MENEROPONG PERAN FACEBOOK SEBAGAI MEDIA SOSIAL KOMUNIKASI MENJELANG PILKADA FLOTIM
(oleh: Frengky Keban*)
*Pemerhati Sosial Komunikasi, Tinggal di Larantuka.
Gema Pilkada siap ditabu dan tak jarang membuat orang-orang (baca: Masyarakat) mulai beramai-ramai menerka, memprediksi, malah ada yang secara gamblang menentukan figur-figur calon Bupati pilihan mereka baik di social media maupun dalam setiap percakapan ringan mereka di kantor, rumah ataupun tempat lain yang dirasa baik untuk bertukar pikiran. Grup Facebook sebagai salah satu media social kembali menjadi media paling banyak dijadikan wadah untuk menginformasikan, atau sekedar melihat tanggapan masyarakat (Komunikan) dan mulai menerka kekuatan figur-figur dengan aneka komentar yang ada. Aneka syarat pun tak ayal menyertai setiap komentar para penguna media Facebook sebagai pemanis percakapan dan menjadi sorotan public dalam mengkaji figure pilihan rakyat yang semakin membuat semarak grup tersebut. Namun demikian, penulis mencoba melihat realita pilkada Flotim dalam perspektif social komunikatif dengan harapan tulisan ini menjadi sebuah awasan pembaca untuk tidak salah memilih dan dapat menjadikan pilihan dalam pilkada sebagai sebuah tanggung jawab dengan melihat realita politik di ruang public facebook .
Berdasarkan tulisan Wentho Eliando (Wartawan Flores Pos Larantuka) tertanggal 27 Februari 2015, perihal Tahun Politik Kabupaten Flotim yang dimulai pada Tahun 2015 dan diperkuat dengan pernyataan Ketua KPU NTT John Depa maka sudah barang tentu Pilkada Flotim akan diadakan pada tahun 2017 bersama 2 kabupaten lain yakni Kabupaten Lembata dan Kabupaten Sabu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 tahun 2014. Dengan demikian, sekali lagi tidaklah prematur ketika kita sama-sama berbicara perihal pilkada Flotim yang berdasarkan catatan saya memiliki penduduk sekitar 300 ribu lebih yang tentunya akan menciptakan banyak cerita dalam hidup bermasyarakat (Zoon Politicon) apalagi ketika menyandingkannya dengan facebook sebagai media jejaring sosial.
Facebook Sebagai Media Membangun Opini Publik dan Media Menjual Figur Facebook tentunya bukanlah media baru, yang singgah sebentar atau numpang tenar, namun menjadi sebuah media social yang amat digandrugi sekian banyak masyarakat dari berbagai elemen mulai dari muda hingga tua, dari yang buta media hingga yang doyan media. Bayangkan saja, Facebook yang diluncurkan 4 Februari 2004 lalu oleh Mark Zuckerberg bersama 4 temannya mampu menarik simpati penggunanya yang hingga tahun 2012 mencapai 1 miliar lebih dengan menggunakan 70 bahasa di dunia dan memperoleh pendapatan $ 3,71 Miliar (2011). Facebook yang diawal pembentukannya hanya diperentukkan untuk kalangan sendiri dan sekedar mencari teman, kini bertransformasi menjadi media pemberi informasi dan malah berhasil menjadi media pembentuk opini public terhadap realita hidup masyarakat termasuk realita politik yang terjadi di dunia termasuk di Indonesia dan juga di Flores Timur. Opini Publik seyogianya adalah pendapat kelompok masyarakat, yang dibangun berdasar atas sebuah realita yang terjadi. Namun demikian, Opini public juga, hemat saya tidak luput dari kebebasan untuk mengeluarkan ide, kritik, keluhan, keinginan yang bagi kita (Baca: Masyarakat) guna menjawabi sebuah persoalan yang tengah dihadapi. Iya…Dengan kebebasan itu pulalah, kita pun terjebak dalam sebuah stigma kebebasan yang semu yang sifatnya merusak padahal secara teorikal media massa Indonesia menganut asas kebebasan yang bertanggung jawab. Opini public pun kian menjadi-jadi saat menyongsong hajatan pilkada Flotim yang kemudian menyeret orang untuk beramai-ramai bersuara yang terkadang dirasa kurang memuaskan. Mengapa?
1. Dunia Maya Vs Pengguna gelap
Tidak banyak pengguna facebook (Komunikator) yang benar-benar menyadari bahwa kedirian mereka di media yang dijual. Dengan kata lain, diri kitalah yang sebenarnya sedang dinilai, sehingga bermunculan semacam wabah untuk menghilangkan identitas diri yang sebenarnya dan menggantikannya dengan diri orang lain (pengguna gelap). Dan Politik sebagai pesan menjadi makanan pengguna gelap tersebut untuk melancarkan serangan fajar, menjatuhkan individu-individu yang sedang atau akan mencalonkan dirinya. Hal ini banyak terjadi di ruang grup facebook tanpa pertanggungjawaban berarti dan terkesan menuangkan kegelisahan, dan ketidakpuasan diri terhadap figure-figur tertentu. Maka hemat saya, berkaca pada disiplin ilmu komunikasi, pengguna gelap/komunikator sedang berupaya melakukan black campaigne dengan menggelontorkan sekian banyak pesan bernada negatif, sekedar mendorong para pembaca mengubah persepsi dan menjatuhkan pilihan kepada figure lain yang menjadi efek dari komunikasi yang dibangun . Atau dengan kata lain, serangan atas diri orang lain adalah sebuah kepentingan pengguna gelap secara pribadi yang disesuaikan dengan idea tau maksudnyayang digambarkan dalam kata-kata (encoding).
2. Grup Facebook menyangkal diskusi cerdas
Grup facebook sebagai media cerdas kehilangan pesona saat orang-perorangan mulai menggulirkan cerita untuk mulai berdiskusi. Pengguna cerdas pun mulai memutarbalikkan fakta yang tidak seharusnya dengan alibi mengunduhnya di situs terpercaya. Dan cerita itu pun, kian membabi buta dengan penyerangan kelompok pro atas kelompok kontra dan sebaliknya, dan malah menggunakan pesan-pesan dengan kata-kata kasar,ataupun kata caci maki yang tidak elok untuk dinikmati. Padahal dalam diskusi, sudah seharusnya memperhatikan etika komunikasi efektif yang mana pesan dari komunikator dapat diinterpretasi secara baik dan benar oleh pembaca/komunikan sehingga mengurangi salah tafsir atas makna yang ada dan pesan tersebut mampu memanusiakan manusia bukan hanya sekedar menjual ide cemerlang yang dilatarbelakangi pendidikan masing-masing pengguna.
3. Media menjual figure tanpa solusi
Alangkah elok dan patut disyukuri pula, bahwa media facebook dapat pula kita gunakan sebagai media bisnis dengan menjual produk-produk kebutuhan hidup manusia, salah satunya adalah produk figure politik menjelang pilkada nanti. Banyak figure mapan bermunculan namanya baik itu yang dipromosikan ataupun yang berani menyatakan diri siap di hadapan public. Produk-produk itupun tak luput dari perhatian, banyak efek yang ditimbulkan akibat kemunculan nama produk figure ini baik itu positif maupun negative. Namun, dari semua itu ada hal yang menarik jika kita memperhatikan pengguna/komunikator yang membawa pesan tersebut. Kenapa demikian? Dari keseluruhan komunikator yang menjual produk figure (pesan) tidak mengetahui secara pasti latar belakang orang yang dijualnya, hal ini dapatlah kita amati di dalam setiap komentar yang ada. Malah lebih miris lagi, ada pengguna/komunikator yang setelah menjual tak lagi berani berkomunikasi memberikan klarifikasi, sehingga komunikasi yang terbangun terkesan satu arah atau one way communication. Padahal, dalam setiap komunikasi yang dibangun diharapkan mampu menciptakan hubungan timbal balik antara komunikator/pengguna dengan komunikan/pembaca. Saya membaca problem ini sebagai permainan komunikator/pengguna media agar dapat bermain politik dua kaki, dimana dia hanya sedang berupaya menakar kekuatan calonnya dengan mengambil sample komentar para komunikan/pembacanya atas pesan yang disampaikan ataukah ia sedang mau menipu komunikan/pembaca pesannya bahwa nama itu hanyalah modus semata karena pada dasarnya produk figure yang disampaikan bukan pilihannya? Karena politik tidak murni jujur mengatakan iya, ketika nurani mengingikan tidak.
Dari catatan-catatan diatas, sudah barang tentu sebagai sebuah media pembangun opini public facebook memainkan peranan untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia maupun di tanah nagi Flores Timur. Namun demikian, sebagai media penampung opini masyarakat sudah barang tentu media ini jangan dijadikan satu-satunya rujukan untuk membuat kesimpulan secara general terhadap sesuatu hal (yang terpenting untuk membaca peta kekuatan politik menjelang pilkada Flotim) karena secara kasat mata ia memiliki cacat sosial yang akan berakibat pada ketidakharmonisan individu sebagai makhluk sosial. Perlu digaris bawahi pula, sebagai manusia berbudaya dan memiliki latar belakang yang sama sebagai orang Lamaholot, sudah barang tentu harus dapat menempatkan diri kita pada posisi yang netral. Dalam artian, berupaya memfilter setiap postingan dengan berupaya mencari tahu kebenaran yang sebenarnya dan kemudian memilih jalan/pilihan sesuai nurani masing-masing kita. Politik sendiri tidak mengenal kawan, karena semuanya dapat berubah dalam hitungan detik. Kita bersama tidak mau demokrasi kita menjadi cacat dengan tumbahan pesan-pesan yang dapat meruntuhkan akhlak pilihan rasional kita terhadap produk figure yang ada. Oleh karena itu, butuh sebuah regulasi yang mampu mengakomodir kepentingan kita bersama, dengan tidak harus melecehkan derajat kemanusian kita ataupun berlari mengejar kedirian kita yang lain. Karena cinta kita adalah sama untuk semua.