Tuesday, July 21, 2015

Bersepeda Di Jalanan, Fenomena Baru di Tanahku



Fenomena sepeda akhir-akhir ini menjadi sebuah tontonan yang menarik. Betapa tidak, sepeda yang dulu hanya dimiliki oleh mereka yang berekonomi lemah kini menjadi sebuah kendaraan khusus bagi mereka di kalangan menengah ke atas. Sepeda, bagi kebanyakan orang dewasa dijadikan bagian dari olahraga yang menyenangkan, untuk melatih otot kaki dan paha agar menjadi kuat ataupun bagi anak-anak dan remaja berlatih keseimbangan sebelum beralih pada kendaraan lain seperti sepeda motor. Namun demikian, realita ini tentunya akan juga menggelitik kita sebagai pembaca yang notabene adalah makhluk sosial juga bagi penulis sendiri. Kenapa demikian?
Larantuka sebuah kota di ujung timur Pulau Flores, kini tengah digerogoti fenomena serupa. Jalanan sempit dengan satu jalan utama dan ditemani dua jalan alternatif dengan sebutan jalan bawah dan atas tentunya, kini tidak lagi dipenuhi oleh kendaraan mobil ataupun sepeda motor saja tapi sudah dipenuhi dengan sepeda yang berseleliweran tanpa mengenal waktu. Sudah begitu, sepeda-sepeda yang kebanyakan ditunggangi anak-anak sekolahan ini tampak tidak memperhatikan aturan lalu lintas, tak jarang membuat para pengendara lain menjadi kesal. Menyerobot jalan orang secara berkelompok, menaiki trotoar jalan, bersepeda melawan arah adalah sedikit persoalan yang bisa diungkapkan penulis menengok hiruk pikuk fenomena bersepeda di kota Larantuka, Kota Renha. Jika demikian, sudah barang tentu kita tidak harus membiarkan hal tersebut berjalan terus tanpa ada upaya kita untuk menghindarkannya. Karena hemat penulis, tanpa disadari kebanyakan pelakunya adalah anak-anak kita, dan adik-adik kita yang masih memiliki masa depan yang belum diraih ataupun sedang diperjuangkannya. Dan kehadiran tulisan ini, harus dapat dipahami sebagai jalan keluar bukan lantas dipandang sebagai sebuah pengkerdilan akan kreativitas yang sedang dijalani. 
ilustrasi: Anak-anak sedang melepas lelah setelah bersepeda.
Hal yang paling utama tentunya kerja Orang Tua sebagai pengajar nilai, etika dalam keluarga. Orang tua wajib memberikan awasan bagi mereka (baca:anak-anak) dan menjadi pengontrol jika sang anak telah keluar dari patron yang telah diajarkan dan berujung pada kerugian yang disebabkan oleh tingkah laku mereka yang menyimpang. Selain Orang tua, sekolah juga harus dapat menjadi agen perubahan sikap anak-anak dengan memberikan pelajaran yang sifatnya merangsang kognitif, dan konasi siswa untuk dapat melihat mana yang baik, mana yang patut dibuat dan mana yang tidak harus dibuat. Sedapat mungkin, anak-anak dibekali juga dengan pelajaran Pedoman Penghayatan dan Pangamalan Pancasila atau P4 yang selama ini urung dilaksanakan lagi, padahal pelajaran ini hemat penulis menjadi sebuah pelajaran dasar bagi si anak memahami betapa nilai hidup yang terkandung dalam Pancasila adalah sesuatu yang memiliki efek yang luar biasa dalam hidup bermasyarakat. Keluarga dan sekolah tidak akan bisa bekerja jika di sisi lain, lingkungan masyarakat anak juga tidak diberi pemahaman sebagai sebuah kesatuan yang komperensif yang mendukung kinerja sistem hidup bermasyarakat. Lingkungan masyarakat dengan segala dinamikanya menuntut kita untuk terjun bebas, menikmati segala bentuk kukungan nilai bentukkan masing-masing orang yang berbeda budaya, lantas membuat kita mengakui banyak nilai itu adalah benar tanpa mampu memfilternya secara baik. Lingkungan masyarakat seharusnya menjadi tempat anak menimba ilmu yang tidak diajarkan di lingkungan sekolah, bukan menciptakan ajaran baru dengan agenda setting yang semu yakni kenikmatan sesaat tanpa perlu memandang efek yang tercipta dari setiap gelaran tingkah laku anak seperti bersepeda di jalanan. Sudah begitu, kegagalan yang terjadi ini harus bisa diselami dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah dan aparat keamanan sebagai pengontrol dan pembuat kebijakan. Dengan kepekaan sebagai lembaga resmi Negara yang diwajibkan mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat di bumi Lamaholot. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat sudah barang tentu dapat mengadopsi program Car Free Day sebagai upaya bersama menciptakan suasana ramah lingkungan dengan memberi ruang bagi para pengendara sepeda melaksanakan aktivitasnya selain mengeluarkan regulasi yang dapat diterima secara umum tanpa memberi ruang kebebasan yang luas bagi para pengendara apapun jenisnya.  Lebih lanjut, pihak keamanan dalam diri institusi kepolisian juga wajib hukumnya untuk mengontrol arus lalu lintas di jalanan khususnya kegiatan bersepeda sebagai sebuah awasan dini bagi kader-kader Lewotana bukan hanya sekedar pengendara sepeda motor dan mobil.
 Dan tulisan ini, sekali lagi bukan untuk menghakimi secara sepihak atas buruknya tatanan hidup sosial kita atas sebuah fenomena menjamur di tanah milik leluhur kita sendiri tetapi mau menyadarkan kita akan sebuah nilai yang lebih tinggi daripada itu semua yakni sikap saling menghargai satu dengan lainnya yang tentunya membuat kita mampu menjawabi pertanyaan singkat ini, Sudah Mampukah Kita?
*Biodata Penulis :
Tinggal                                 : Larantuka
Alamat Email     : engkykeban@gmail.com
Blog                       : arjunkeban@blogspot.com
No Hp                   : 082359259635

No comments:

Post a Comment

Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...