Pantai selatan
sepanjang kawasan Nobo hingga Pantai Oa, Kabupaten Flores Timur, menyimpan
keindahan eksotika yang tidak ada duanya. Salah satunya adalah Kawasan pantai
desa Lewoawang, Kecamatan Ilebura-Kabupaten Flores Timur yang terletak 45 KM
dari arah barat Larantuka, 17 KM arah barat Nobo dan 13 KM arah timur Boru,
Ibukota Kecamatan Wulanggitang. Adalah Komunitas Wisata Menulis Kabupaten
Flores Timur (KWMFlotim) yang terdiri dari para wartawan, penulis, facebookers dan bloggers berhasil menguak pesona keindahan laut pantai selatan
Flotim dalam catatan perjalanan, Sabtu (16/05). Dan tulisan ini, adalah
sejumput cerita saya dari sekian banyak cerita yang akan kami (baca: Komunitas
Wisata Menulis Flotim) sajikan buat para pembaca semua dari sisi yang kami
lihat, kami dengar dan kami rasakan. Sekali lagi, tulisan ini adalah bentuk
lain kecintaan kami pada tanah milik Leluhur kami, Bumi Lamaholot tercinta.
Dan pagi itu,
deru mesin kendaraan roda dua (baca:sepeda motor) berpacu meninggalkan kota
Larantuka yang sehari-hari diliputi dengan hingar bingar kekotaannya, dipadati
manusia-manusia pencinta kehidupan, menuju ujung lain kota Larantuka untuk
menjelajahi setiap jengkal demi jengkal kehidupan orang pesisir. Sejam
perjalanan bukanlah suatu hal yang mudah buat kami para pencari keindahan,
jalanan yang dipenuhi kendaraan pulang pergi Maumere-Larantuka ataupun
sebaliknya, dihiasi dengan jalan yang meliuk bak ular adalah gambaran betapa
susahnya meraih impian atas mimpi kami. Iya..mimpi akan sesuatu yang lain, yang
pantas untuk dinikmati setelah sepekan harus berkutat dengan rutinitas dibalik
meja dan komputer. Namun semuanya
menjadi menarik saat, kulihat di tepian jalan perempuan-perempuan
Lamoholot berjalan menyongsong hari, sembari menenteng dirigen berisi air dan
menjunjung bakul di atas kepala yang menandakan pekerjaan akan tanah di negeri
ini akan dan sedang dimulai. Mereka berhasil membalikkan tuntutan perempuan dapur
menjadi perempuan petani saat jiwaku ini sedang lupa bahwa perempuan Lamholot
masih terlalu tangguh atas tanah walaupun mereka harus diperhadapkan dengan
realitas mengurus dapur keluarga. Dan alam negeriku, tak bisa kulukiskan lagi,
dan tidak mampu kutuliskan dalam catatan ini karena akan membuatku dan para
pembaca sekalian menjadi iri terhadap lukisan tangan Sang Pencipta tanpa kata,
pantai berpasir hitam di Desa Nurabelen dipadukan dengan indahnya pulau Solor
di seberang sana, dan Gua Maria Rossa Mustika Riangbunga yang berlatarkan
hamparan laut luas membuat suasana berbeda dari biasanya, belum lagi wajah Sang Bunda dililit selendang
adat membuat Ia terlihat cantik serupa Bidadari adalah rentetan indah negeri
ini yang buatku terkesima dan hanya mengangguk diantara ketidakpercayaan akan
makna kata “Ia menciptakan semuanya, indah.”
Gua Maria Rossa Mistika-Riangbunga |
Pantai Lewoawang, Sisi
Keindahan Tanpa Jamahan
Dan perjalanan
yang kunikmati ini akhirnya terhenti saat telinga dan pandangan mata ini tertuju
pada bunyi desiran ombak memukul keperkasaan sang batu yang tersusun rapi di bibir
pantai pertanda kutemukan keindahan di sisi lain negeriku di desa Lewoawang,
Kecamatan Ilebura. Keindahan tanpa jamahan tangan manusia, menjadikannya murni
pantai dengan nilai humanis bergaya lama tanpa ada nuansa moderat. Belum lagi
mata ini dimanjakan dengan pemandangan laut lepas yang luas berdampingan dengan
ujung daratan pulau Solor dan ditemani onggokan pulau-pulau kecil yang menurut
Hans Wain salah satu Anggota Komunitas Wisata Menulis Flotim disebut pulau
kambing, pulau suanggi dan pulau besar. Sedang bebatuan di pinggiran pantai
tersebut tergeletak seadanya menemani pasir hitam menambah nuansa eksotika
pantai Lewoawang. Dan ombaknyapun tak mau berhenti bercerita, dengan gulungan
busa putih, berlomba dan saling mengejar menggapai bibir pantai atau sekedar
memukul bebatuan guna memperingatkan para pencinta alam untuk berhenti, menyapa
dan menikmatinya. Apalagi ditemani rindangnya puluhan pohon kelapa yang
menjulang di tepian yang sudah barang tentu membuat nuansa pariwisata pantai
Lewoawang menjadi lebih lengkap di ujung akhir perjalanan kami menguak potensi
desa menjadi desa destinasi wisata dan memperkenalkannya kepada mereka yang
lain.
“Jika kelak, Pantai ini dilirik Pemerintah, yang wajib ada adalah
lopo-lopo kecil dibawah rimbunan pohon kelapa ini. sehingga lengkaplah wisata
ini ” tutur Maksimus Masan Kian, salah satu anggota KWM Flotim di tengah kesibukkan kami
menikmati keindahan pantai ditemani kegembiraan anak-anak bermain layangan di
bibir pantai.
Jalan
dan Listrik Masih Jadi Prioritas
Namun demikian, keindahan pantai
Lewoawang seolah menjadi sebuah keniscayaan jika melihat realitas sarana
pendukung di wilayah yang masyarakatnya bermayoritas petani mete tersebut. Iya,
selain jalan yang masih menjadi sesuatu yang urgen di hampir semua wilayah Flotim,
juga masalah listrik yang katanya telah tiga tahun lalu telah dipersiapkan
mulai dari penebangan mete dan kelapa milik warga serta digantikannya
dengan pemasangan tiang-tiang jaringan,
namun hingga kini belum bisa diinstalasi ke rumah-rumah penduduk. Menurut warga
Lewoawang Klara Kesi Uran dan Yuliana Teri Wolo yang kebetulan telah menunggu
kami di jalanan aspal berdebu “ Mete yang sementara berbuah milik kami ditebang
semua, namun listrik juga tidak tahu menyala-menyala,” kata Klara.
Dan untuk mengatasi persoalan
listrik tersebut, tuturnya, masyarakat setempat masih menggunakan pelita
sebagai pengganti listrik. Selain itu, masalah lain yang mengemuka dalam
percakapan singkat kami tersebut adalah masalah jaringan telekomunikasi yang
membuat beberapa warga pengguna handphone misalnya harus berjalan kaki ke desa
Lewouran sekedar berbincang atau memberikan kabar kepada keluarga, sahabat dan
kenalan mereka. Iya.. fenomena ini bukan untuk mengatakan kepada dunia bahwa mereka
harus seperti orang di seberang sana yang mengakabi diri dengan hal-hal
kekotaan tapi ini hanya sebagian dari kebutuhan masyarakat yang tentunya
penting dan berguna bagi mereka guna menjawabi tuntutan sebagai warga
Masyarakat dalam nuansa Kelamaholotan. Seiring perjuangan mengangkat dan
memperkenalkan desa Lewouran sebagai sebuah desa destinasi, tentunya
masalah-masalah tadi bukan hanya sekedar diketahui oleh para pembaca, syukur
juga kalau di antara para pembaca sekalian ada pula yang berasal dari dunia
Birokrasi agar menjadi titipan singkat mewakili suara mereka di seberang yang
notabene masih mengharapkan perhatian pemerintah dan saya sebagai anak Negeri
ini yang menuliskan kisah singkat ini hanya bisa bercerita dari sisi lain
kemanusian saya, melukiskan keadaan yang saya lihat, saya dengar dan saya
rasakan. Bukan menuntut, bukan juga mau berlaku surut menyalahkan sepihak
orang-orang tertentu, tapi ini hanya sebuah reflektif humanis kita yang dikemas
dalam nuansa kewisataan menembus perbedaan namun punya tujuan yang sama
Mengangkat dan Memperkenalkan Flotim Pada Dunia, Karena Saya, Anda dan Mereka
Mencintai Flores Timur.
Biodata penulis:
Nama :
Fransiskus Xaverius Bala Keban
Tinggal di Larantuka
Email : engkykeban@gmail.com
Blog : arjunkeban.blogspot.com
No Hp: 082359259635