Jemari mengatup, akhlakpun berpikir, dan mulut mengukir kata. mengais remah2 hidup yang semakin jauh. Dan pengemis itupun masih terus menatap langit, mencoba menyuarakan suara pilu di himpitan keangkaran Negeri. Mencekik, dan jatuh hingga nurani pun takk berarti lagi. Kaisan tangannya pun menggulingkan rasa pedih duka mendalam, memungut serpihan "janji" kaum elit,yang lupa ketika berlari. Remah itupun semakin terasa berat tuk dipungut, pengemis pun menangis, dan mereka belum menyadari.
< align=”center”>Negeri masih berkutat dalam mimpi, karena remah ini masih tersisa di sudut kota. Berbicara dengan mulut membusa, namun niat tak selaras dan penngemis memberi bukti. Negeri sakit, dan terus sakit dan remah akan terus berkutat mengintari hidup dan pengemis tetapjadi pengemis walaupun mimpinya tidak berkesudahan. Di sudut kota lain, mereka yang lupa berhilir menyoraki gembira, menuangkan anggur "janji" kemudian membuangnya di lantai Negeri. Membungkam roti di mulut busuk ,walaupun terasa nikmat. dan suara tangisan itu, ah...hanya sebagian dari duka Negeri ini, mereka tetap lupa kalau mereka juga pernah memnta dari pengemis.Frengky Keban, tinggal di Larantuka
No comments:
Post a Comment