Fenomena sepeda
akhir-akhir ini menjadi sebuah tontonan yang menarik. Betapa tidak, sepeda yang
dulu hanya dimiliki oleh mereka yang berekonomi lemah kini menjadi sebuah
kendaraan khusus bagi mereka di kalangan menengah ke atas. Sepeda, bagi
kebanyakan orang dewasa dijadikan bagian dari olahraga yang menyenangkan, untuk
melatih otot kaki dan paha agar menjadi kuat ataupun bagi anak-anak dan remaja
berlatih keseimbangan sebelum beralih pada kendaraan lain seperti sepeda motor.
Namun demikian, realita ini tentunya akan juga menggelitik kita sebagai pembaca
yang notabene adalah makhluk sosial juga bagi penulis sendiri. Kenapa demikian?
Larantuka sebuah
kota di ujung timur Pulau Flores, kini tengah digerogoti fenomena serupa.
Jalanan sempit dengan satu jalan utama dan ditemani dua jalan alternatif dengan
sebutan jalan bawah dan atas tentunya, kini tidak lagi dipenuhi oleh kendaraan
mobil ataupun sepeda motor saja tapi sudah dipenuhi dengan sepeda yang
berseleliweran tanpa mengenal waktu. Sudah begitu, sepeda-sepeda yang
kebanyakan ditunggangi anak-anak sekolahan ini tampak tidak memperhatikan
aturan lalu lintas, tak jarang membuat para pengendara lain menjadi kesal. Menyerobot
jalan orang secara berkelompok, menaiki trotoar jalan, bersepeda melawan arah
adalah sedikit persoalan yang bisa diungkapkan penulis menengok hiruk pikuk
fenomena bersepeda di kota Larantuka, Kota Renha. Jika demikian, sudah barang
tentu kita tidak harus membiarkan hal tersebut berjalan terus tanpa ada upaya
kita untuk menghindarkannya. Karena hemat penulis, tanpa disadari kebanyakan
pelakunya adalah anak-anak kita, dan adik-adik kita yang masih memiliki masa
depan yang belum diraih ataupun sedang diperjuangkannya. Dan kehadiran tulisan
ini, harus dapat dipahami sebagai jalan keluar bukan lantas dipandang sebagai
sebuah pengkerdilan akan kreativitas yang sedang dijalani.
ilustrasi: Anak-anak sedang melepas lelah setelah bersepeda. |
Hal
yang paling utama tentunya kerja Orang Tua sebagai pengajar nilai, etika dalam
keluarga. Orang tua wajib memberikan awasan bagi mereka (baca:anak-anak) dan
menjadi pengontrol jika sang anak telah keluar dari patron yang telah diajarkan
dan berujung pada kerugian yang disebabkan oleh tingkah laku mereka yang
menyimpang. Selain Orang tua, sekolah juga harus dapat menjadi agen perubahan
sikap anak-anak dengan memberikan pelajaran yang sifatnya merangsang kognitif,
dan konasi siswa untuk dapat melihat mana yang baik, mana yang patut dibuat dan
mana yang tidak harus dibuat. Sedapat mungkin, anak-anak dibekali juga dengan
pelajaran Pedoman Penghayatan dan Pangamalan Pancasila atau P4 yang selama ini
urung dilaksanakan lagi, padahal pelajaran ini hemat penulis menjadi sebuah
pelajaran dasar bagi si anak memahami betapa nilai hidup yang terkandung dalam
Pancasila adalah sesuatu yang memiliki efek yang luar biasa dalam hidup
bermasyarakat. Keluarga dan sekolah tidak akan bisa bekerja jika di sisi lain,
lingkungan masyarakat anak juga tidak diberi pemahaman sebagai sebuah kesatuan
yang komperensif yang mendukung kinerja sistem hidup bermasyarakat. Lingkungan
masyarakat dengan segala dinamikanya menuntut kita untuk terjun bebas,
menikmati segala bentuk kukungan nilai bentukkan masing-masing orang yang
berbeda budaya, lantas membuat kita mengakui banyak nilai itu adalah benar
tanpa mampu memfilternya secara baik. Lingkungan masyarakat seharusnya menjadi
tempat anak menimba ilmu yang tidak diajarkan di lingkungan sekolah, bukan
menciptakan ajaran baru dengan agenda setting yang semu yakni kenikmatan sesaat
tanpa perlu memandang efek yang tercipta dari setiap gelaran tingkah laku anak
seperti bersepeda di jalanan. Sudah begitu, kegagalan yang terjadi ini harus
bisa diselami dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah dan aparat keamanan
sebagai pengontrol dan pembuat kebijakan. Dengan kepekaan sebagai lembaga resmi
Negara yang diwajibkan mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat di bumi
Lamaholot. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat sudah
barang tentu dapat mengadopsi program Car Free Day sebagai upaya bersama
menciptakan suasana ramah lingkungan dengan memberi ruang bagi para pengendara
sepeda melaksanakan aktivitasnya selain mengeluarkan regulasi yang dapat
diterima secara umum tanpa memberi ruang kebebasan yang luas bagi para
pengendara apapun jenisnya. Lebih
lanjut, pihak keamanan dalam diri institusi kepolisian juga wajib hukumnya
untuk mengontrol arus lalu lintas di jalanan khususnya kegiatan bersepeda
sebagai sebuah awasan dini bagi kader-kader Lewotana bukan hanya sekedar
pengendara sepeda motor dan mobil.
Dan tulisan ini, sekali lagi bukan untuk
menghakimi secara sepihak atas buruknya tatanan hidup sosial kita atas sebuah
fenomena menjamur di tanah milik leluhur kita sendiri tetapi mau menyadarkan
kita akan sebuah nilai yang lebih tinggi daripada itu semua yakni sikap saling
menghargai satu dengan lainnya yang tentunya membuat kita mampu menjawabi
pertanyaan singkat ini, Sudah Mampukah Kita?
*Biodata
Penulis :
Tinggal :
Larantuka
Alamat Email : engkykeban@gmail.com
Blog : arjunkeban@blogspot.com
No Hp : 082359259635
No comments:
Post a Comment