 dalam perayaan Wu’u Nuran yang mana secara umum menganut budaya patriarki sebagai budaya turunan dengan asumsi perempuan masyarakat Balawelin juga secara kultural menjadi kelompok bungkam walaupun di satu sisi dalam tahapan menuju perayaan Wu’u Nuran kelompok perempuan memperoleh tempat yang penting dan dihargai sebagai Bulan Kewae Rae’n (Maret) dan Bulan Kebarek Ra’en (April)
c)      Feminist Theory (Teori Feminis)
Teori ini mengevaluasi komunikasi dengan mengidentifikasi pembicara yang adalah perempuan lalu merumuskan kembali model baru demi meningkatkan kualitas perempuan sebagai pembicara dalam kerangka “women’s liberation”. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa gerakan-gerakan perempuan tidak mampu menghadapi “male gendered”, seperti standar retorikanya perempuan terlalu merefleksikan keunikan pengalaman perempuan semata-mata dan dengannya perempuan tidak dilibatkan dalam komunikasi atau menjadi kelompok terbungkam. Perjuangan teori ini adalah menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berkomunikasi.Teori ini membantu kita menyusun framming dan reframming tentang kualitas perempuan sebagai pembicara karena perempuan juga memiliki keunggulannya dalan berkomunikasi. Teori ini secara umum penulis  pakai sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam penelitian ini sebagai bentuk jalan keluar atas ketimpangan sosial dan kultural yang sering dialami kelompok perempuan oleh kelompok laki-laki dalam komunikasi dan bukannya merecoki kemampanan budaya atau menggoyahkan budaya yang menjadi pedoman masyarakat setempat tetapi berusaha mengubah image perempuan sebagai mitra kerja dalam budaya khususnya dalam perayaan Wu’u Nuran.
2 .3      KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggambarkan proses pemikiran penulis dalam upayanya menemukan gaya komunikasi antara laki-laki dan perempuan Lamaholot di Desa Balawelin 1. Perayaan Wu’u Nuran sebagai sebuah produk budaya non materiil yang masih dipertahankan sampai sekarang merupakan hajatan 5 tahunan yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Bapa Kelake Lera Wulan, Ema Kewae Tana Eka  atas perlindungan mereka terhadap kehidupan masyarakat setempat. Dalam proses pelaksanaannya, masyarakat Balawelin secara umum mempunyai perbedaan proses komunikasi yang terdiri atas komunikasi verbal dan komunikasi non verbal dan disesuaikan  dengan nilai, norma, adat istiadat yang dianut. Hal ini pun berlaku juga ketika kita berbicara dalam tataran kelompok laki-laki dan perempuan masyarakat Balawelin sebagai pelaku budaya, yang secara tak langsung  mengakibatkan perbedaan pada gaya komunikasi yang mereka lakukan.






Gambar 1: Kerangka Berpikir
Kelompok laki-laki
Gaya komunikasi
Komunikasi Verbal (Ragam Bahasa)
 



Kelompok perempuan
Perayaan Wu’u Nuran
Proses Komunikasi

                                                                                    VS
 

Komunikasi non verbal (simbol,gesture,lambang,dll)
                                                                                                                 








BAB III
METODE PENELITIAN

3.1       JENIS PENELITIAN
Jenis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif  yang menurut Rachmat dalam bukunya Teknik Praktis Riset Komunikasi bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah  persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data( 2006: 57). Paradigma ini menggunakan pendekatan induktif yakni proses pengambilan kesimpulan yang dimulai hal-hal yang khusus ke hal yang umum.
3.2      METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode etnometodologi,  dimana metode ini secara umum merupakan cara, hasil dari studi tentang bagaimana individu-individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari mereka, cara mereka menyelesaikan pekerjaan di dalam hidup setiap harinya khususnya ketika mereka melaksanakan perayaan Wu’u Nuran sendiri.
3.3       WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN
Waktu penelitian merupakan masa dimana peneliti melakukan penelitiannya. Penelitian ini sendiri sedianya akan dilakukan pada tanggal 26 Agustus – 7 September 2013.  Lokasi penelitian merupakan lokasi geografis dimana peneliti melakukan kegiatan penelitiannya. Lokasi yang menjadi tempat penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah Desa Balawelin 1, Kecamatan Solor Barat, Kab.Flores Timur yang merupakan tempat diadakan perayaan Wu’u Nuran.


3.4       SUBJEK PENELITIAN
Subyek penelitian merupakan kelompok sasaran dalam penelitian yang akan diambil dalam hal ini  peneliti menempatkan kelompok laki-laki dan perempuan Masyarakat Desa Balawelin 1yang terlibat dalam Upacara Adat Wu’u Nuran sebagai subyek penelitiannya yang terdiri atas Bapa Lewo – Ema Tana ( 1 Orang), Semata Pa yang terdiri atas 4 Kepala Suku yakni Suku Keban Koten, Keban Kelen, Niron Hurit, dan Niron Maran, kelompok Laki-laki (5 orang) dan Perempuan (5 orang) yang terlibat aktif dalam rangkaian acara Wu’u Nuran.
3.5       METODE DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Pengambilan data dalam penelitian ini metode sampling, khususnya random sampling dimana peneliti memilih beberapa informan untuk mencari data terkait kegiatan perayaan Wu’u Nuran. Teknik random sampling adalah cara menarik anggota sampel dari populasi  dengan cara tidak memilih-milih individu yang dijadikan anggota sampel atas dasar alasan tertentu atau alasan yang bersifat subjektif seperti suka – tidak suka, mudah –sulit dijangkau dan sebagainya (Anggoro, 2009:4.5).Teknik ini sengaja dipilih oleh penulis agar semua populasi (baca:masyarakat Balawelin) mendapat peluang sehingga sampel yang terdiri berbagai pihak sebagai subjek penelitian sungguh mewakili populasinya secara lebih ilmiah. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.     Penelitian kepustakaan
yaitu dengan menggunakan literatur-literatur yang tersedia di perpustakaan maupun dari media internet yang berkaitan dengan perayaan Wu’u Nuran dan gaya komunikasi laki-laki dan perempuan.
2.     Observasi
Observasi merupakan penelitian secara sistematis dengan menggunakan segenap indera manusia (Suwardi Endraswara, 2006 : 133). Teknik observasi mengkondisikan peneliti hadir di lapangan guna mengamati pelbagai realitas terkhususnya yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Menurut Rachmat teknik jenis ini juga  memungkinkan peneliti mengamati kehidupan individu dalam situasi yang riil, dimana terdapat setting yang riil tanpa dikontrol, atau diatur secara sistematis (Anggoro,2006:110). Dalam penelitian ini, peneliti mengadakan pengamatan terhadap kehidupan masyarakat setempat yang berkaitan erat dengan perayaan Wu’u Nuran sambil mencoba mengamati gaya komunikasi yang sering laki-laki dan perempuan.
3.     Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebagai subyek sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti (Pawito, 2007:132). Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara dengan para informan  yang dianggap tahu tentang budaya masyarakat lamaholot khususnya dalam perayaan Wu’u Nuran. Adapun instrumen yang digunakan dalam wawancara yakni buku catatan, tape recorder, dan camera serta menggunakan bahasa daerah setempat sebagai medianya.
3.6 PROSEDUR DAN TEKNIK ANALISIS DATA
Proses analisis data sebenarnya merupakan usaha untuk mendapatkan kesimpulan tentang suatu masalah yang sedang diteliti berdasarkan berbagai informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti (Suwardi Endraswara, 2006:171).
Teknik analisis data yang dipakai oleh peneliti adalah Analisis domain yang pada hakikatnya adalah upaya peneliti untuk memperoleh gambaran umum tentang data untuk menjawab fokus penelitian. Caranya ialah dengan membaca naskah data secara umum dan menyeluruh dari data yang peneliti kumpulkan dari wawancara, dan pengamatan untuk memperoleh domain atau ranah apa saja yang ada di dalam data tersebut. Pada tahap ini peneliti belum perlu membaca dan memahami data secara rinci dan detail karena targetnya hanya untuk memperoleh domain atau ranah. Hasil analisis ini masih berupa pengetahuan tingkat “permukaan” tentang berbagai ranah konseptual. Dari hasil pembacaan itu diperoleh hal-hal penting dari kata, frase atau bahkan kalimat untuk dibuat catatan pinggir yang berkaitan dengan kegiatan Wu’u Nuran.
Dengan analisis domain, hasil yang diperoleh merupakan kumpulan jenis domain atau kategori konseptual beserta simbol yang dirangkumnya.Teknik analisis ini sangat relevan untuk dipakai dalam studi yang bersifat eksploratif. Artinya, analisis hasil studi hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari sang tokoh, tanpa harus dirinci unsur-unsurnya secara detail.
Dalam situasi sosial terdapat ratusan atau ribuan kategori. Suatu domain adalah merupakan katagori budaya yang terdiri atas tiga elemen: Cover terms (nama suatu domain budaya), included terms (nama suatu kategori atau rincian domain), semantic relationship (hubungan semantik antar kategori).







BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1               Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1)      Keadaan Geografi
Desa Balawelin I secara juridis berdiri pada tahun 1958 yang terbentuk dari kumpulan 19 suku dan lebih dikenal dengan nama Balaweling dalam kesehariannya. Hal ini ditegaskan kembali oleh Bapak Kepala Desa Balawelin I dalam wawancara dengan peneliti:
“Soal penamaan itu karena keseringan orang menyebutnya Balaweling walaupun dari segi sejarah Desa ini dibentuk dari harga belis, Bala: Gading, Welin: Harga[1]

Desa Balawelin I, secara geografis berada di wilayah dataran rendah dan berbukit dengan luas 675 ha yang beriklim tropis dengan 2 musim yakni musim kemarau dan musim hujan dengan mata pencaharian  masyarakat bertani. Adapun batas Desa Balawelin I antara lain:
Timur   : Desa Pamakayo
Barat   : Desa Lemanu
Selatan: Desa Balawelin II.
2)      Identitas Informan
Informan menjadi salah satu aspek penting dalam proses penyelesaian penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dimana mereka dipilih secara acak dengan tidak memperhatikan aspek hubungan kekerabatan tapi lebih dilihat dari aspek profesionalitas dalam pemberian informasi yang disesuaikan dengan kemampuan berpikir dan pengalaman mereka dalam proses perayaan wu’u nuran. Berikut peneliti menyajikan tabel identitas informan berdasarkan umur, pekerjaan dan pendidikan:
Tabel 2: Identifikasi informan berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan
No
Nama Informan
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
1.
Urbanus T. Werang
46 thn
SMA
PNS
2.
Gerardus G. Hayon
49 thn
SMA
Tukang
3.
Yohanes O. Keban
52 thn
SMA
Petani
4.
Sofia L. Keban
58 thn
SD
Petani
5.
Bernadus S. Niron
90 thn
SD
Petani
6.
Steven P. Keban
32 thn
SMP
Petani
7.
Frans H. Niron
85 thn
SD
Wirausaha
8.
Frans Nega Niron
92 thn
SD
Tukang
9.
Petrus K. Sogen
46 thn
SMA
Petani
10.
Yakobus Hayon,S.Fil
42 thn
S1
Karyawan
11.
Gusti Keban
31 thn
SMA
PNS
12.
Maria M. Keban
43 thn
SMA
IRT
13.
Yohana M. Keban
45 thn
SMA
IRT
14.
Maria L. Hayon
50 thn
SD
Petani
15.
Susana P. Niron
90 thn
SR
Petani
Dari table di atas, dapat kita temukan bahwa rataan informan yang dipilih oleh peneliti memiliki pendidikan terakhir adalah SD, walaupun ada beberapa informan yang dipilih menamatkan pendidikan mereka di jenjang SMA dengan pertimbangan pola pikir yang dapat membantu peneliti dalam proses wawancara.Berdasarkan umur, kebanyakan informan yang dipilih oleh peneliti memiliki rataan umur yang berkisar dari 40-90 thn dengan pertimbangan bahwa informan yang dipilih adalah mereka yang sudah berpengalaman dalam proses upacara ini dan memahami eksistensi keberadaan budaya setempat.
3)      Keadaan Sosial-Budaya
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh pihak Desa sejauh ini jumlah penduduk telah mencapai 706 jiwa dengan rincian Laki-laki 368 jiwa dan perempuan 338 jiwa yang tersebar di 3 dusun (Dusun Lamalewo, Dusun Penilering, dan Dusun Botan) dengan 12 RT dan 6 RW. 
Masyarakat Desa Balawelin I mayoritas memeluk agama Katolik, hal ini bisa diamini oleh karena sejarah penyebaran ajaran Katolik pertama kali terjadi di pulau Solor dengan benteng Lohayong sebagai saksinya. Masyarakat Desa Balawelin I  bermata pencaharian Petani dan Nelayan dan memiliki sebuah Rumah adat yang dipimpin oleh Bapa Lewo Ema Tanah dan dibantu oleh 4 Suku besar yakni Keban Koten, Keban Kelen, Niron Maran dan Niron Hurit. Dalam keseharian hidup masyarakat Desa Balawelin I, masih ditemukan budaya saling tolong-menolong atau Gemohin dalam setiap pekerjaan khususnya pristiwa kematian, pembukaan kebun baru, pengerjaan lahan dan pembuatan rumah yang dipadukan Makan Lamak.
Budaya gotong royong atau gemohin masih tetap dijaga oleh masyarakat setempat,dalam pendirian rumah misalnya tidak semata-mata tuan rumah saja tapi juga tetangga. Dan satu lagi, soal Makan Lamak. [2]

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupeten Flores Timur nomor 08 Tahun 2006 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa Kabupaten Flores Timur yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa tahun , Desa Balawelin 1 dipimpin oleh Kepala Desa yang dibantu oleh oleh aparat desa yang terdiri dari Sekretaris, Bendahara KPTU Pemerintahan, KPTU Pemberdayaan dan Pembangunan, KPTU Masyarakat, Kepala Dusun Lamalewo, Kepala Dusun Penilering dan Dusun Botan serta BPD dan PKK.

4)      Keadaan Pembangunan Infrastruktur
Desa Balawelin I memiliki beberapa sarana yang terdiri dari:
Tabel 3 : Tabel Sarana Desa Balawelin

NO
SARANA

Sarana Ibadah
Sarana Pendidikan
Sarana Kesehatan
Sarana Air Bersih
Sarana Olahraga
1.
1 Buah Gereja
1 buah TKK dan 1 buah SD
1 buah Puskesmas dan 3 buah Pokbang
3 buah sumur gali
1 buah lapangan bola kaki dan 1 buah lapangan bola voli

4.2              Penyajian Hasil Penelitian dan Analisis
4.2.1        Hasil Penelitian
1.      Gambaran 7 kebudayaan Universal Masyarakat Balawelin I
a)      Sistem Religi/Keagamaan
Masyarakat Balawelin I secara umum memeluk ajaran Katolik yang bertolak dari sejarah kehadiran Agama Katolik di tanah Solor untuk pertama kalinya. Namun demikian, masyarakat Balawelin juga percaya dan yakin akan beberapa objek kepercayaan tradisional yakni:
(1)   Bapa Kelake Lera Wulan – Ema Kewae Tana Ekan
Yakni percaya kepada Wujud Tertinggi seperti yang terungkap dalam wawancara dengan Bapak Gerardus G. Hayon[3]:
“Soal kepercayaan kami percaya akan kekuatan Bapa Kelake Lera Wulan yang disebut Bapa Allah dan Ema Kewae Tana Ekan yang disebut Mama Bunda atau Ibu Pertiwi”.
(2)   Kewoko Kelite
Yakni percaya akan kehadiran leluhur yang ditandai dengan pemberian makan pada pagi dan malam hari di rumah warga pada sudut-sudut doa. Hal ini sebagai bentuk penghargaan kepada leluhur yang sudah melindungi mereka dalam setiap usaha mereka.
(3)   Percaya terhadap berbagai macam roh yang baik dan yang jahat.
(4)   Mereka pun percaya akan adanya kekuatan gaib atau sakti yang dimiliki oleh orang tertentu baik yang bersifat baik maupun yang jahat seperti Molang (dukun) dan Menaka (suanggi). Selain itu, mereka pun percaya akan tempat tertentu yakni lango gelaran (rumah pemali atau keramat) dan juga barang tertentu yang peneliti bagi berdasarkan Dewan Empat Besar sesuai dengan informasi dari Bapak Yohanes Olamudi Keban dan Sofia Lelo Keban (tertanggal 20 September 2013) serta Bapak Bernadus Suban Niron (tertanggal 22 September 2013)[4]:
·         Keban Koten : Ua Bladak ( Tongkat sakti) dan Bendera Masyarakat Balawelin.
·         Keban Kelen : Wulu Mera ( Bambu Merah), gong dan gendang
·         Niron Hurit : Huri Kada ( sejenis parang adat)
·         Niron Maran : Ua Bladak (Tongkat Kebesaran serupa raja)
b)      Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat desa Balawelin dapatlah dikatakan masih minim oleh karena rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya dengan berbagai alasan salah satu yang menonjol adalah soal ekonomi. Data yang diperoleh peneliti dari wawancara dengan Bapak Urbanus Toran Werang selaku Kepala Desa ditemukan kenyataan bahwa anak-anak yang paling banyak bersekolah adalah SLTP dengan perbandingan 24 orang sedangkan SMA hanya 14 orang. Namun demikian, bukan berarti masyarakat Desa Balawelin I begitu tertutup dengan berbagai perkembangan yang terjadi semisal pola bertani yang diberikan oleh pihak Pemerintah dan LSM, malah mereka begitu antusias dan menerima berbagai macam masukan demi kelangsungan hidup.
c)      Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia
Masyarakat Balawelin I dalam kesehariannya belum mampu menciptakan peralatan mereka sendiri sebagai sarana untuk mempermudah kerja mereka sebagai petani.  Peralatan kerja yang diperoleh saat ini merupakan hasil dari membeli. Hal ini ditandaskan oleh Bapak Steven Pajiopu Keban dalam wawancaranya dengan peneliti:
“Kalau peralatan kerja kebun tidak dihasilkan sendiri, kebanyakan dibeli di Pasar Ena ataupun di Larantuka. Berbeda dengan peralatan nelayan, itu dibuat sendiri dengan bahan yang sederhana misalnya sampan, dayung,  dan keturak (semacam tombak yang dikhususkan untuk menikam ikan)[5].

                                    Namun berbeda ketika kita mengamati perlengkapan yang biasa digunakan masyarakat Balawelin dalam keseharian dimana mereka seperti kebanyakan masyarakat lainnya sudah menyesuaikan diri mereka dengan perkembangan teknologi modern hal ini ditunjukkan dengan gaya berpakaian walaupun ada masyarakat yang setia memakai senai (sarung khusus laki-laki) dan kewatek (sarung khusus perempuan), aksitektur rumah yang modern tanpa menghilangkan kekhasan masyarakat setempat, dan beberapa perlengkapan hidup lainnya.
d)     Sistem  Ekonomi dan Mata Pencaharian
Masyarakat Desa Balawelin I mayoritas bermata pencaharian bertani, sesuai dengan kondisi lahan yang terbilang luas dan cukup subur. Dahulu, sebelum mengenal pola bertani masyarakat Desa Balawelin I sering berpindah-pindah lahan dengan gaya lama yakni tebas bakar. Namun demikian, ada beberapa masyarakat yang kemudian menjadi nelayan guna menghidupi nafkah mereka oleh karena kondisi desa yang cukup dekat dengan laut.
Untuk menghidupi keluarga dan dengan perkembangan yang ada hasil dari bertani dan melaut tidak dicicipi sendiri malah sudah bisa dijual ke pasar ataupun pedagang lainnya. Komoditi yang sering dijual selain ikan segar adalah Jambu Mete, Ata Nona, dan Watermelon (atau bahasa setempat mendike).
e)      Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Desa Balawelin  terbentuk dari 19 suku yang datang dari berbagai arah di masa lalu. Suku-suku yang datang dari gunung merupakan suku-suku asli atau suku-suku Ile Jadi Woka Dewa yang artinya suku kelahiran gunung dan turunan bukit. Suku-suku dari barat yakni Sina Jawa dan Solor Barat. Dan dari timur yakni Tena Mao, Keroko Puken, dan Solor Timur serta dari selatan. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut:


Tabel 4 : Suku-suku di Desa Balawelin
Suku-suku asli
Niron, Baun, Kaha Suban Letoama, dan Mudayen
Suku-suku yang datang dari Barat
Keban, Hayon Lein, Niron Gerin, Muda Tratunawa, Krowin Dan Sogen
Suku-suku yang datang dari Timur
Kein, Hayon Lapan Batan, Hayon Leki Seran Mau Wada atau Hayon Lepe Lagarian, Kaha Kokiboki Wulagita, Moton (sebelumnya bernama Lamarobok), Tanah Werang, Tukan dan Kikon
Suku yang datang dari Selatan
Sina-Sawun
 “Dalam sistem kepemimpinan di Desa Balawelin selain Bapa Lewo-Ema Tana, ada Semata Pa (Dewan Empat Besar) yang terdiri dari suku Keban Koten, Keban Kelen, Niron Hurit, dan Niron Mara yang bertugas membantu Bapa Lewo-Ema Tana, serta Semata Suku Pula – Wun Lema  yakni para kepala suku yang tidak termasuk Semata Pa yang bertugas membantu Semata Pa.[6]

Sedangkan sistem kekerabatan masyarakat desa Balawelin terasa sangat kental mengingat tiap suku-suku yang ada di desa Balawelin merupakan sebuah keluarga besar dan memiliki keterikatan sangat sangat kuat antar suku yang senantiasa dipertahankan melalui perkawinan antar suku di dalam masyarakat Balawelin itu sendiri dan dapat dilihat dari kebiasaan Gemohin dan Makan Lamak.
Segera setelah dikenalnya sistem pemerintahan desa, maka wilayah  menjadi sebuah desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa yang diperbantukan oleh aparat dan perangkat desa. Namun demikian, terdapat batasan yang jelas antara pemerintahan desa dan organisasi kesukuan di desa Desa Balawelin sendiri. Kedua pihak saling menerima, mengakui, menghargai, dan menghormati apa yang menjadi status dan wewenangnya masing-masing. Pemerintahan desa Balawelin senantiasa berurusan dengan pembangunan desa sesuai yang telah dicanangkan oleh pemerintahan pusat. Sedangkan untuk urusan adat desa Balawelin menjadi tugas dan tanggungjawab suku-suku asli desa Balawelin, terutama Bapa Lewo Ema Tana selaku tuan tanah. Walau kedua sistem organisasi ini jelas berbeda, tetapi dalam pelaksanaan peranannya masing-masing kedua pihak saling berkaitan.
f)       Bahasa
Masyarakat Desa Balawelin dalam keseharian hidup mereka menggunakan bahasa daerah setempat (bahasa Lamaholot) dan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, hal ini pun terjadi saat diadakan rapat baik oleh Pemerintah setempat maupun oleh suku-suku yang mendiami desa Balawelin.
g)      Kesenian
Tenun Ikat menjadi produk kesenian yang masih dipertahankan oleh masyarakat Balawelin hingga saat ini yang digunakan dalam upacara adat. Selain itu, ada beberapa kesenian yang dapat kita temukan yakni Tarian Hedung, Tarian Sese’nure, gong, gendang (genda) dan giring-giring (retu’re).

2.      Upacara adat Wu’u Nuran Desa Balawelin I
a.        Tinjaun Sejarah Wu’u Nuran Desa Balawelin I
Wu’u Nuran merupakan satu perayaan syukur atas hasil panen. “Wu’u” berarti baru sedangkan  Nuran” dapat dipersepsikan dengan berbagai makna. Ada yang menghubungkannya dengan “uran” yang berarti hujan, ada pula yang menghubungkannya dengan “nuren” yang berarti mimpi dan adapula yang menghubungkannya dengan “wuran” yang berarti buih. Karena itu secara etimologis wu’u nuran berarti hujan baru, mimpi baru atau buih baru. Namun demikian, perbedaan akan makna itu tak lantas melunturkan makna wu’u nuran yang bagi kebanyakan orang sudah diterima umum bahwa wu’u nuran merupakan perayaan syukur atas hasil panen. Berkaitan dengan sejarah wu’u nuran peneliti mendapat informasi dari Bapak Frans Hayonama Niron:
“Wu’u Nuran itu sebenarnya didasarkan dari mitologi dimana dalam sebuah keluarga ada 7 bersaudara yaang terdiri dari 6  laki-laki dan 1 perempuan. Saat musim menanam, keluarga ini tidak memiliki bibit untuk ditanam. Oleh karena itu, si perempuan kemudian menyuruh saudara-saudaranya untuk membunuh dan potongan tubuhnya ditanam di lahan yang sudah disiapkan dengan kepala diletakkan di tengah kebun (Era Puken), potongan tangan dan kaki diletakkan berdasarkan sudut baik kanan maupun kiri. Saudara-saudara pun menuruti permintaan saudarinya walaupun itu berat. 7 hari berselang lahan yang tadinya kosong kini ditumbuhi banyak tanaman,namun anehnya dulu tanaman itu dengan sendirinya masuk ke rumah tanpa dipetik oleh manusia. Namun dalam perjalanan waktu, ada bagian yang diyakini kebanyakan masyarakat mengalami luka pada kakinya sehingga tanaman itu tidak bisa pergi ke rumah dengan sendirinya dan diganti dengan manusia sebagai aktor untuk memetik hasil tanaman itu.[7] 

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa sebenarnya perayaan wu’u nuran merupakan bentuk penghormatan kepada kaum perempuan yang merelakan dirinya (Korban) untuk menghidupi banyak orang, selain bentuk ucapan syukur atas hasil panen yang diperoleh.

b.      Tahapan-tahapan dalam Upacara Wu’u Nuran
Sebelum sampai pada tahapan-tahapan menuju perayaan Wu’u Nuran, peneliti menjabarkan sedikit perhitungan waktu (bulan-bulan dalam setahun) masyarakat Balawelin yang diberi nama berdasarkan kerja mereka sebagai petani sesuai rujukan makalah Alm. Pater Yosef Suban Hayon dan dilengkapi oleh beberapa sumber lainnya yaitu:
1)      Bulan Agustus dinamakan “Beolan” karena di bulan ini kegiatan kerja kebun dimulai (olah).
2)      Bulan September karena ditandai dengan keguguran daun-daun pohon (kayo) dinamakan “Kayo Karen”.
3)      Bulan Oktober disebut “Kolo Gae Tana” artinya burung mengais tanah.
4)      Bulan Nopember merupakan saat dimulai kegiatan menanam sehingga disebut “Toben Nika” atau “Nuba Baken” (kegiatan menanam).
5)      Bulan Desember merupakan penutupan kegiatan menanam sehingga dinamakan “Toban Nika” (jatuhkan/menghentikan alat yang dipakai untuk menanam).
6)      Bulan Januari disebut “Mepik” yang artinya petik pada bulan ini yakni memetik daun tertentu sebagai alas kaki ketika menyiangi rumput, hal ini dikarenakan pada bulan ini terjadi musim panas sekali[8].
7)      Bulan Februari disebut “Maek” artinya banjir karena pada bulan ini sering terjadi banjir.
8)      Bulan Maret disebut “Kewae Ra’en” karena di bulan ini para kewae (istri) mendapat makan hasil sulung tahunan.
9)      Bulan April disebut “Kebarek Ra’en” merupakan waktu bagi para Kebarek (gadis) untuk makan hasil sulung tahunan.
10)  Bulan Mei disebut “Kelake Ra’en” merupakan waktu bagi para kelake (Bapa/Suami) untuk makan hasil sulung tahunan.
11)  Bulan Juni merupakan saat memetik dan menyiapkan hasil panen sehingga disebut “Sorit” (Simpan).
12)  Bulan Juli merupakan waktu perayaan puncak kegiatan panen dimana segera dibuatkan upacara syukuran atas panen. Karena itu disebut “Berauk” atau “Wu’u Nuran”.
Adapun beberapa tahapan yang perlu dilewati untuk sampai kepada acara puncak perayaaan Wu’u Nuran didasarkan pada hasil wawancara dengan Bapak Frans Nega Niron(wawancara tanggal 18 September 2013) selaku Bapa Lewo-Ema Tana dan informan lainnya untuk penyempurnaan yakni Bapak Frans Hayoama Niron dan Bernadus Suban Niron (wawancara tanggal 18 dan 22 September 2013) diantaranya:
1)      Tahap Persiapan (Tuak Doka)
Pada tahapan ini ada beberapa ritus penting diantaranya:
(a)   Dula Elu Kenube
Ritus ini merupakan ritus untuk menggosok batu asa (elu) dan parang (kenube) dan dilakukan pada bulan Agustus  atau bulan  Beolah di “lango gelaran” (Rumah keramat) dan diawali oleh janji Bapa Lewo – Ema Tana untuk melayani lewotana sehingga “male’eket” lewotana (kekuatan pelindung lewotana) memberikan perlindungannya. Setelah itu, perempuan dari suku Keban Kelen akan memasak “wete” atau jewawut dan disaksikan oleh para fungsionaris adat. Adapun para fungsionaris adat akan terus memperhatikan gerakan air yang mendidih, jika merata maka hujan akan turun cukup untuk semua,tapi jika tidak maka doa yang diucapkan oleh Bapa Lewo – Ema Tana harus diulangi lagi. Dan kalau gerakan air tetap seperti itu maka dibawakan korban pemulihan dosa atau warga disiapkan untuk mencari kerja alternatif selain bertani. Dan wete yang sudah masak nantinya hanya di makan oleh laki-laki disertai dengan rengki yang sudah disiapkan dan dioleskan pada elu dan kenube agar semua orang aman dan berhasil menggunakan peralatan ini serta parang menjadi tajam untuk membuka kebun baru.  
(b)   Peta Eta, Poan Oan
Sebelum tahap ini dimulai, Bapa Lewo-Ema Tana akan menyampaikan kepada Ribu Ratu bahwa proses buka kebun baru akan dimulai. Tahap ini merupakan tahap membabat hutan untuk membuka kebun baru,yang diawali dengan undangan tuan tanah kepada fungsionaris adat agar membuat “guan gahin” atau musyawarah di “koke bale” atau rumah adat untuk menentukan siapa dari Dewan Empat Besar yang mengerjakan “ma nika leun” (kebun yang ditanami pertama) dan “ma nika bedorin” (kebun yang ditanami kedua). Pada umumnya tuan tanah dalam hal ini suku Niron Maran yang menangani ma nika leun dan Keban Kelen menangani ma nika bedorin sedangkan 2 suku lainnya menjadi mitra kerja. Sesudah pembicaraan bersama tadi dibuat “belo bulu” maksudnya memberi tanda pada satu lahan tertentu bahwa lahan itu akan dikerjakan pada musim tanam saat ini dan setelah itu baru dilakukan upacara “Petan Eta Poan Oan” yang biasa dilakukan pada bulan September atau Kayo Karen dengan diawali dari “ma nika leun” disusul “ma nika bedorin” dan diikuti dengan pembukaan kebun lain dalam bentuk Gemohin.
(c)    Tuno Eta atau Seru Eta
Ritus ini merupakan ritus dimana kawasan hutan dibakar dengan gesekan bambu mentah dengan menggunakan sabut kelapa (kenebe au bete marik tapo tange) yang bermakna bahwa untuk memperoleh hasil harus ditunjukkan kesungguhan kerja. Api yang diperoleh itu digunakan untuk membakar “Ma nika leun” dan diikuti dengan “ma nika bedorin” lalu kebun Ratu Ribu. Kegiatan ini dilakukan pada awal bulan Oktober atau bulan kolo gae tana.
(d)   Gelete Owa-Aha Kowo atau Gute Lesak Ape Ipe
Ritus ini merupakan ritus pendinginan kebun yang ditandai oleh darah hewan, dimana setiap kebun menyiapkan seekor hewan dan suku Keban Kelen berjalan keliling untuk melaksanakan upacara “huke tana” atau memberi makan tanah dengan menyuguhkan “witi ate tuak lolon” dan setelah itu barulah Ribu Ratu memakannya. Ritus ini diakhiri dengan penghantaran bara api keluar dari setiap kebun menuju kali (gute lesak api ipe) dan diletakkan dengan hormat pada sebuah lubang. Dengan demikian,tak ada lagi aktifitas untuk menghidupkan api di kebun.
2)      Tahap Menanam
(a)   Maya Hode Besi Pare
Ritus ini merupakan ritus untuk memanggil atau menjemput padi/benih yang akan ditanam dan diadakan pada bulan Nopember atau bulan Nubaken. Ritus ini sendiri diawali dengan menjemput ema oa (gadis representatif bibit padi yang dirias dengan dandanan khusus) yang berada di lango gelara dan menghantar mereka ke tengah kebun / era puken . Di kebun itu mereka akan duduk di atas batu ceper yang sudah diberi beberapa lembar uang sebagai bentuk pembelian atas tanah yang akan dijadikan lahan untuk buka kebun baru sambil Sang ketua adat mengucapkan doa memohon bibit datang. 
(b)   Belo Wuli
Merupakan ritus memotong, membuka, dan meneliti limpa dan empedu hewan korban untuk meramalkan hujan dan hasil panen. Setelah hewan dipotong dilihat empedu dan limpanya,kalau limpanya kuning dan empedunya penuh berisi itu berarti hujan akan mencukupi dan hasil panen bakal menggembirakan.
(c)    Hika Tuba atau Tuba Mula
Sesudah melaksanakan ritus di atas setiap keluarga mengambil benih (hode era lolo) untuk dicampur dengan benih yang ada di rumah. Kemudian, dilakukan hika tuba yang dimulai dari kepala suku Keban Kelen pada ma nika leun sebagai tanda resminya kegiatan menanam. Dalam kegiatan ini laki-laki melobangkan tanah, dan kaum perempuan menanam yang diawali dengan lahan ma nika leun dan diikuti ma nika bedorin dan kebun lainnya. Menjelang makan bersama, ada ritus memberi makan tanah yang bertujuan untuk menjamu arwah nenek moyang dan Yang Ilahi sebgai rasa hormat, dan berharap agar diberikan tanah yang subur, hujan secukupnya dan hasil panen yang berilimpah, setelah itu kegiatan hika tuba dilanjutkan.
3)      Tahap Perayaan Wu’u Nuran
(a)   Pi’i Wu’un Padan Uran
Setelah selesai menanam Ribu Ratu tidak diperkenankan melakukan pesta pora sambil menunggu datangnya hasil baru. Dan dalam masa ini ada sejumlah kelompok tertentu yang melakukan pi’i wu’un (berpantang sampai waktu ditentukan dengan kegiatan adat) yakni: Tua adat, Kepala suku, Para istri tua adat dan kepala suku,dan Ema Oa atau Nona padi.
(b)   Belo Wata
Artinya memberi makan jagung hasil panen sebagai hadiah yang dilakukan oleh ema oa bersama ibu sesuai hasil musyawarah tua-tua adat. Dalam kegiatan ini mereka bisa memberikan hasil kepada siap saja yang mereka jumpai sebagai bentuk semangat kasih persaudaraan, membina rasa solider serta menannam sikap partisipatif dalam kegembiraan sesama sebelum dibawa ke rumah adat Keban Kelen. Kegiatan ini juga disebut Kebarek hiton.
(c)    Rekan Wu’un
Artinya makan hasil baru yang dilakukan pada malam hari oleh kelompok yang berpantang. Namun dalam kegiatan ini masing-masing kelompok berbeda:
(1)   Para ibu melakukannya pada akhir bulan Kewae ra’en
(2)   Para Gadis melakukannya pada pertengahan bulan Kebarek Ra’en
(3)   Dan para Bapak-bapak pada awal bulan Kelake Ra’en.
Dalam ritus ini makanan yang dimakan hanya menggunakan lauk dan bagi para perempuan lauknya dicari oleh kaum laki-laki, hasil wawancara dengan Bapak Frans Hayoama Niron tanggal 19 September 2013.
(d)   Wu’un Nuran
Pada bulan Sorit atau bulan Juni, para petani secara khusus melakukan kegiatan Doken Nolan yang berarti memetik dan menyimpan hasil panen. Pada bulan Berauk atau bulan Juli diadakan perayaan Wu’u Nuran sebagai acara puncak dalam siklus panen yang diadakan di halaman rumah adat Koke Bale dan melibatkan semua masyarakat Balawelin.
4.2.2        Analisis
1.      Identifikasi Gaya Komunikasi kelompok Laki-laki Masyarakat Balawelin I dalam perayaan Wu’u Nuran.
Dalam setiap ritus yang umum terjadi dalam masyarakat Balawelin sebagai representasi budaya lamaholot, khususnya dalam perayaan wu’u nuran laki-laki masih memainkan peranan sebagai pemimpin yang dipersepsikan kebanyakan orang sebagai kepala keluarga. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Gerardus G. Hayon dalam wawancaranya dengan peneliti:
“Laki-laki itu adalah kepala keluarga dan tak heran jika dalam setiap ritual adat laki-laki berperan melakukan pengucapan mantra adat dan juga mengumpulkan orang dalam suku dengan berbagai cara baik dengan delegasi maupun masing-masing ketika ada hajatan besar. Selain itu dalam perayaan wu’u nuran ada istilah Bau Baku (bakul berisi rengki) yang mana dihitung berdasarkan keturunan laki-laki dalam suku jika ada yang dilupakan maka konsekuensinya bisa meninggal”[9].

Selain  sebagai pemimpin, laki-laki juga memiliki posisi tinggi oleh karena budaya patriarki yang kebanyakan dianut oleh budaya kita yang lebih mementingkan kehidupan kaum kelake dimana semua urusan perempuan akan dipikirkan kemudian setelah laki-laki dan berdasarkan rujukan pada Alkitab yang mana perempuan dilahirkan dari rusuk laki-laki, yang dipersepsikan oleh masyarakat setempat bahwa perempuan itu pantas dilindungi oleh karena laki-laki memiliki kekuasaan sesuai dengan pengakuan Bapak Petrus Kayo Sogen dalam wawancaranya dengan peneliti:
beleki pe pega kuasa dore ajaran Alkitab, mari meri berwai pe morita dari rusuk beleki nae selain budaya patriarki yang tite anut
(laki-laki itu punya kekuasaan sesuai dengan ayat Alkitab yang menyebutkan bahwa perempuan hidup dari rusuk laki-laki, selain budaya patriarki yang kita anut)[10].

Namun demikian, bukan berarti laki-laki dalam tahapan ini bukan meluluh soal kekuasaan tapi dapat berdiri sebagai pelayan yang dapat di amati pada salah satu tahapan yakni bulan Kebarek Ra’en dan Kewae Ra’en yang mana laki-laki harus mencari lauk dan diberikan kepada Ema Oa yang direpresentasikan sebagai ibu pemilik tanah yang harus dihormati dan dihidupi oleh kaum laki-laki. Hal ini pun senada dengan pengakuan Bapak Yakobus Hayon, S.Fil yang mengangap kaum perempuan dalam perayaan ini adalah kaum penentu yang amat menentukan keberhasilan perayaan ini dan bukan objek penderita dan sepantasnya kaum laki-laki harus menghormati mereka serupa Ibu Pertiwi (hasil wawancara tertanggal 22 September 2013) dan tak ada kecemburuan yang timbul dari kaum laki-laki kepada kaum perempuan jikapun dalam tahapan itu perempuan mendapat porsi lebih yakni 2 bulan yakni bulan Kewae Ra’en dan Kebarek Ra’en. Bagi mereka hal itu adalah wajar karena kaum perempuan adalah cikal bakal benih dan pantas dihormati.
Dengan demikian pandangan di atas dengan sendirinya akan mempengaruhi gaya komunikasi ketika kita menelaah lebih jauh pada upacara wu’u nuran dengan tahapan-tahapan yang mengikutinya sesuai dengan teori rujukan peneliti yakni Genderlect Theory dan Muted Group Theory dimana dalam setiap tahapan itu laki-laki masih menjadi pemimpin adat yang dipercayakan untuk memberikan mantra/ koda kirin dalam hal ini komunikasi verbal saat membuka kebun baru baik di ma nika leun maupun ma nika bedorin yang didahului dengan potong kayu seperti terlihat dalam paparan bahasa adat berikut:“ Peta eta pua o’a belo bulu”.
Bahasa verbal dalam perayaan ini akan terlihat lagi dalam tahapan-tahapan berikutnya yang sebagian besar diambil alih oleh Bapa Lewo - Ema Tana selaku Tuan Tana yang kebanyakan memakai mantra yang dipakai pada saat tertentu dan tidak sembarang orang dan dibantu oleh Semata Pa namun hanya berlaku di rumah adat masing-masing suku.
Gaya komunikasi ini pun dapat digunakan Ribu Ratu kelompok laki-laki untuk berkomunikasi dengan kelompoknya sendiri maupun kelompok perempuan namun hal itu hanya berlaku di tempat – tempat tertentu dan kesempatan tertentu yang didominasi oleh bahasa daerah setempat.
Selain menggunakan bahasa verbal, gaya komunikasi kaum laki-laki masyarakat Balawelin pun menggunakan bahasa non verbal atau menggunakan lambang, tanda, gesture dan lain sebagainya dalam komunikasi mereka. Malah kebanyakan gaya komunikasi jenis ini yang dominan dalam perayaaan wu’u nuran seperti yang ditegaskan oleh Bapak Frans Hayoama Niron dalam wawancaranya dengan peneliti:
“Dalam perayaan ini, komunikasi non verbal amat dominan seperti memanggil kelompok tertentu dengan gerakan tangan, atau mengucapkan mantra dengan tangan terbuka serupa doa, dan lain sebagainya” [11]

Hal ini kemudian ditegaskan kembali oleh Bapak Gusti Keban yang mencontohkan peranan suku Keban Koten dalam pemotongan hewan kurban saat perayaan Wu’u Nuran yakni memegang kepala tanpa harus diperintah semuanya murni karena peran dan tugas yang harus dijalankan walaupun tanpa mengeluarkan kata-kata (hasil wawancara tertanggal 20 September 2013). Selain berbicara soal gaya yang dipakai oleh laki-laki peneliti mencoba mendalami seberapa tertariknya kaum laki-laki untuk berkomunikasi dengan perempuan namun yang terjadi bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti kebanyakan kaum laki-laki hanya tertarik untuk berkomunikasi dengan kaumnya sendiri lantaran kaum perempuan dianggap tidak paham akan budaya adat khususnya wu’u nuran seperti yang diutarakan oleh Bapak Gerardus G. Hayon:
Mereka tak paham adat ini, maka daripada itu kami lebih banyak berbicara dengan kaum laki-laki karena memiliki kesamaan peran dan status yang mana dapat menghantar kami pada diskusi soal wu’u nuran di masa mendatang.”[12]

Dan jika pun ada yang tertarik berkomunikasi dengan perempuan itu hanya pada kaum Semata Pa yang mana istri mereka dalam setiap perayaan wu’u nuran harus senantiasa mendampingi mereka. Hal ini diamini sendiri oleh Bapak Yohanes Olamudi Keban tanggal 20 September 2013:
“ saya lebih memilih nyaman berkomunikasi dengan kaum perempuan khususnya istri saya”[13].

Dari paparan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa gaya komunikasi laki-laki dalam perayaan wu’u nuran baik verbal maupun non verbal amat dipengaruhi oleh status sosial dan jarak sosial yang ada yang kemudian berakibat pada kurangnya interaksi mereka, walaupun di satu sisi laki-laki masih membutuhkan kaum perempuan sebagai pelengkap yang menentukan. Kaum laki-laki betul-betul menguasai bahasa verbal dan tak sedikit bahasa non verbal yang mereka kuasai sebagai pelengkap bahasa verbal, yang menjadikan mereka lebih berkuasa dan bersikap enggan bergaul serta berkomunikasi dengan kaum perempuan oleh karena status mereka sebagai kepala keluarga dan di pertegas oleh budaya anutan kita yang partilineal. Jarak sosial yang vertikal (baca: atas ke bawah ataupun sebaliknya) menjadi penegas lain bahwa dalam perayaan ini laki-laki masih memiliki kuasa atas komunikasi perempuan.


2.      Identifikasi Gaya Komunikasi kelompok Perempuan Masyarakat Balawelin I dalam perayaan Wu’u Nuran
Sebelum menganalisa gaya komunikasi yang digunakan perempuan dalam perayaan wu’u nuran alangkah lebih baik kita mengetahui dulu peran yang dilakukan oleh perempuan dalan perayaan ini. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa perempuan adalah pelengkap yang menetukan dalam perayaan ini merupakan sebuah kenyataan yang diamini oleh kaum perempuan daerah setempat. Hal ini dikarenakan budaya wu’u nuran pada tahapan Bau Baku laki-lakilah yang dihitung dan bukan perempuan, seperti yang diutarakan oleh Mama Maria Maku Keban kepada peneliti:
“Pada tahapan bau baku misalnya, kami kaum perempuan dalam suku tidak dihitung hanya laki-laki saja. Dan mereka (baca: laki-laki) begitu diutamakan terkhususnya dalam adat”[14]

Selain pada itu, tugas lain yang kemudian menegaskan perempuan menjadi manusia kedua dapat terlihat dalam perayaan puncak dimana kebanyakan perempuan hanya bertugas di dapur untuk melayani tamu baik dalam maupun dari luar daerah. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diberikan oleh Mama Yohana Mako Keban tertanggal 24 September 2013:
“ Kame berwai kerya di dapur macam ne hunu ape pe pas perayaan wu’u nuran (Kami kaum perempuan kebanyakan bertugas di dapur pada perayaan itu)”[15].

Namun tidak berarti peranan demikian menyudutkan kaum perempuan begitu saja sebab ada beberapa kaum perempuan yang diperlakukan secara khusus seperti istri Semata pa, Ema Oa, Nogo Oe, dan Sason Nuren sesuai dengan pengakuan Mama Maria Loun Hayon yang merupakan istri salah satu Semata yakni Niron Hurit dimana mereka bertugas memasak rengki dan kemudian mempersilahkan para tamu (Ribu Ratu) baik yang berasal dari daerah ini namun pergi keluar maupun  yang tinggal di dalam kampung ini dan senantiasa mendampingi suami kemana saja suami mereka pergi
“ Saat perayaan ini kami lebih dekat dengan suami, kemana saja mereka pergi kami selalu mendampingi. Pernah kami berdua bersama pergi menjemput ema oa di masing-masing rumah adat untuk pergi tidur Riang muda sebelum berangkat ke kampung lama. Selain itu kami punya tugas masak rengki dan ikut bernyanyi bersama kaum perempuan terpilih seperti Sason Nuren dan Nogo Oe”[16].

Hal demikian diamini sendiri oleh Mama Susana Piana Niron yang pernah berperan sebagai Ema Oa dimana mereka begitu diperlakukan khusus dijemput dan diantar oleh Semata Pa seperti terlihat pada tahapan Maya Hode Besi Pare, kemudian mereka menjadi orang pertama yang memetik hasil panen dan memberikan kepada masyarakat lain yang lewat (kebarek hiton) serta menjadi orang pertama yang memakan hasil panen pada bulan Maret (Kewae Ra’en) dan bulan April (Kebarek Ra’en):
“ kami dijemput oleh semata kemudian ditempatkan di era puken dan pakaian kami (kebaya dan selendang) ditempatkan keleka sambil menunggu mereka menanam sampai selesai. Dapat dibayangkan betapa capenya kami yang hanya duduk bersilah sambil memangku keleka. Selain itu kami menjadi orang pertama yang memetik hasil panen dan menjadi orang pertama yang memakan hasil panen sebelum laki-laki”[17].

Dengan demikian peran yang telah dijabarkan tadi akan mempengaruhi gaya komunikasi dan cara pandang kaum perempuan akan status laki-laki yang dalam budaya ditempatkan sebagai kaum yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Secara umum, gaya komunikasi verbal menjadi yang dominan yang dilakukan oleh kaum perempuan, dengan menggunakan bahasa daerah setempat dalam perayaan wu’u nuran baik dilakukan di dapur maupun di tempat umum seperti yang paparkan oleh Mama Yohana Mako Keban dalam wawancaranya dengan peneliti (tertanggal 24 September 2013) oleh karena ketakutan akan kesalahpahaman akan makna kata non verbal, walaupun tak disangsikan bahwa ada bahasa non verbal yang digunakan seperti lambaian tangan yang bermakna memanggil orang yang lazim dimengerti oleh kebanyakan orang. Hal ini ditegaskan kembali oleh Mama Maria Loun Hayon dan Mama Susana Piana Niron:
“ Kebanyakan kami menggunakan kata-kata, dalam bahasa daerah sehingga mudah dipahami dan dijalankan oleh mereka yang mendengarkan”[18].


“ Kami sebagai ema oa juga dipercayakan oleh Bapa Lewo – Ema Tana dan Semata Pa untuk membawakan wede (sejenis syair adat yang dinyayikan) dan itu bukan laki-laki seperti ‘Duli taliha lama mayan pali mayan lama tali, Duli wato ola keda pali igo kuru sani, Duli muda lama tulu pali bao lama banga, Duli laka lama mayan lama mayan lama tali, Duli rita lolo eba pali bao lolo oa dst’”[19].

Kaum perempuan masyarakat desa Balawelin, walaupun merasa diri mereka tidak berarti dimata budaya oleh karena laki-laki namun tidak berarti mereka hanya membatasi diri mereka untuk berkomunikasi dengan kaumnya saja akibat kesamaan status dan peran yang dimiliki namun kebanyakan dari mereka sepakat dan tak ragu untuk berkomunikasi dengan laki-laki baik dengan menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal karena mereka adalah rekan kerja, walaupun terkadang mereka punya ketakutan tersendiri apabila komunikasi yang dibangun itu tidak direspons secara baik oleh laki-laki atau malah ditolak oleh karena budaya anutan dan pandangan bahwa perempuan itu minim pengetahuan dan hanya laki-laki bijak yang bisa memahami perempuan.
“ Saya lebih sering berbicara dengan laki-laki tentang adat supaya bisa belajar, walaupun saya punya ketakutan untuk ditolak. Berbeda ketika saya harus berbicara dengan kaum perempuan sebab disana saya akan menemukan gosip dan pembicaraan yang sia-sia”[20]. 

Hal ini pun sendiri disepakati oleh Mama Sofia Lelo Keban dengan sedikit perbedaan dimana ia memilah ketakutan dalam berkomunikasi itu ada hanya untuk Kelake Bele atau para pengurus adat karena begitu dihormati selebihnya bagi kaum laki-laki lain adalah biasa-biasa saja (hasil wawancara tertanggal 20 September 2013).
Dari 2 paparan di atas dapatlah kita katakan bahwa status dan peran antara laki-laki dan perempuan akan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kelompok lain yang secara tidak langsung akan berakibat pada gaya komunikasi yang dilakukan dalam perayaan ini. Berikut penulis mencoba menjabarkan perbedaan gaya komunikasi yang didasarkan pada cara pandang dan status serta peran antara laki-laki dalam perayaan wu’u nuran:
1)      Laki-laki umumnya mengusai bahasa perempuan akibat status mereka sebagai pemimpin dalam keluarga (baca:kepala keluarga), perempuan pun larut dalam ketidakberdayaan walupun ada usaha untuk belajar memahami bahasa laki-laki dan menirunya.
2)      Perempuan juga dapat mengusai bahasa adat (koda kirin) sama baiknya dengan laki-laki walaupun itu dinyanyikan yang setidaknya dapat melunturkan anggapan bahwa perempuan tak tahu apa-apa soal adat.
3)      Perempuan masih terpaku pada pembicaraan yang kurang penting diluar adat berbanding terbalik dengan laki-laki yang begitu peduli tentang adat ini.
4)      Kebanyakan dari laki-laki dan perempuan menggunakan bahasa verbal khususnya bahasa daerah (lamaholot) sebagai alat komunikasi dalam perayaan wu’u nuran dan sedikit menggunakan bahasa non verbal. Ketika laki-laki masyarakat desa Balawelin berhadapan dengan perempuan, mereka cenderung menggunakan bahasa yang penuh kelucuan yang menimbulkan gelak tawa sedangkan perempuan menanggapinya dengan beragam dalam artian bagi perempuan yang bijak dia akan menanggapinya secara biasa namun jika hal itu  
5)      dihadapkan pada perempuan yang terpolarisasi secara adat ia tidak akan menanggapinya dan malah beranjak pergi.
6)      Laki-laki masyarakat Balawelin cenderung berkomunikasi dengan laki-laki, namun berbeda dengan perempuan yang lebih senang melakukan komunikasi dengan laki-laki sama serupa perempuan.

Tabel 5: Identifikasi Gaya komunikasi laki-laki dan perempuan masyarakat Balawelin dalam perayaan Wu’u Nuran

Kelompok Laki-laki
Kelompok Perempuan
Persamaan
  1. perempuan sama baiknya menggunakan bahasa adat  (koda kirin) seperti laki-laki yang diperankan oleh ema oa, nogo oe dan sason nuren.
  2. laki-laki dan perempuan masyarakat Balawelin sama menggunakan bahasa verbal (bahasa daerah) sebagai alat komunikasi ketimbang bahasa non verbal
Perbedaan
1.      laki-laki masih menguasai bahasa perempuan oleh karena budaya patrilineal yang dianut.
2.      Laki-laki lebih cenderung membicarakan hal-hal yang bermanfaat dan penting misalnya keberlangsungan budaya ini.
3.      Laki-laki lebih senang berkomunikasi dengan kelompoknya ketimbang dengan perempuan dan perempuan bagi mereka dilibatkan dalam pembicaraan yang menimbulkan gelak tawa.

1.      Perempuan lebih cenderung membicarakan hal-hal yang bermanfaat namun tidak penting seperti gosip dll.
2.      Perempuan suka berkomunikasi dengan laki-laki sama seperti berkomunikasi dengan kelompoknya sendiri.





 
BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
                        Kita tak bisa menyangkal bahwa pengaruh budaya begitu kental dalam keseharian kita, walaupun budaya kita melewati berbagai macam perubahan hingga saat ini. Kita tetap bersikeras mempertahankannya hingga orang pun menyatakan bahwa budaya itu tak akan lekang oleh waktu. Hal demikian pun berlaku pada budaya orang Balawelin terkhususnya pada perayaan wu’u nuran yang hingga saat ini dipertahankan oleh masyarakat setempat sebagai bentuk penghargaan kepada perempuan yang direpresentasi sebagai benih yang melahirkan segala sesuatu. Hal demikian pun diperkuat dengan beragam tahapan yang menunjukkan perempuanlah yang memainkan peranan yang lebih dominan ketimbang laki-laki. Namun demikian, kita tak bisa mengelak bahwa laki-laki masih punya kekuasaan dalam setiap urusan adat, termasuk dalam perayaan wu’u nuran oleh karena status dan peran yang mereka mainkan yang kemudian menimbulkan perbedaan pada gaya komunikasi kelompok laki-laki dan perempuan dalam perayaan ini.
                        Laki-laki dengan kedudukan mereka sebagai pemimpin masih mengontrol bahasa perempuan, dan cenderung suka berkomunikasi dengan kelompoknya (ingroup) dengan membicarakan hal-hal yang bersifat penting. Berbeda halnya dengan perempuan yang dalam perayaan ini menjadi figur yang sangat dihormati, tak bisa keluar dari cengkraman budaya patrilineal yang menjadikan mereka kelompok kedua walaupun mereka (ema oa,nogo oe dan sason nuren) dapat menguasai bahasa adat (koda kirin) sebaik laki-laki. Mereka lebih cenderung membicarkan hal-hal yang kurang penting seperti gosip dan lain sebagainya yang bagi kelompok laki-laki sebagai sesuatu yang kurang tepat. Namun demikian kelompok perempuan masyarakat Balawelin sangat antusias untuk berkomunikasi dengan laki-laki karena bagi mereka kelompok laki-laki adalah mitra mereka dalam menyukseskan kegiatan ini dan belajar cara pikir laki demi kemajuan mereka sendiri.
4.2 Saran
                        Penelitian ini pun diangkat sebagai bentuk kepedulian penulis akan budaya khususnya di tanah Solor yang perlahan dilupakan dan mengharapkan hasil penelitian ini menjadi dokumen bagi masyarakat Balawelin untuk terus menjaga budaya ini dan memaksimalkan peran perempuan dan mampu memberdayakan perempuan sebagai mana mestinya bukan sebagai pelengkap penderita tapi menjadi mitra kerja mereka seperti cara pandang perempuan lainnya.
Oleh karena itu, sebagai upaya pelestarian budaya lokal maka perlunya perhatian dari pemerintah untuk kembali mengupayakan pelbagai bentuk upaya pelestarian, di antaranya : melalui penelitian, pertunjukan dan lomba budaya sehingga kembali menstimuli kesadaran masyarakat untuk mencintai dan mempertahankan kebudayaannya.













[1]  Hasil wawancara penulis dengan Kepala Desa Balawelin I, Urbanus Toran Werang (46 Tahun) di Balai Desa, tertanggal 17 September 2013.
[2]  Hasil wawancara dengan Bapak Urbanus Toran Werang
[3]  Informan adalah salah satu tokoh masyarakat Desa Balawelin yang diwawancarai oleh peneliti pada tanggal 22 September 2013.
[4] Para infoman adalah para fungsionaris adat desa Balawelin dimana Bapak Yohanes Olamudi Keban adalah Kepala Suku Keban-Koten, Mama Sofia Lelo Keban adalah Penjaga rumah adat Keban-Kelen dan Bapak Bernadus Suban Niron yang merupakan Kepala Suku Niron-Maran.
[5]  Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Steven Pajiopu Keban yang berprofesi sebagai seorang petani dan nelayan tertanggal 18 September 2013.
[6]  Hasil  wawancara peneliti dengan Bapak Frans Hayonama Niron yang merupakan tokoh masyarakat setempat, tanggal 18 September 2013.
[7]  Hasil wawancara peneliti dengan informan tertanggal 19 September 2013 di tempat kediamaan beliau.
[8]  Hasil wawancara dengan Bapak Frans Nega Niron selaku Bapa Lewo Ema Tana atau Tuan Tanah, tertanggal 19 September 2013
[9] Hasil wawancara peneliti tertanggal 22 September 2013 bertempat di kediamaan Bapak Gerardus G.Hayon.
[10]   Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Petrus Kayo Sogen yang merupakan anggota masyarakat   Desa Balawelin tertanggal 22 September 2013.
[11] Hasil wawancara dengan Bapak Frans Hayoama Niron tertanggal 18 September 2013.
[12] Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Gerardus G. Hayon tertanggal 22 September 2013.
[13] Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Yohanes Olamudi Keban yang merupakan kepala suku Keban-Koten  tertanggal 20 September 2013 di kediamaan Beliau.
[14] Hasil wawancara dengan Mama Maria Maku Keban yang merupakan salah satu anggota masyarakat Balawelin tertanggal  24 September 2013.
[15] Hasil wawancara peneliti dengan Mama Yohana Mako Keban yang kesehariannya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga yang sering menjadi  bagian dari Sason Nuren.
[16] Hasil wawancara dengan Mama Maria Loun Hayon yang juga merupakan bagian dari Nogo Oe tertanggal 24 September 2013.
[17] Hasil wawancara peneliti dengan Mama Susana Piana Niron, salah satu Tokoh Ema Oa tertanggal 24 September 2013.
[18] Hasil wawancara dengan mama Maria Loun Hayon tertanggal 24 September 2013.

[19] Hasil wawancara dengan mama Susana Piana Niron, tertanggal 24 September 2013.
[20] Hasil wawancara dengan Mama Maria Maku Keban tertanggal 24 September 2013.

1 comment:

  1. Keren! Sangat membantu untuk tugas kuliah. Thanks kak. GBU

    ReplyDelete

Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...