Potret Negeriku...Masihkah berharap? |
“Jangan
mengurus Negeriku setengah hati, jangan pula dengan berat melangkah pada
kebenaran jika tidak negeriku tetap akan dibilang Negeri para Kambing”.
Itulah gambaran
singkat di Negeriku, Negeri dimana saya dibesarkan dan menjadi tempat saya
mencari secuil rupiah di atas piring keringatku, Negeri Lamaholot Flores
Timur-Larantuka, yang saban hari tidak lagi dipenuhi langkah kaki para penghuninya
tapi juga berjubel binatang peliharaan yang sengaja dilepas tanpa tahu
“Gembala”nya. Jalanan yang tadi padat oleh kendaraan seperti ruas jalan utama
depan Pasar Inpres Larantuka dan sepanjang wilayah Kambung Baru menjadi menarik
ketika diperhadapkan pada fenomena ‘Kambing-kambingan”,
yang berlari menyeberang tanpa mampu dikontrol, atau meminjam kata Temanku Hans
Wain “Roda Gila”. Iya gila Negeriku
kini, membiarkan fenomena ini menjadi cerita tak kenal habis ditengah upaya
menghidupkan “Sister City” dan
mencemerlangkan agidium Kota Renha.
Impasnya,
kecaman demi kecaman meluncur dari mulut para penghuni Negeri ini hingga harus
menjadi salah satu berita yang menghiasi kolom salah satu media cetak
kebanggaan orang Flores (Flores Pos, edisi Kamis, 28 Mei 2015) yang ditulis
salah satu wartawan Flores Pos di Larantuka, Wentho Eliando. Namun lucunya,
fenomena ini tidak menjadi sebuah prioritas utama penyelesaian oleh pihak-pihak
yang disebut dalam pemberitaan tersebut, seolah menjadi buta dan tuli ketika masyarakat
menuntut pemberesaan akan fenomena teranyar ini. Dugaan, dan asumsi ini pun
mengemuka di akhlak penulis, bisa jadi fenomena ini masih kalah dengan gaungnya
dengan segala persiapan untuk menjadikan kota Larantuka serupa Kota Qurem di
Portugal dalam semangat “Sister City”
sebagai salah satu point penting mendongkrak kepariwisataan di tanah milik
Leluhurku? Apakah Kepariwisataan tersebut harus dengan membangun sejumlah
tempat megah atau pun memugar yang lama sedang lingkungan kota sebagai pusat
Kota Larantuka dibiarkan begitu saja apalagi terjadi di tempat umum yang
menjadi milik pemerintah? Dan bisa dibayangkan jika para pengunjung, yang
menyempatkan berkunjung ke Negeri pulang dengan meninggalkan cerita miris yang
demikian? Logika sederhana, Hewan saja tidak bisa urus apalagi Masyarakatnya?
Iya. Seingat
penulis fenomena ini bukan kali ini saja terjadi atau sejak Wentho Eliando
(Wartawan Flores Pos) menelurkan tulisannya, tapi sudah terjadi beberapa tahun
belakangan atau dengan kata lain sudah menjadi tradisi yang menjamur di
Negeriku ini, tanpa ada upaya penyelesaiannya. Dan apa jadinya jika persoalan
ini terus mengapung, dengan kenyataan Pemerintah sedang berjuang membuktikan
kepada Ribu Ratu Flotim akan kualitas
Negeriku menyongsong perubahan di dunia Pariwisata.
Oleh karenanya,
alangkah bijak jika kambing-kambing tanpa tuan tersebut wajib hukumnya
dibereskan oleh Pemerintah Daerah melalui Pol PP sebagai perpanjangan sang
empunya kebijakan dengan mengantongi Perda tentang tata tertib, dengan terlebih
dahulu mengkomunikasikan dengan pihak setempat di mana fenomena ini terjadi,
guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dan Komunikasi Antar Budaya
menjadi penting di ranah ini sebagai sebuah panasea pemecahan persoalan
bersama, walaupun secara budaya kita masih serumpun, rumpun bangsa Lamaholot,
tetapi nilai, norma, budaya, cara pandang setiap orang menjadi berbeda
sifatnya. Siapapun dia, dengan semua kemanusiannya akan memahami situasi ini,
dan akan mengiiyakan jika secara personal kita mampu menyampaikan pesan
tersebut secara baik yang dasarnya untuk membangun Lewotana. Jika sudah
demikian, layaklah Kota Baru Larantuka diangkat ke permukaan sebagai solusi
akan padatnya pembangunan di Negeriku yang menyebabkan luas lahan untuk sekedar
mengandangkan binatang saja tidak memungkinkan lagi. Dan Komunitas Wisata
Menulis (KWM) Flores Timur dalam setiap diskusinya terus dijejali pemikiran
Wentho Eliando (Wartawan Flores Timur) yang bukan hanya sekedar menulis tapi
juga mampu memberikan solusi dan, bagi penulis pun dengan acuan pemikiran
tersebut pantas menjadi sebuah acuan bagi Pemerintah Daerah dan DPRD Flotim
untuk mengembangkan Model kota modern dengan memaksilkan Desa Penyangga Kota
atau Lingkar Luar Kota (Lingrot) Larantura sebagai Kota Baru di Larantuka. Iya.
Badu, Wailolong, Riangkemie, Mudakeputu dan desa lainnya di sekeliling Gunung
Ilemandiri adalah desa-desa yang selama ini dianggap sebelah mata karena mereka
seyogianya adalah desa-desa di belakang Gunung yang tertinggal, terluar dan
jauh dari perhatian Pemerintah Daerah dan DPRD Flotim. Padahal desa-desa ini
jika dilihat dari segi ekonomi, adalah desa-desa penghasil Sumber Daya Alam
terbesar di Flotim dan dapat ditempuh dalam perjalanan selama 30 menit lamanya
untuk mengintari gunung Ilemandiri. Jangan jauh-jauh, berbalik dan tengoklah
mama-mama di pasar inpres Larantuka, kebanyakan berasal dari desa-desa
tersebut. Konsepnya pun tidak terlalu rumit jika dibarengi dengan keberanian
membuat sesuatu yang bagi Lewotana. Pemerintah melalui dinas terkait harus
berani mengidentifikasi segala persoalan dan potensi masing-masing desa, berani
menggelontorkan sejumlah dana untuk perbaikan infrastruktur jalan yang
belakangan rusak parah dan jika memungkinkan melebarkan ruas jalan yang ada,
serta memberi kesempatan kepada pihak luar untuk merencanakan tata ruang kota
dan ruang wilayah kota baru tersebut.
Dan akhirnya, Jangan pernah takut, sebelum mencobanya jika tidak kita
tidak akan tahu apakah percobaan kita itu gagal ataupun berhasil. Berhenti untuk
membiarkan fenomena ini akut semacam penyakit yang sudah tidak memiliki obatnya
lagi, dan ketahuilah semua persoalan tentunya punya jalan keluar, terbergantung
pada diri kita bijak menyikapinya atau kah tetap menyisahkan cerita Kambing ini
pada anak cucu kita nantinya.
*Biodata
Penulis :
Tinggal : Larantuka
Alamat Email : engkykeban@gmail.com
Blog :
arjunkeban@blogspot.com
No Hp :
082359259635
No comments:
Post a Comment