BUDAYA TERGERUS MODERNISASI
Perkembangan zaman menuntut kita terjun dan terlibat
dalam era baru itu, bukan sekedar tanpa alasan sebab perkembangan dunia dewasa
ini telah merubah sisi lain hidup kita dan menembusi dimensi hidup kita sebagai
Homo Socius. Politik, ekonomi,
sosial, dan Budaya adalah beberapa bidang yang secara tak langsung merasakan
imbas dari perkembangan zaman yang menurut beberapa ahli disebut dengan keadaan
modern, ataupun meminjam pernyataan Giddens
yang memandang Modern sebagai lokomotif sebagai
gambaran tahapan maju dari modernitas – radikal, tinggi, modernitas mutakhir( Ritzer,2003: 24). Dengan demikian keadaan
modern menuntut adanya perubahan keadaan,dimana keadaan yang tradisional di
satu sisi berganti dengan keadaan yang modern si lainnya. Hal ini pun tak pelak
merambah secara signifikan dalam diri budaya sebagai sesuatu yang sangat
primordial sejauh pengamatan penulis, tanpa memandang rendah aspek lain dalam
kehidupan ini. Kenapa demikian? Budayalah yang pertama mengajarkan kepada kita
tentang nilai, tentang norma kehidupan sosial, tentang kebiasaan yang
berkembang dalam budaya kita. Begitu banyak nilai budaya kita yang kini menjadi
bulan-bulanan modernisasi dan dijadikan nilai kedua setelah modernisasi, adanya
pergeseran nilai budaya dijadikan alasan untuk mengukung budaya dalam tembok
sosial kita dan mengedepankan modern sebagai trend baru dewasa ini. Apalagi
modernisasi membuat manusia larut dalam ayunan hedonismenya dan membuat mereka
lupa pada hakikat hidup mereka sebagai manusia yang dapat mengontrol semuanya
dan bukan dikontrol oleh barang yang didewakan itu, dan menggunakan
rasionalitasnya untuk memylah mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang
benar dan mana yang tidak. Hal demikanlah yang membuat penulis tertarik untuk
menelaah lebih jauh persoalan budaya dengan melihatnya dalam perspektif
edukatif sosiologis dan secara khusus memakai kacamata komunikasi secara kritis
walaupun secara umum tidaklah sekritik Hormheimer dkk.
1.
Konsep
Umum: Budaya dan Modernisasi
Konsep budaya dan modernisasi bukanlah hal baru di
telinga kita, 2 konsep ini secara tidak langsung mau menunjukkan kepada kita
elemen dasar kehidupan kita yakni perubahan itu sendiri yang bergerak secara
gradual; yang dimulai dari masyarakat tradisional, masyarakat transisi, sampai
pada masyarakat modern yang ditandai dengan kemajuan berbagai bidang kehidupan.
Konsep modernisasi yang menjadi pokok bahasan kita ini berangkat dari kata
modern yang dapat diartikan sebagai terbaru,atau cara, sikap berpikir serta
bertindak sesuai tuntutan zaman ( Tim
Penyusun Kamus, 1994:589). Sementara, konsep ‘modernitas’ digunakan untuk
menjelaskan totalitas kehidupan. Awal dari dunia modern seringkali dinisbatkan
kepada renaissance dianggap sebagai awal dari perkembangan sains dan teknologi,
perluasan dan ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang
‘humanisme’; sebagai tantangan terhadap kepercayaan keagamaan Abad Pertengahan
juga sebagai satu bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah
manusia. Semangat Renaissance jelas sekali diwakili oleh pemikiran Descartes, dan melalui wawasan
‘humanisme’nya menjadikan manusia - dengan segala kemampuan rasionalnya -
sebagai ‘aku’ (subyek) yang sentral
dalam pemecahan masalah dunia dengan bahasa latin yang terkenal “Cogito Ergo Sum” lain hal dengan modern
tadi, konsep modernisasi seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses
pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup
sesuai dengan tuntutan masa kini (1994:
589). Jadi jelaslah bahwa modernisasi itu sendiri memiliki beberapa
variabel pembentuk yakni proses, pergeseran nilai dan mentalitas, dan hidup
sesuai tuntutan zaman. Hal ini yang menjadikan modernisasi menjadi sebuah
fenomena baru yang amat menarik untuk ditelaah oleh karena banyak sekali
ideology dibalik keadaannya itu yang harus kita sigapi. Lain halnya dengan
budaya yang dapat didefinisikan secara etimologis sebagai daya, kemampuan, akal
budi untuk menciptakan sesuatu atau meminjam definisi Koentjaraningrat yang melihat
budaya sebagai gagasan, kelakuan, dan hasil-hasil kelakuan (Dayakisni, 2004:4).
Fenomena modernisasi itu juga sebenarnya sudah
diprediksi sebelumnya oleh Mazhab
Frankfurt dan mencoba mengkritisinya lewat cermin kebudayaan seperti halnya
Marcuse dan Adorno dalam buku mereka yang berjudul The Dialectic Of the Enlightement yang dikemas rapi dalam buku
Teori-teori sosial Modern yang intinya melihat manusia itu mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu dan potensi-potensi yang lepas dari dirinya dalam
kehidupan masyarakat modern yang mencangkup kebudayaan Highbrow sampai pada lowbrow (1986: 289). Itu berarti
bahwa kebudayaan mencangkup semua dimensi kehidupan kita dan mengikuti
perkembangan zaman yang ada dan dapat dijadikan solusi paling primordial guna
menjawabi pertanyaan perihal kehidupan kita
sebab kebudayaan adalah awal kehidupan kita. Dan manusia dirasa bisa
menepis keberadaan modernisasi itu asal ia bisa merekah dan mengilhami
budayanya sendiri tanpa harus melihat budaya sebagai boomerang untuk berinteraksi
dengan orang lain.
2.
Hubungan
Budaya dan Modernisasi
Pertanyaan besar pun muncul ketika kita menelaah
konsep budaya dan modernisasi yakni hubungan
seperti apa antara budaya dan modernisasi? Penulis mencoba membeberkan
secara garis besar saja hubungan itu, seperti melihat horizon lautan dari
puncak gunung sebab dengan demikian kita melihat kedalaman dan kejernihan
airnya.
Seperti yang pernah dijelaskan oleh Pak Lazarus
Jehamat dalam kuliah Studi Kritik, bahwa kebudayaan itu sebenarnya di bagi atas
2 yakni kebudayaan material dan non material. Dan ketidakkeseimbangannya atau
persoalannya muncul ketika antara keduanya bergerak tidak beriringan lagi, satu
mendahului yang lainnya. Inilah yang sedang dan akan kita alami bahwa kualitas
keebudayaan material seperti teknologi bergerak cepat dan mendahului kebudayaan
nonmaterial padahal penulis melihat bahwa kebudayaan yang paling mendasar
adalah kebudayaan non material yang didalamnya berisi nilai, norma, adat
istiadat yang menjadi patokan dalam hidup. okelah, teknologi berguna juga bagi
manusia tapi apakah itu penting bagi manusia? Kita memang manusia yang berakal
budi namun kita kerap salah menempatkan nilai guna dan nilai penting terhadap
sesuatu. Dalam hal ini teknologi Hp sebagai contohnya, hp amat berguna buat
kita sebagai sarana komunikasi; namun tidak memiliki nilai yang penting bagi
kehidupan kita sendiri. Ia hanyalah alat semata. Bahwa tidak semua yang berguna
itu penting, tapi semua yang penting pasti memiliki nilai guna bagi manusia.
Inilah yang membuat kita seolah menjadi manusia
bodoh didepan teknologi sebagai bagian dari perubahan kehidupan kita (Baca:
Modernisasi). Kita telah termakan bahkan tenggelam dalam gemerlapan dunia
modernisasi yang kadang menyeret kita untuk mendewakan teknologi dan pongah
akan hidup ini, impasnya individualistik menjadi dominan guna mengalahkan
budaya kolektifitas yang selama ini kita anut. Kembali kepada persoalan kita
diawal tadi, soal hubungan saya pikir keduanya memiliki korelasi yang amat erat
dimana sebenarnya modernisasi adalah bagian budaya itu sendiri, modernisasi
adalah imbas budaya yang telah ditekan oleh perubahan seperti teknologi yang
dalam Matsumoto yang dikemas dalam
buku Pengantar Antropologi tulisan Simon
Coleman dan Helen Watson
dikatakan sebagai kategorisasi dari budaya itu sendiri (2005:10). Apalagi modernisasi sendiri merupakan representasi
mutlak dari budaya non material yang lebih berkembang cepat ketimbang budaya
material yang tengah ada di antara kita dan kita tidak tahu sampai kapan hal
itu berhenti. Dan hal ini pun kemudian membuat manusia muncul sebagai
manusia-manusia baru penyuka produk instant, bahkan menjadi alat instant itu
sendiri dan berakibat fatal bagi moralitas public manusia itu terutama moralitas
masyarakat modern. Moralitas dalam masyarakat modern tidak lagi dilihat dan
dihayati sebagai wujud pemenuhan diri, tetapi sebagai pemberi batas-batas yang
menjamin kebebasan individu dalam hubungan dengan masyarakat lainnya. Selain
itu masyarakat moderen ditandai dengan semakin tingginya waktu untuk bertukar
informasi, baik dengan media komunikasi maupun dengan pemakaian teknologi
komunikasi seperti telepon dan komputer. Media komunikasi, dalam hal ini media
massa, memiliki fungsi-fungsi bagi masyarakat. Bahkan pada abad informasi
sekarang ini, demokrasi yang sifatnya bebas, adil dan partisipatif hanya
mungkin hadir dalam demokrasi digital. Demokrasi digital adalah manifestasi
dari peralihan paradigma dalam dinamika politik yang berbasis pada teknologi
komunikasi dan informasi, dimana kebebasan untuk meneluarkan pendapat tanpa
control yang ketat dari pemerintah atau
pemilihan pemimpin daerah via internet yang marak terjadi. Contoh lain yang
bisa menggambarkan hubungan antara budaya dan modernisasi adalah tanyangan film
di televisi yang kadang membuat kita serupa dengan mereka yang
mendramatisasikannya. Menonton pada dasarnya merupakan sebuah ritus harian
manusia untuk lari dari kenyataan tanpa mempelajari secara lebih cermat, karena
pikiran kita telah dikontrol oleh televisi dengan tayangan yang secara umum
telah membawa kita pada dunia alam sadar. Atau dengan kata lain fenomena film
adalah keterasingan tampaknya sudah mulai dijinakkan oleh penyebab keterasingan
itu sendiri (relasi produksi). Jangan pikir budaya kekerasan dalam bentuk apa
pun itu datang dengan sendirinya semuanya adalah bentuk efek dari media akibat
modernisasi. Dan inilah kenyataan yang pelik yang harus kita balikkan sebab
kalau dibiarkan begitu maka kita semua saya,dan anda akan terjerembab pada
lubang yang sama tanpa harus mengubahnya terlebih dahulu. Dan mungkin impasnya
ada pada anak-cucu kita.
3.
Budaya
Tergerus Modernisasi
Ketika kita berbicara mengenai budaya tergerus oleh
modernisasi salah satu yang terlintas dibenak penulis adalah efek. Sebab secara
sadar atau tidak efek adalah sesuatu yang penting yang bisa menggambarkan lebih
lanjut tentang modernisasi itu. Salah satunya adalah pergeseran nilai budaya
kita itu sendiri. Penulis pun kemudian menelaah lebih jauh modernisasi ketika
itu dihadapkan pada budaya gemohin di daerah Flores Timur budaya lamaholot.
Gemohin atau sering dikenal dengan
Moit merupakan bentuk kerjasama atas dasar tolong-menolong secara timbal balik
antara beberapa orang ataupun kerjasama antara sejumlah warga masyarakat yang
terorganisir untuk kepentingan bersama atau kepentingan umum (Tifaona,2007:102).
Budaya ini adalah budaya turunan nenek moyang masyarakat lamaholot yang menjadi
cirri khas budaya mereka. Budaya gemohin ini sedianya dipakai pada acara
perkawinan, kematian, pekerjaan pertanian, penangkapan ikan, pembuatan rumah,
pembuatan perahu dan lain sebagainya yang menenkankan pada asas kekeluargaan,
musyawarah, kerjasama, religious, adil dan manfaat. Namun semua itu dirasa
hanya sebagai bagian harapan sebab sekarang dengan adanya modernisasi budaya
itu semakin terkikis dan bahkan diprediksi bakal hilang suatu saat nanti. Bukan
pesimistis namun kenyataan itu sudah mulai nampak, dengan perrilaku masyarakat
lamaholot yang dipersepi orang sebagai masyarakat berbudaya itu. Mereka bukan
lagi masyarakat kolektif namun, lebih mengedepankan individualistic semu demi
sebuah tujuan yang belum tentu benar. Pertanian yang dulunya dijadikan ajang
untuk saling mengenal dan menyapa dengan tarian dolo-dolo ( dengan nyanyian
pantun bersaut-sautan) kini menjadi lahan kosong dengan tarikan mesin traktor
dan semprotan peksitisida. Belum lagi, segi lain kehidupan masyarakat lamaholot
yang sudah tergerus oleh ada dalam adanya modernisasi seperti kehidupan
bertetangga yang bukan lagi saling menghargai malah membuat tembok tinggi
samping kiri kanan,muka belakang sebagai ajang untuk lebih menyendiri. Sebuah
kenyataan yang amat pahit memang bagi kita ketika budaya yang sedianya tidak
lekang oleh waktu, tak habis dimakan pusaran angin perubahan harus hilang
begitu saja.
Memang modernisasi telah banyak
membuat budaya kita harus terkikis dan ditinggalkan oleh para pelakon budaya
itu sendiri, dan inilah akibat lain ketika kita tidak bisa mengontrol secara
pribadi manusia-manusia yang tidak puas akan pencapaian diri akan hidup mereka.
Kita seolah larut dalam lingkupan budaya modern yang harus menuntut kita
melepaskan apa yang menjadi ideology awal kita dan mengambil sesuatu yang bukan
milik kita dalam tataran kebenaran. Miris bukanlah sebuah langkah tepat buat
kita atau sekedar lari dari kenyataan ini, kita harus bisa menghadapinya
sekarang. Atau sekedar saling menyalahkan?
Penulis berpikir buat apa juga kita harus saling menyalahkan saling mngumpat
demi sebuah pembenaran diri, toh…semua sudah terjadi, kita harus bisa berbenah
diri sebelum itu harus menjadi sebuah budaya baru buat kita. Kita harus bisa
melawan realitass ini kalau mau dibilang manusia berbudaya sebab manusia
berbudaya adalah manusia yang bisa melindungi budayanya sendiri dari terpaan
zaman yang mengharuskan dia menanggalkan budayanya dan mengenakan budaya lain.
4.
Jalan
keluar yang diambil
Seperti yang dijelaskan diatas ketika kita harus
berhadapan dengan modernisasi sebagai bagian budaya baru kita maka penulis pun
kemudian merasa perlu untuk memberi sedikit jalan keluar walaupun ini bukan
satu-satu solusi yang pantas untuk dilakukan namun tidak ada salahnya untuk
mencobanya sebab kita tidak akan tahu kita berhasil atau tidak tanpa
mencobanya.
Salah
satu yang paling penting adalah kesadaran diri untuk mempertahankan yang sudah
ada dan mengukuhkan yang hilang. Ketika kita mencoba untuk rendah hati menerima
budaya kita sejelek apapun itu, penulis berpikir kita secara tidak langsung
mencintai budaya kita dan mau agar budaya kita menjadi lestari. Lebih dari itu
sebagai manusia yang berakal budi sebenarnya kita bisa membedakan sesuatu dari
berbagai perspektif dan bukan berfokus pada satu hal saja. Kita boleh menerima
produk modernisasi itu namun bukan berarti mengambilnya secara membabi buta
tanpa adanya filterisasi karena banyak produk yang tidak sesuai budaya kita
seperti fenomena celana umpan yang bertentangan dengan nilai kesopanan budaya
ketimuran kita. Kita juga bisa mulai dari institusi kecil misalnya keluarga dengan
memberi nilai dasar budaya kepada anak-cucu kita agar mereka tidak terjebak
dalam fenomena ini demi memperoleh kearifan local. Akhirnya mengutip pesan
Edmund Burke yang mengetengahkan adat sebagai sebuah hal yang mendamaikan hidup
kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Craib, Ian. Teori-Teori Sosial Modern. Jakarta: Cv.
Rajawali.
Coleman, Simon dan
Helen Watson. 2005. Pengantar Antropologi.
Bandung: Nuansa.
Dayakisni, Tri dan
Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas
Budaya. Malang:UUM Press.
Ritzer, George.
2003. Teori Sosial Postmodern. Yogjakarta: Kreasi Wacana.
Tifaona, Anton Enga. Bela Baja dan Gemohin. Budaya Lamaholot:
Etika dan Moralitas Publik.
Larantuka: Yayasan Cinta Kasih.