Sunday, January 10, 2016

Panti Asuhan Acamister Duli Anan, Dilupakan Tetapi Masih Berjuang Untuk Kaum Difabel

Panti Asuhan Acamister Duli Anan terletak di Desa Watowiti-Kecamatan Ilemandiri, kurang lebih 5 km dari arah timur kota Larantuka. Di panti inilah hidup 32 anak difabel total ganda berat dibawah asuhan Arnoldo Dominiko Duli Uran bersama istri, meniti hidup, berjuang dengan senyum, mencoba membalikkan stigma dilupakan tetapi tidak melupakan. Iya, mereka yang terlahir dari rahim yang berbeda dibekali Tuhan dengan keterbatasan fisik dan mental, hidup dengan latar belakang daerah yang tak sama seperti Flotim, Adonara, Lembata, Sikka, Ende dan Ngada tetapi masih terus berjuang bersama ditengah himpitan ekonomi yang tidak lagi memungkinkan, namun mampu memberikan pembelajaran bagi banyak orang bahwa hidup memang patut untuk disyukuri. Lahir Dari Keprihatinan, Memukul Stigma Negatif Masyarakat Pengelola Panti Asuhan Acamister Duli Anan, Arnoldo Dominiko Duli belum lama ini mengatakan.
, keprihatinan kepada anak-anak difabellah yang mendorongnya membangun panti Acamister Duli Onan tersebut pada medio 2012 silam, disamping pengalaman hidup sang mantan biarawan ini akan kematian 3 saudaranya yang juga menderita difabel. “Kepedulian saya lahir dari dulu, untuk hidup dengan orang-orang ataupun anak yang menyandang masalah sosial seperti ini sejak saya masih di biara, bekerja di kantor Wali Gereja-Maumere setelah keluar dari Biara, maupun saat menjadi Anggota DPRD Kab. Sikka. Dari waktu ke waktu, saya merefleksikan, sebenarnya bukan hal baru bagi saya, karena dalam keluarga saya sendiri ada tiga saudara dari sembilan saudara/i saya juga menderita divabel berat dan pada akhirnya meninggal,” kisahnya pilu. Pengalaman tersebut bukanlah satu-satunya pendorong bagi pria asal Lewoawang-Kecamatan Ilebura untuk kemudian mendirikan Panti Acamister, pengalaman sosial masyarakatpun tuturnya amat mempengaruhinya dirinya untuk berani mendirikan sebuah rumah sederhana bagi kaum difabel tersebut,sebagai bentuk protes, dan kemarahan bagi mereka yang menyepelehkan anak-anak yang cacat mental dan fisik. 
“Panti ini adalah bentuk protes, marah saya terhadap orang-orang yang menolak anak divabel, yang dulunya beranggapan cacat itu memalukan, menghina keluarga, kotor, menghambat, dan memalukan. Dan lebih menyakitkan pada tahun 2005 itu, saya melakukan kunjungan pribadi ke Flores Timur di beberapa panti, dan menemukan kenyataan pahit bahwa kebanyakan panti disini (Flotim) hanya bisa menerima anak cacat yang bisa tolong diri, dan bukannya menerima anak cacat yag tidak bisa tolong diri,” kenangnya. “Bagi saya, panti ini adalah alternatif untuk menerima anak-anak yang tidak diurus dan tidak diterima orang lain,” kata Arnoldo lagi.

Menolong Tapi Enggan Meminta Ditolong    

Namun demikian, demi mewujudkan impian mulianya, banyak hal yang harus dikorbankan Arnoldo walaupun itu adalah sesuatu yang diraihnya dengan perjuangan, iya, kekayaan dan kedudukan sebagai mantan Anggota DPRD dilepasnya demi membantu mereka yang terpinggirkan, dilupakan bahkan dianggap sebagai penyakit masyarakat. Di tanah seluas 10x20 meter, di sudut kota Larantuka, ia bersama istrinya kemudian membangun beberapa gedung hunian sederhana yang disebutnya bagian barat, timur, dan atas, yang dananya berasal dari swadaya pribadi, bantuan perseorangan, lembaga bank, dan pemerintah serta DPRD namun mampu menampung 32 anak asuhnya, bersama para pengasuhnya yang senantiasa bekerja tanpa harus digaji, semuanya dengan kerelaan memberi dan peduli pada nasib anak-anak difabel. 
“Syukur karena bagian timur sudah bisa kita tinggal walaupun belum selesai tetapi sudah nyaman sedikit. Sedangkan di bagian barat harus dibangun sambung karena nanti bulan barat akan semakin parah, dan kami sedang merencanakan pembangunan lanjutan karena ruangan di bagian atas itu tidak terlalu memungkinkan lagi,” katanya penuh harap.
 “Kebanyakan mereka (anak-anak) ada di gedung bagian atas yang ukurannya 5x9 meter, malah ada satu tempat tidur harus menampung 2-3 anak dengan tempat tidur baru 6 dan disesuaikan dengan ukuran bangunannya” katanya. Bangunan-bangunan tersebut, akunya memang belumlah layak namun, dirinya percaya dirinya masih punya seribu satu cara untuk menghidupinya walaupun kadang permohonan mereka sejauh ini enggan dijawab pemerintah, malah dirinya menyesal banyak yang kemudian mengambil keuntungan dengan kenyataan yang mereka miliki. 
“Kadang mereka beri bantuan 2 dos mie, suruh kami tanda tangan 5 dos, bawa beras 100 kg suruh kami tanda tangan 150 kg. Saya tidak mau, sampai sekarang. Dan ketika mereka panggil saya ke sana tuk pertemuan, saya menolaknya karena kondisi kami ini terang, jelas, semua tahu tetapi buat apa pertemuan terus tanpa ada kejelasan,” sesalnya. Untuk itu dirinya, tidak terlalu berharap banyak walaupun dirinya membutuhkan karena baginya memberi dengan tulus dan ikhlas adalah sebuah hal yang sudah seharusnya bukannya menjadikan kesulitan mereka sebagai sebuah “berkat” bagi orang lain.
 “Ini demi anak-anak ini, masa depan mereka masih panjang jangan membuat mereka putus asa, jangan buat senyum mereka sirna karena ulah kita. Mereka sama dengan kita, walaupun fisik dan mental mereka tidak sama. Dengan mereka, kerajaan Allah sungguh ada,” pesannya. 
“Kalau sebentar pulang, bawa pulang semua barang bawaan anda, hanya satu yang harus anda tinggalkan yakni hatimu. Pergi dan sampaikan kepada dunia bahwa disini sedang dibangun kerajaan surga serta pergi dan berdoalah kepada dunia supaya dunia tahu bahwa yang empunya kerajaan surga ini adalah mereka yang tidur-tidur itu,” pesannya lagi. 

DPRD Siap Dorong Perda Perlindungan Kaum Difabel  

Bak bersambut, harapan Arnoldo pun ditanggapi serius DPRD melalui Badan Legislasi Flotim yang juga melihat lemahnya perhatian pemerintah terhadap kaum difabel di Flotim, dengan membuat Perda tentang perlindungan kaum difabel di kabupaten Flotim dalam pembahasan dan ditetapkan DPRD dalam sidang berikutnya setelah sebelumnnya melakukan kajian ilmiah dari aspek yuridis, filosofis dan sosiologis. 
“Perda ini sebagai solusi fundamental terhadap maslah yang dialami kaum difabel selama ini. Perda ini mewajibkan Pemda untuk memperhatikan kaum difabel secara kontinue berupa bantuan dana dari APBD untuk kepentingan pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan untuk masa depan mereka layaknya manusia normal lainnya,” kata ketua Badan Legislasi Agustinus Payong Boli, mewakili rekannya di badan Legislasi DPRD Flotim kepada beberapa waktu lalu di Balai Gelekat Flotim. Niatan ini tutur Agus, telah didukung dengan beberapa pihak NGO seperti Delsos Keuskupan Larantuka dan hasil diskusi bersama teman-teman di Grup Suara Flotim demi misi kemanusian dengan melihat kenyataan pahit yang dialami Panti Asuhan Acamister Duli Onan sebagai rujukan panti yang dapat memberi spirit kemanusian yang lahir karena kepedulian atas harkat dan martabat kaum difabel. 
“Ke depannya siapapun Bupatinya wajib hukumnya memperhtikan kebutuhan primer dan sekunder kaum difabel dengan dana APBD secara rutin tiap tahun untuk kaum difabel di panti asuhan maupun di rumah-rumah,” ucapnya tegas. Naskah: Engky Keban 




No comments:

Post a Comment

Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...