Saturday, October 20, 2012

Makalah Budaya Tergerus Modernisasi


BUDAYA TERGERUS MODERNISASI



Perkembangan zaman menuntut kita terjun dan terlibat dalam era baru itu, bukan sekedar tanpa alasan sebab perkembangan dunia dewasa ini telah merubah sisi lain hidup kita dan menembusi dimensi hidup kita sebagai Homo Socius. Politik, ekonomi, sosial, dan Budaya adalah beberapa bidang yang secara tak langsung merasakan imbas dari perkembangan zaman yang menurut beberapa ahli disebut dengan keadaan modern, ataupun meminjam pernyataan Giddens yang memandang Modern sebagai lokomotif sebagai gambaran tahapan maju dari modernitas – radikal, tinggi, modernitas mutakhir( Ritzer,2003: 24). Dengan demikian keadaan modern menuntut adanya perubahan keadaan,dimana keadaan yang tradisional di satu sisi berganti dengan keadaan yang modern si lainnya. Hal ini pun tak pelak merambah secara signifikan dalam diri budaya sebagai sesuatu yang sangat primordial sejauh pengamatan penulis, tanpa memandang rendah aspek lain dalam kehidupan ini. Kenapa demikian? Budayalah yang pertama mengajarkan kepada kita tentang nilai, tentang norma kehidupan sosial, tentang kebiasaan yang berkembang dalam budaya kita. Begitu banyak nilai budaya kita yang kini menjadi bulan-bulanan modernisasi dan dijadikan nilai kedua setelah modernisasi, adanya pergeseran nilai budaya dijadikan alasan untuk mengukung budaya dalam tembok sosial kita dan mengedepankan modern sebagai trend baru dewasa ini. Apalagi modernisasi membuat manusia larut dalam ayunan hedonismenya dan membuat mereka lupa pada hakikat hidup mereka sebagai manusia yang dapat mengontrol semuanya dan bukan dikontrol oleh barang yang didewakan itu, dan menggunakan rasionalitasnya untuk memylah mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang tidak. Hal demikanlah yang membuat penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh persoalan budaya dengan melihatnya dalam perspektif edukatif sosiologis dan secara khusus memakai kacamata komunikasi secara kritis walaupun secara umum tidaklah sekritik Hormheimer dkk.


1.      Konsep Umum: Budaya dan Modernisasi

Konsep budaya dan modernisasi bukanlah hal baru di telinga kita, 2 konsep ini secara tidak langsung mau menunjukkan kepada kita elemen dasar kehidupan kita yakni perubahan itu sendiri yang bergerak secara gradual; yang dimulai dari masyarakat tradisional, masyarakat transisi, sampai pada masyarakat modern yang ditandai dengan kemajuan berbagai bidang kehidupan. Konsep modernisasi yang menjadi pokok bahasan kita ini berangkat dari kata modern yang dapat diartikan sebagai terbaru,atau cara, sikap berpikir serta bertindak sesuai tuntutan zaman ( Tim Penyusun Kamus, 1994:589). Sementara, konsep ‘modernitas’ digunakan untuk menjelaskan totalitas kehidupan. Awal dari dunia modern seringkali dinisbatkan kepada renaissance dianggap sebagai awal dari perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang ‘humanisme’; sebagai tantangan terhadap kepercayaan keagamaan Abad Pertengahan juga sebagai satu bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia. Semangat Renaissance jelas sekali diwakili oleh pemikiran Descartes, dan melalui wawasan ‘humanisme’nya menjadikan manusia - dengan segala kemampuan rasionalnya - sebagai ‘aku’ (subyek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia dengan bahasa latin yang terkenal “Cogito Ergo Sum” lain hal dengan modern tadi, konsep modernisasi seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (1994: 589). Jadi jelaslah bahwa modernisasi itu sendiri memiliki beberapa variabel pembentuk yakni proses, pergeseran nilai dan mentalitas, dan hidup sesuai tuntutan zaman. Hal ini yang menjadikan modernisasi menjadi sebuah fenomena baru yang amat menarik untuk ditelaah oleh karena banyak sekali ideology dibalik keadaannya itu yang harus kita sigapi. Lain halnya dengan budaya yang dapat didefinisikan secara etimologis sebagai daya, kemampuan, akal budi untuk menciptakan sesuatu atau meminjam definisi Koentjaraningrat yang melihat budaya sebagai gagasan, kelakuan, dan hasil-hasil kelakuan (Dayakisni, 2004:4).
Fenomena modernisasi itu juga sebenarnya sudah diprediksi  sebelumnya oleh Mazhab Frankfurt dan mencoba mengkritisinya lewat cermin kebudayaan seperti halnya Marcuse dan Adorno dalam buku mereka yang berjudul The Dialectic Of the Enlightement yang dikemas rapi dalam buku Teori-teori sosial Modern yang intinya melihat manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu dan potensi-potensi yang lepas dari dirinya dalam kehidupan masyarakat modern yang mencangkup kebudayaan Highbrow  sampai pada lowbrow (1986: 289). Itu berarti bahwa kebudayaan mencangkup semua dimensi kehidupan kita dan mengikuti perkembangan zaman yang ada dan dapat dijadikan solusi paling primordial guna menjawabi pertanyaan perihal kehidupan kita  sebab kebudayaan adalah awal kehidupan kita. Dan manusia dirasa bisa menepis keberadaan modernisasi itu asal ia bisa merekah dan mengilhami budayanya sendiri tanpa harus melihat budaya sebagai boomerang untuk berinteraksi dengan orang lain.  














2.      Hubungan Budaya dan Modernisasi

Pertanyaan besar pun muncul ketika kita menelaah konsep budaya dan modernisasi yakni hubungan seperti apa antara budaya dan modernisasi? Penulis mencoba membeberkan secara garis besar saja hubungan itu, seperti melihat horizon lautan dari puncak gunung sebab dengan demikian kita melihat kedalaman dan kejernihan airnya.
Seperti yang pernah dijelaskan oleh Pak Lazarus Jehamat dalam kuliah Studi Kritik, bahwa kebudayaan itu sebenarnya di bagi atas 2 yakni kebudayaan material dan non material. Dan ketidakkeseimbangannya atau persoalannya muncul ketika antara keduanya bergerak tidak beriringan lagi, satu mendahului yang lainnya. Inilah yang sedang dan akan kita alami bahwa kualitas keebudayaan material seperti teknologi bergerak cepat dan mendahului kebudayaan nonmaterial padahal penulis melihat bahwa kebudayaan yang paling mendasar adalah kebudayaan non material yang didalamnya berisi nilai, norma, adat istiadat yang menjadi patokan dalam hidup. okelah, teknologi berguna juga bagi manusia tapi apakah itu penting bagi manusia? Kita memang manusia yang berakal budi namun kita kerap salah menempatkan nilai guna dan nilai penting terhadap sesuatu. Dalam hal ini teknologi Hp sebagai contohnya, hp amat berguna buat kita sebagai sarana komunikasi; namun tidak memiliki nilai yang penting bagi kehidupan kita sendiri. Ia hanyalah alat semata. Bahwa tidak semua yang berguna itu penting, tapi semua yang penting pasti memiliki nilai guna bagi manusia.
Inilah yang membuat kita seolah menjadi manusia bodoh didepan teknologi sebagai bagian dari perubahan kehidupan kita (Baca: Modernisasi). Kita telah termakan bahkan tenggelam dalam gemerlapan dunia modernisasi yang kadang menyeret kita untuk mendewakan teknologi dan pongah akan hidup ini, impasnya individualistik menjadi dominan guna mengalahkan budaya kolektifitas yang selama ini kita anut. Kembali kepada persoalan kita diawal tadi, soal hubungan saya pikir keduanya memiliki korelasi yang amat erat dimana sebenarnya modernisasi adalah bagian budaya itu sendiri, modernisasi adalah imbas budaya yang telah ditekan oleh perubahan seperti teknologi yang dalam Matsumoto yang dikemas dalam buku Pengantar Antropologi tulisan Simon Coleman dan Helen Watson dikatakan sebagai kategorisasi dari budaya itu sendiri (2005:10). Apalagi modernisasi sendiri merupakan representasi mutlak dari budaya non material yang lebih berkembang cepat ketimbang budaya material yang tengah ada di antara kita dan kita tidak tahu sampai kapan hal itu berhenti. Dan hal ini pun kemudian membuat manusia muncul sebagai manusia-manusia baru penyuka produk instant, bahkan menjadi alat instant itu sendiri dan berakibat fatal bagi moralitas public manusia itu terutama moralitas masyarakat modern. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang menjamin kebebasan individu dalam hubungan dengan masyarakat lainnya. Selain itu masyarakat moderen ditandai dengan semakin tingginya waktu untuk bertukar informasi, baik dengan media komunikasi maupun dengan pemakaian teknologi komunikasi seperti telepon dan komputer. Media komunikasi, dalam hal ini media massa, memiliki fungsi-fungsi bagi masyarakat. Bahkan pada abad informasi sekarang ini, demokrasi yang sifatnya bebas, adil dan partisipatif hanya mungkin hadir dalam demokrasi digital. Demokrasi digital adalah manifestasi dari peralihan paradigma dalam dinamika politik yang berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi, dimana kebebasan untuk meneluarkan pendapat tanpa control yang ketat dari pemerintah atau  pemilihan pemimpin daerah via internet yang marak terjadi. Contoh lain yang bisa menggambarkan hubungan antara budaya dan modernisasi adalah tanyangan film di televisi yang kadang membuat kita serupa dengan mereka yang mendramatisasikannya. Menonton pada dasarnya merupakan sebuah ritus harian manusia untuk lari dari kenyataan tanpa mempelajari secara lebih cermat, karena pikiran kita telah dikontrol oleh televisi dengan tayangan yang secara umum telah membawa kita pada dunia alam sadar. Atau dengan kata lain fenomena film adalah keterasingan tampaknya sudah mulai dijinakkan oleh penyebab keterasingan itu sendiri (relasi produksi). Jangan pikir budaya kekerasan dalam bentuk apa pun itu datang dengan sendirinya semuanya adalah bentuk efek dari media akibat modernisasi. Dan inilah kenyataan yang pelik yang harus kita balikkan sebab kalau dibiarkan begitu maka kita semua saya,dan anda akan terjerembab pada lubang yang sama tanpa harus mengubahnya terlebih dahulu. Dan mungkin impasnya ada pada anak-cucu kita.

3.      Budaya Tergerus Modernisasi

Ketika kita berbicara mengenai budaya tergerus oleh modernisasi salah satu yang terlintas dibenak penulis adalah efek. Sebab secara sadar atau tidak efek adalah sesuatu yang penting yang bisa menggambarkan lebih lanjut tentang modernisasi itu. Salah satunya adalah pergeseran nilai budaya kita itu sendiri. Penulis pun kemudian menelaah lebih jauh modernisasi ketika itu dihadapkan pada budaya gemohin di daerah Flores Timur budaya lamaholot.
           Gemohin atau sering dikenal dengan Moit merupakan bentuk kerjasama atas dasar tolong-menolong secara timbal balik antara beberapa orang ataupun kerjasama antara sejumlah warga masyarakat yang terorganisir untuk kepentingan bersama atau kepentingan umum (Tifaona,2007:102). Budaya ini adalah budaya turunan nenek moyang masyarakat lamaholot yang menjadi cirri khas budaya mereka. Budaya gemohin ini sedianya dipakai pada acara perkawinan, kematian, pekerjaan pertanian, penangkapan ikan, pembuatan rumah, pembuatan perahu dan lain sebagainya yang menenkankan pada asas kekeluargaan, musyawarah, kerjasama, religious, adil dan manfaat. Namun semua itu dirasa hanya sebagai bagian harapan sebab sekarang dengan adanya modernisasi budaya itu semakin terkikis dan bahkan diprediksi bakal hilang suatu saat nanti. Bukan pesimistis namun kenyataan itu sudah mulai nampak, dengan perrilaku masyarakat lamaholot yang dipersepi orang sebagai masyarakat berbudaya itu. Mereka bukan lagi masyarakat kolektif namun, lebih mengedepankan individualistic semu demi sebuah tujuan yang belum tentu benar. Pertanian yang dulunya dijadikan ajang untuk saling mengenal dan menyapa dengan tarian dolo-dolo ( dengan nyanyian pantun bersaut-sautan) kini menjadi lahan kosong dengan tarikan mesin traktor dan semprotan peksitisida. Belum lagi, segi lain kehidupan masyarakat lamaholot yang sudah tergerus oleh ada dalam adanya modernisasi seperti kehidupan bertetangga yang bukan lagi saling menghargai malah membuat tembok tinggi samping kiri kanan,muka belakang sebagai ajang untuk lebih menyendiri. Sebuah kenyataan yang amat pahit memang bagi kita ketika budaya yang sedianya tidak lekang oleh waktu, tak habis dimakan pusaran angin perubahan harus hilang begitu saja.
           Memang modernisasi telah banyak membuat budaya kita harus terkikis dan ditinggalkan oleh para pelakon budaya itu sendiri, dan inilah akibat lain ketika kita tidak bisa mengontrol secara pribadi manusia-manusia yang tidak puas akan pencapaian diri akan hidup mereka. Kita seolah larut dalam lingkupan budaya modern yang harus menuntut kita melepaskan apa yang menjadi ideology awal kita dan mengambil sesuatu yang bukan milik kita dalam tataran kebenaran. Miris bukanlah sebuah langkah tepat buat kita atau sekedar lari dari kenyataan ini, kita harus bisa menghadapinya sekarang.  Atau sekedar saling menyalahkan? Penulis berpikir buat apa juga kita harus saling menyalahkan saling mngumpat demi sebuah pembenaran diri, toh…semua sudah terjadi, kita harus bisa berbenah diri sebelum itu harus menjadi sebuah budaya baru buat kita. Kita harus bisa melawan realitass ini kalau mau dibilang manusia berbudaya sebab manusia berbudaya adalah manusia yang bisa melindungi budayanya sendiri dari terpaan zaman yang mengharuskan dia menanggalkan budayanya dan mengenakan budaya lain.


4.      Jalan keluar yang diambil
Seperti yang dijelaskan diatas ketika kita harus berhadapan dengan modernisasi sebagai bagian budaya baru kita maka penulis pun kemudian merasa perlu untuk memberi sedikit jalan keluar walaupun ini bukan satu-satu solusi yang pantas untuk dilakukan namun tidak ada salahnya untuk mencobanya sebab kita tidak akan tahu kita berhasil atau tidak tanpa mencobanya.
                                                Salah satu yang paling penting adalah kesadaran diri untuk mempertahankan yang sudah ada dan mengukuhkan yang hilang. Ketika kita mencoba untuk rendah hati menerima budaya kita sejelek apapun itu, penulis berpikir kita secara tidak langsung mencintai budaya kita dan mau agar budaya kita menjadi lestari. Lebih dari itu sebagai manusia yang berakal budi sebenarnya kita bisa membedakan sesuatu dari berbagai perspektif dan bukan berfokus pada satu hal saja. Kita boleh menerima produk modernisasi itu namun bukan berarti mengambilnya secara membabi buta tanpa adanya filterisasi karena banyak produk yang tidak sesuai budaya kita seperti fenomena celana umpan yang bertentangan dengan nilai kesopanan budaya ketimuran kita. Kita juga bisa mulai dari institusi kecil misalnya keluarga dengan memberi nilai dasar budaya kepada anak-cucu kita agar mereka tidak terjebak dalam fenomena ini demi memperoleh kearifan local. Akhirnya mengutip pesan Edmund Burke yang mengetengahkan adat sebagai sebuah hal yang mendamaikan hidup kita.








DAFTAR PUSTAKA



Craib, Ian. Teori-Teori Sosial Modern. Jakarta: Cv. Rajawali.
Coleman, Simon dan Helen Watson. 2005. Pengantar Antropologi. Bandung: Nuansa.
Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang:UUM Press.
Ritzer, George. 2003.  Teori Sosial Postmodern. Yogjakarta: Kreasi Wacana.
Tifaona, Anton Enga. Bela Baja dan Gemohin. Budaya Lamaholot: Etika dan Moralitas   Publik. Larantuka: Yayasan Cinta Kasih.




















No comments:

Post a Comment

Larinya HRS, Bukti Kalau Dia Manusia

    Jagat media sosial kembali dihebohkan dengan berita soal Habib Rizieq Shihab. Bukan soal pelanggaran protokol kesehatan saat tiba ...