BUDAYA
VANDALISME, BUDAYA TREND YANG MEWABAH
*Frengky
Keban
(Pemerhati
Sosial dan Budaya)
Budaya vandalisme kini begitu
akrab dengan kaum muda mulai dengan anak sekolah hingga anak yang putus
sekolah. Budaya ini begitu trend di zaman ini, zaman yang kata Iwan Fals
merupakan zaman edan, betapa tidak kaum muda yang katanya memiliki pendidikan
tidak lagi paham akan eksistensi dirinya sebagai agent of change dan agent of
devolopment Negara tetapi menjadi bagian dari perusak tatanan kehidupan sosial
yang ada. Vandalisme sendiri secara morfologis dibangun dari dua kata Vandal
dan –isme, dimana vandal adalah perbuatan merusak hasil karya seni dan barang
berharga lainnya dan jika di tambah dengan akhiran –isme maka jelas terlihat
bahwa vandalisme merupakan paham yang merusak hasil karya seni dan barang
berharga lainnya.
Vandalisme pun kini
mulai mewabah menjadi sebuah budaya baru yang katanya pantas untuk ditiru oleh
kawula muda bukan diluar Negeri saja tetapi di Negeri kita sendiri, bukan di
Kota saja tetapi juga kampung-kampung hingga Kota Larantuka, ibukota Kabupaten
Flores Timur yang dikenal dengan Kota Renha pun tersulut dengan aksi serupa.
Beberapa Sarana fasilitas umum Kabupaten seperti pasar, halte, tempat
beribadatan, terminal contohnya, kini penuh dengan coretan anak-anak “Ema Bunda”, mulai dengan tulisan
grafiti hingga tulisan ala kadarnya yang intinya menyimbolkan pribadi tertentu.
Aksi yang demikian pun disemarakkan dengan aksi foto-foto setelahnya, alih-alih
diunggah di media sosial sebagai bukti bahwa dirinya adalah anak gaul. Budaya
ini pun seolah terorganisir secara baik, dituturkan ataupun diwariskan oleh
mereka (kakak) kepada adiknya yang sedang berjuang menemukan jati diri diantara
himpitan dunia yang semakin edan tentunya.
Keluarga sebagai
pewaris nilai budaya pertama dan terutama pun mulai dipertanyakan perannya,
begitu juga sekolah tempat anak menuntut ilmu, apalagi pihak Pemerintah dan
pihak keamanan. Dan tulisan ini muncul bukan untuk dijadikan bahan rujukan
untuk kemudian membuat mereka yang disebutkan diatas menjadi salah, namun
menjadi sebuah tulisan reflektif humanis kita untuk dapat memberikan kotrol
sosial buat mereka (para pelajar, maupun non pelajar) agar tidak terjebak ke
dalam ruang yang serba edan tersebut.
Ada apa dengan Kaum
Muda Kita?
Pertanyaan ini adalah
awal bagi kita untuk untuk dapat melihat seperti apa dan bagaimana kaum muda
kita dewasa ini hingga terjebak pada krisis identitas. Kaum muda seturut Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang belum cukup umur. Namun
demikian pengertian ini pun menjadi sedikit rancu ketika tidak ada batasan umur
untuk membedakan kaum muda dengan kaum lainnya maka penulis pun kemudian secara
gamblang menentukan batasan sendiri yang lazim digunakan oleh kebanyakan orang
untuk menyebut kaum muda yakni dari umur 18-23 tahun. Kisaran umur yang
demikianlah yang kadang membuat kita kerap menyebut kaum muda sebagai kaum
transisi yang bergerak dari periode pertumbuhan pubertas dan kematangan atau
dengan kata lain seturut Erik H. Erikson sedang mencari identitas diri mereka.
Masa ini juga menuntut kaum muda untuk terjun bebas dalam riak kenakalan remaja
yang lahir dari “Strum (dorongan) und
Drag (keinginan)” mengejar, membuat dan menciptakan dunia mereka sendiri
tanpa berpatokkan pada nilai, norma, adat istiadat, budaya yang berlaku di
masyarakat.
Boleh jadi, usia yang
terlampau muda atau belum cukup umur alias belum dewasa yang dikemukakan
terdahulu menyeret mereka untuk cepat meniru budaya trend dibelahan dunia lain,
seperti vandalisme ini, apalagi kita sebagai orang timur amat kental dengan
budaya meniru alias imitasi. Celana umpan, foto selfie adalah cerita lain yang
dapat penulis masukan untuk memperkuat argumen penulis kalau budaya imitasi
juga kental melekat di bumi Lamaholot tercinta ini. Ataukah mungkin, peran
senior dan junior memang sudah terbentuk sejak anak kita, adik kita duduk di
bangku sekolah dasar namun belum sepenuhnya disadari dan baru dirasakan ketika
mereka benar-benar menjadi seorang Mahasiwa/i? Karena geliat vandalisme yang
kerap terjadi di tanahku, tanah mereka, dan tanah kita ini pun dapat terjadi
karena efek tersebut. Tidak percaya, tengoklah bagaimana kelompok/ grup geng di
sekolah bersaing dengan grup/kelompok lainnya ketika merekrut anggota baru. Anggota baru sedianya harus diseleksi terlebih
dahulu dengan percobaan atau semacamnya yang intinya mengukur mental si anak
baru sebelum masuk dalam in grup tersebut. Salah satunya dengan menorehkan
namanya di tembok fasilitas umum biar dikenal seperti para pendahulunya. Sudah
begitu, apa yang mau dikata, kaum muda kita yang tadinya polos berubah jadi
buas, dan beringas walaupun di keluarga dicap sebagai anak alim.
Kaum Muda: Bagaimana Seharusnya?
Pertanyaan ini harusnya
dapat dijawab dengan berbagai versi jawaban dan penulis pun menelurkan sedikit
dari sekian banyak jawaban sekedar memberikan pencerahan kalau-kalau pembaca
mulai lupa, atau engggan mengingat kaum muda masih tanggung jawab kita karena
seyogianya kita pernah berada pada posisi mereka walaupun cerita kita berbeda
dengan mereka.
Pendidikan tentunya
harus menjadi yang pertama dan terutama, menjadi modal mencapai kesuksesan di hari mendatang. Hal
ini tentunya, patut disadari dan disyukuri oleh kaum muda Flotim, bahwa jarang
dan bahkan sedikit sekali orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya saat
ekonomi mereka pas-pasan, sehingga wajib untuk dipergunakan kesempatan ini
sebaik mungkin dengan memberikan yang terbaik kepada mereka yang telah
memberikan kita kepercayaan itu, karena kata orang kepercayaan itu mahal. Tidak
butuh menjadi orang pintar, cerdas, atau apapun itu, cukup memperoleh nilai
yang baik, bagus dan ilmu yang mumpuni kita dapat dikatakan sukses apalagi
dibarengi dengan etika, tata krama yang baik, percaya atau tidak kita telah
selangkah lebih maju dibanding orang lain. Daripada coret-coret di tembok,
lebih baik coretlah pendidikanmu dengan tinta keberhasilan.
Kaum muda juga, harus
mulai berani untuk katakan tidak bagi setiap perilaku yang menyimpang seperti
vandalisme ini ataupun perilaku lain sebelum dijebak ataupun terjebak, karena
semua harus dimulai dari diri sendiri. Jika tidak, apalah artinya jika suara
hati yang menemani dan tertanam dalam pribadi kita tidak kita gunakan untuk
menepis setiap gelombang hasutan dan ajakan untuk berbuat sesat.
Selain itu, penuhi
harimu dengan kegiatan-kegiatan ekstrakuler yang dapat memberi efek positif
dalam pengembangan karakter diri mulai dari kognitif, konasi dan afektif
seperti pramuka, osis, komunitas budaya, pencinta ala dan lain sebagainya.
Kegiatan-kegiatan tersebut, walaupun hanya sesaat namun memberikan nilai tambah
bagi kaum muda Flotim di dunia kerja dengan menghasilkan figur-figur anak-anak
Flotim yang berkarater kuat, mapan dan mandiri baik di dalam Flotim maupun di
luar Flotim.
Hal-hal tersebut
diatas, bukanlah satu-satu jalan keluar, dan bukan juga panasea mengobati luka
terhadap harapan kita kepada Kaum Muda Flotim, ia hanya sebagaian dari banyak
jalan keluar yang bisa diambil untuk menyelamatkan generasi saat ini yang
terjebang di dalam budaya vandalisme yang kian mewabah bak virus yang amat
susah disembuhkan. Sekali lagi, penulis bukan mau menggurui ataupun membawa
fenomena ini sebagai penghakiman atas diri kaum muda tapi ini hanyalah sebuah
tugas sebagai salah satu kaum muda Flotim yang tidak menginginkan teman,
saudara, adik-adiknya terlampau melangkah hingga lupa kalau mereka juga bagian
dari diriku untuk menyempurnakan puzzle menuju Flotim yang damai, aman dan
tertib. Jangan biarkan diri kita sakit, kalau bisa diobati, kalaupun sulit,
janganlah berlari terlalu kencang karena di depan anda banyak duri yang hanya
bisa dilewati saat kita bersama. Kita satu untuk Flotim.
*Biodata Penulis :
Tinggal : Larantuka
Alamat Email : engkykeban@gmail.com
Blog : arjunkeban@blogspot.com
No Hp : 082359259635
No comments:
Post a Comment