(Refleksi Atas Festival
Seni Budaya Flotim)
*Frengky
Keban
(Koordinator
Komunitas Wisata Menulis-Flotim)
“Tanpa
Manusia, budaya tidak ada, namun lebih penting dari itu, tanpa budaya, manusia
tidak akan ada”
Demikian kata Cliford
Geetz, Antropolog asal Amerika Serikat mengenai eksistensi budaya dan manusia.
Sederhana, dan penuh makna. Iya manusia dan budaya tidak bisa dilepaskan satu
dengan yang lainnya, walaupun bisa dibedakan bak mata uang yang memiliki dua
sisi saling bersinggungan namun masih mampu untuk melengkapi. Dengan kata lain,
budaya selalu mengiringi langkah hidup manusia, dan mampu menunjukkan
eksistensi manusia itu sendiri. Betapa tidak, sejak manusia mengecap indahnya
dunia diawal hidupnya, hingga ia kembali menutup mata mempertanggungjawabkan
kinerja hidup kepada Sang Khalik, ia (manusia) sudah akrab dengan produk budaya
seperti; tutur bahasa, nilai, norma, adat istiadat dll yang berimbas pada perbedaan kepribadian yang
dimilikinya tersebut.
Budaya sendiri secara
etimologis, berasal dari bahasa sanskerta yakni Buddhi yang diartikan sebagai
budi atau akal dan daya yang dapat dimaknai sebagai sebuah kekuatan, ataupun
dorongan. Sehingga budaya secara sederhana dapatlah diartikan sebagai sebuah
kekuatan, dorongan akal, budi manusia untuk menciptakan sesuatu. Dan jelas
terlihat disini, bahwa untuk membuat atau menciptakan sesuatu seperti budaya
tersebut, sudah barang tentu membutuhkan manusia karena seyogianya manusia
adalah makhluk hidup yang dilengkapi dengan akal dan budi. Lebih dari itu,
selain menciptakan, manusia pun mampu menjaga dan mewariskan apa yang
diciptakan tersebut dengan komunikasi sebagai medianya. Manusia sedapat mungkin
bisa menjadi penganut, pembawa, manipulator dan pencipta budaya itu. Dan
tulisan ini hadir bukan untuk mengecam, ataupun membuat kita surut akan
realitas pelik ini, namun mau membuat kita sadar kalau kita masih punya budaya
yang layak untuk dibanggakan, dijaga dan dipertahankan.
Ada
Apa Dengan Festival Budaya Flotim?
Masyarakat
Flores Timur sebagai sebagai sub kultur budaya Indonesia, yang dikenal dengan
budaya lamaholot pun tidak pernah terlepas dari budaya itu sendiri, hal ini
dapat terlihat dengan banyaknya produk seni budaya yang membuat Flotim kaya
akan budaya hingga menyeret para pencinta seni budaya beramai-ramai hijrah
sesaat di tana Flotim. Namun demikian, tidaklah disangsikan, acapkali banyak
budaya lokal yang memuat kearifan lokal Flotim-Lamaholot mulai tergerus arus
zaman. Gemohin misalnya, tidak lagi menjadi budaya turunan yang ‘mengasyikkan’di
telinga kita lagi padahal gemohin adalah sebuah budaya turunan yang amat sangat
identik dengan Lamaholot Flotim dan memberi nuansa indah diakhirnya. Hal ini
pun berlaku juga ketika kita berbicara tentang seni budaya lain seperti tarian,
karena terbukti banyak tarian di Flotim mulai kehilangan gairah kealamiannya
akibat terisolir, dan terkontaminasi budaya modern yang mulai mewabah, sehingga
banyak gerakannya tidak seiindah dulu. Mungkin inilah salah satu dari sekian banyak
alasan yang mendorong Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Flotim di bawah
kendali Andreas Ratu Kedang mengambil langkah berani menggelar Festival Seni
Budaya Kabupaten Flotim ke-2 kalinya yang telah digelar Kamis (27/08) hingga
Jumad (28/08) silam di Taman Kota.
Festival
yang diikuti 17 Kecamatan Minus Kecamatan Wotan Ulumado dan Kecamatan
Wulanggitang adalah sebuah langkah untuk kembali memperkenalkan budaya Flotim
yang kian hari kian didamprat oleh budaya kontemporer, dan memunculkan kembali
yang dilupakan serta membuat khalayak yang hadir menginggat apa yang pernah
mereka lihat, rasakan dengan berbagai seni budaya yang ditampilkan malam itu. Bukan
hanya sekedar menentukan yang terbaik dari yang baik saja, dari semua
penampilan yang rada spektakuler tersebut, ataupun sekedar menunjukkan bahwa
Pemerintah melalui DISBUDPAR peduli tapi sekali lagi nilai seni budaya
Lamaholot itu jauh melampaui batas siapa yang menang ataupun siapa yang pantas.
Nilai seni budaya tidak ternilai maknanya.
Catatan
Kritis Dibalik Festival Seni Budaya Flotim
Keberanian DISBUDPAR
Flotim menggelar Festival Seni Budaya tentunya banyak diapresiasi banyak
pencinta seni baik yang menonton langsung ataupun hanya sekedar membacanya di
media surat kabar, namun demikian ada beberapa catatan penting yang menurut
penulis wajib untuk diperhatikan, walaupun penulis sendiri tidak terlalu banyak
memahami seni budaya itu sendiri karena penulis percaya tidak semua hal didunia
ini baik adanya.
1.
Festival
Seni Budaya Flotim: Pesta Orang Tua VS Kaum Muda
Sebagai Manusia yang berbudaya sudah barang tentu
hukumnya untuk dapat mewariskan budaya leluhur kepada generasinya baik secara
langsung maupun tidak langsung selain menciptakan budaya itu sendiri. Hematnya,
Festival yang telah dan sudah digelar tersebut memiliki makna/pesan tersirat yang
tidak tersampaikan bagi kaum tua untuk mulai berani berpikir untuk segera
mewariskan seni budaya tersebut kepada mereka (kaum muda) yang sedang mulai
kehilangan sendi nilai budaya Lamaholot. Rendahnya animo kaum muda dalam
menyaksikan festival adalah indikator nyata kalau mereka terlampau apatis
dengan seni budaya Lamaholot yang memiliki nilai tinggi tersebut, walaupun di
sisi lain banyak sanggar yang pentas malam itu telah mulai memberi ruang khusus
bagi kaum muda mengambil bagian di dalamnya. Tapi ingat, hanya dengan memberi
ruang saja tidaklah cukup, karena banyak aspek kehidupan yang kemudian membuat
mereka perlahan lupa akan budaya tersebut. Efeknya terlihat jelas, masih ada
kecamatan-kecamatan di wilayah Flotim yang masih mempercayakan kaum tua untuk
beraksi di atas panggung, memberikan yang mereka dapat dan yang dicintainya
kepada para pencinta seni budaya Flotim. Apakah ini indikasi bahwa belum semua
orang tua bisa menyalurkan ilmu seni budaya buat kaum muda ataukah kaum mudanya
sendiri yang mulai emoh untuk siap mempelajari budaya leluhurnya. Mungkin.
2.
Festival
Budaya Flotim: Pentas Rakyat, Wakil Rakyat atau Pemerintah.
Festival Budaya Flotim menyisahkan sedikit cerita yang
mungkin membuat kita (rakyat) sedikit menggelengkan kepala dan menganggap ini
adalah sebuah catatan yang sedikit ngawur, tapi festival malam itu bagi penulis
tidaklah lengkap tanpa dihadiri para elit Pemerintahan dan wakil rakyat
tentunya sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Hematnya, budaya menembus
perbedaan baik yang kaya miskin, tua muda, kota
desa, pejabat ataupun bukan, dan menembus sekat politik yang ada.
Bukan persoalan siapa yang melaksanakan, bukan juga
instansi apa tetapi bagaimana pelaksanaan festival yang pada akhirnya
mendekatkan yang jauh, membuat negeri kita yang terlampau sibuk dengan urusan
pelik politik yang tak berkesudahan guna mengatasi setiap persoalan yang
terjadi selama ini menjadi sedikit adem ayem melalui lentikkan jemari, dan
hentakkan kaki di atas panggung rakyat tersebut dengan tari dan cerita rakyat
yang dikemas begitu indah. Festival ini akan terasa indah diakhirnya jika semua
elemen rakyat Flotim mulai dari eksekutif, legislatif melebur menjadi rakyat biasa, merasakan
betapa nilai seni budaya itu bukanlah barang antik yang hanya punya orang
tertentu (rakyat) tetapi juga punya semua orang termasuk kaum elit sendiri.
Catatan-catatan
tersebut, adalah sejumput cerita budaya kita, budaya hasil refleksi nenek
moyang yang diwariskan buat kita hingga kini, membuat Flotim begitu dikenal
seantero dunia sebagai pemilik sah budaya Lamaholot. Dan catatan ini, adalah
sekedar refleksi humanis seorang anak tanah, yang tak terlalu paham apa itu
seni budaya tetapi begitu mencintai Tanah ini, yang memberikan banyak dari
ketidasempurnaannya yang dimiliki karena menjadi bangga ketika berada dalam
lingkaran budaya yang membesarkannya. Sudah begitu, masihkah kita malu, untuk
mengakui bahwa Budaya Lamaholot adalah budaya kita bersama? Karena tanpa budaya
manusia akan kehilangan idealismenya.
*Biodata Penulis :
Tinggal :
Larantuka
Alamat Email : engkykeban@gmail.com
Blog : arjunkeban@blogspot.com
No Hp : 082359259635