OPINI
FENOMENA
KAUM MUDA DAN BALAP LIAR
(TELAAH
KRITIS DALAM PERSPEKTIF SOSIAL-KOMUNIKATIF)
“Janganlah kau seperti
remaja sekarang yang pada umumnya lebih sering mengutamakan nakal daripada
belajar; Akibatnya. Banyak yang bodoh-bodoh…”
Sebuah petikan syair lagu Doel Sumbang di atas
bukanlah sebuah hayalan belaka yang timbul dari mimpi semalam namun secara
implicit memiliki makna reflektif, bagi kita yang menamakan diri sebagai remaja. Doel Sumbang secara terang-terangan
mengkritik kaum muda kita yang tidak lagi menjadi Agent of change dan agent of
developmentnya masyarakat dengan pemikiran yang kritis, sistematis dan logis namun
muncul sebagai perusak tatanan sosial yang ada. Demonstrasi anarkis,
perkelahian, narkoba, dan balapan liar yang sedang menjadi perbincangan hangat
setiap orang adalah sederet catatan
kelam dalam lembar kehidupan kita sebagai kaum muda yang membuat Si Doel sang
penyair, saya, anda, dan mereka mengetok palu mosi tak percaya terhadap kaum
muda. Namun bukan berarti kita kemudian menutup mata sekedar mencuci tangan
akan fenomena pelik ini yang jika dibiarkan akan menjadi penyakit sosial yang
tak pernah dan tak akan habis untuk tanggulangi ini. Penulis pun merasa perlu
memberikan sedikit sumbangsih pemikiran sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keberlangsungan dan eksistensi
kaum muda.
Kaum muda seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai orang yang belum cukup umur, namun pengertian ini pun menjadi
rancu ketika tidak ada batasan umur untuk membedakan kaum muda dengan kaum
lainnya maka penulis pun kemudian secara gamblang menentukan batasan sendiri
yang lazim digunakan oleh kebanyakan orang untuk menyebut kaum muda yakni dari
umur 18-21 tahun. Kisaran umur yang demikianlah yang kadang membuat kita kerap
menyebut kaum muda sebagai kaum transisi yang bergerak dari periode pertumbuhan
pubertas dan kematangan atau dengan kata lain sedang mencari identitas diri
mereka seturut Erik H. Erikson. Masa ini juga menuntut kaum muda untuk terjun
bebas dalam riak kenakalan remaja yang lahir dari “Strum (dorongan) und Drag (keinginan)” demi memperoleh nilai-nilai
yang bakal menjadi pegangan dan pandangan hidupnya tanpa sedikitpun memilah
yang benar dan yang salah. Dan tidaklah mengherankan, jika mereka penuh dengan “power of life” yang akhirnya dicap
sebagai pengganggu stabilitas umum. Sebagai sebuah trend yang lazim, balap
motor pun lahir sebagai sebuah keharusan dalam melanggengkan interaksi dan masa
untuk mengenal orang lain. Fenomena ini pun layak mendapat sorotan tajam ketika
kaum muda salah menempatkan posisi balap motor yang seyogianya memiliki
regulasi paten dan memiliki organisasi formal yakni Federation Internatiole de
Motorcyclisme(FIM) yang menanngui setiap kegiatan olahraga balap motor dan
menjadikan balap motor sebagai hiburan
sampai melupakan tugas pokok mereka sebagai pemegang tonggak estafet
pembangunan Negeri ini. Tak jarang juga hiburan yang diamini kaum muda sekedar
untuk membenarkan dorongan hati mereka ini kemudian berdampak buruk bukan
semata secara pribadi saja tapi lebih dari itu membawa dampak yang secara
gradual melintasi area masyarakat yang dikenal amat mengagungkan ketentraman
dan keamanan public,yang secara sadar atau tidak telah dilanggar oleh kaum muda
secara radikal memacu kendaraan mereka tanpa batas. Lebih parah lagi,
kendaraan(baca:Motor) dipermak habis sampai harus memasang knalpot racing
sebagai bentuk lain kehadiran mereka dalam dunia yang penuh embel-embel
globalisasi ini. Sudah begitu sejumput pertanyaan besar pun muncul dibenak
kita, Siapa yang harus bertanggung jawab dengan situasi yang sedang menukik ini
dan mengantar kaum muda kita selangkah lebih maju ke ambang kehancuran? Apakah
saya, anda dan mereka(baca:Masyarakat)? Mungkin juga dan mungkin juga tidak
demikian. Yang pasti bahwa ada beberapa pihak yang punya kewajiban ekstra dalam
memberdayakan kaum muda kita yakni:
1.
Keluarga
Sebagai
pembagi nilai budaya atau sekolah pertama yang paling primordial dalam diri
kaum muda, sudah selayaknya keluarga memiliki tugas yang tidak mudah. Kaum muda
dalam keseluruhan hidupnya tidak terlepas dari keluarganya, dengan kata lain
setiap gerak-gerik, tingkah lakunya dalam masyarakat publik merupakan
representasi keluarga yang membesarkannya. Nilai, norma, dan tata kelakuan yang
merupakan sebagian kecil aspek sosial yang diturunkan kepada kaum muda
seharusnya bisa diserapi secara baik. Namun pada kenyataannya hal demikian
tidak selamanya menjamin untuk membentuk karakter diri kaum muda hal ini tidak
lain dikarenakan kondisi yang tidak kondusif yang sering terjadi dalam keluarga
seperti Broken Home dan kesibukkan kerja yang tak jarang membuat kaum muda
merasa dirinya tersisih dan mau tidak mau mencari sesuatu yang lain diluar
keluarga yang mampu memberikannya sedikit senyuman dan kegembiraan. Sudah
begitu, keluarga seharusnya bisa menjadi mutiara yang gemerlap bagi kaum muda
dalam proses pembentukan diri dengan menyediakan sedikit waktu untuk ada
bersama(esse co esse) dan saling berkomunikasi guna meminimalisir tingkat
kenakalan pada kaum muda seperti balapan.
2.
Sekolah
Sebagai
pembagi nilai budaya yang formal, sekolah diharapkan memilki kompetensi dalam
menyediakan fasilitas memadai bagi kaum muda dalam pengembangan diri bukan
sekedar untuk hiburan namun lebih dari itu memberikan nilai lain yang tidak
diajarkan dalam keluarga misalnya kerjasama tim sebagai proses mengenal orang
lain lewat kegiatan ekstrakulikuler (Sendra tari,Drama,Pencinta ,dll).
3.
Masyarakat
Kaum
muda dalam proses pengenalan diri dan pembentukan diri tidak pernah lepas dari
masyarakat. Masyarakat menjadi wahana bagi kaum muda untuk mengenal dunia
diluar dirinya yang kadang membuat dia berada pada posisi tawar, dimana nilai
pembentukan diri dilegitimasi secara radikal oleh masyarakat dengan berbagai
tipikal orang yang saling berinteraksi di dalamnya. Dalam masyarakat ini pula
kaum muda menemukan mereka yang lain(Kelompok bermain) yang sama-sama berada
dalam situasi 50:50. Secara implicit masyarakat juga kerap membekali diri kaum
muda untuk meniru pola tingkah laku masyarakat yang lazim terjadi tanpa melihat
psikologi kaum muda yang sarat akan tindakan untuk meniru perilaku orang lain.
Sudah begitu, masyarakat harusnya memberikan nilai ,norma yang baik kepada kaum
muda sebagai bagian integrasi masyarakat menuju bonum commune yang kita
inginkan.
4.
Pemerintah
Sebagai
bentuk tanggung jawab terhadap kaum muda, pemerintah pun tak boleh
menyepelehkan fenomena ini dan berusaha lari dari kenyataan pahit ini.
Pemerintah sebagai penggagas regulasi pada umumnya harus lihai melihat hal ini
dan merumuskan segera regulasi guna membatasi ruang gerak kaum muda sehingga
meredam gejolak kemudaan mereka sehingga mereka tidak keluar dari koridor yang
ada. Memang pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian telah menunjukkan tanda
ketegasan mereka dengan mengamankan kaum muda yang menggunakan knalpot racing
namun yang ditakutkan adalah budaya uang yang kerap membuat kaum muda luput
dari lubang jarum kesalahan.
Fenomena
ini akan semakin akut dalam deraan waktu,jika kita semua membiarkannya langgeng
tanpa berusaha mencegahnya terlebih dahulu. Kita bisa menolak untuk
mengatasinya, namun dampak ini bukan sekedar muncul saat ini saja tapi di hari
mendatang. Jangan sampai anak,cucu kita pun terjebak dalam lingkupan fenomena
dan menjadikan mereka sebagai manusia baru perusak Bangsa dan Negara,serta
mengamini idelisme kaum muda:”Hanya air yang mengalir bakal merupakan air yang
bersih. Kolam yang tenang, tetapi keruh, apalah gunanya.”
No comments:
Post a Comment